Sebatas Malam Untuk Mengingat, Menangis dan Pulang (Oleh: Luhur Pambudi)

Bagikan

Malam itu. Malam dimana kita bersama-sama mencoba mengingat dan mencoba untuk tidak lupa barang sejengkal atau selarik kenyataan. Tentang mereka yang diusir dari tanah dan rumahnya yang teduh di sebuah dusun kecil di tengah-tengah ladang dan hutan-hutan yang tak terlalu lebat, di Dusun Nangkernang. Sebuah malam renungan, untuk mencoba menyusuri apa yang membuat, “saya, tetangga saya, adik, menantu saya, istri saya, kakek saya, dan semua tretan-tretan yang biasa bercengkrama diwarung kopi desa,” harus pergi dari desa, untuk waktu yang tak pernah tau kapan akan kembali.

5 tahun refleksi konflik sekte Agama Islam Syiah-Sunni di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, dihelat disebuah warung kopi yang konsep bangunannya khas rumah orang-orang pedesaan. Nama warung kopinya adalah Mbah Cokro, sebuah gaya arsitektur bentuk warung yang bemaksud oleh si pemiliknya (entah karena hidden agenda yang dikungkung oleh paradigmatik post-modernism, atau karena orangnya sendiri adalah orang ndeso yang ingin menularkan kearifan masyarakat pedesaan lewat Mbah Cokro) hendak disamakan dengan omah-omah khas di pedesaan, bukan gaya Joglo-an saya pikir, atau gaya rumah berpendopo lebar menyamping, yang biasa kita ketahui di ­omah-omah warga pinggiran Kota Kediri atau Kota Blitar. Maklum, di Kota Surabaya kita tak akan pernah tahu rumah-rumah bentuk macam begitu, mungkin karena kapitalisme dan pasar modal hanya menghendaki bangunan semi minimalis, seperti gaya-gaya arsitektur modern diperumahan Pruitt Igoe St. Louis, Missouri, arsitektur Minoru Yamasaki.

Mbah Cokro, dengan sengaja memberi identitas warung yang teduh bertema pedesaan, hanya dengan mengandalkan penggunaan bahan dasar kayu bambu untuk memperkuat, sekaligus memperindah dan memperteguh prinsip warung kopi berkonsep pedesaan. Meja, kursi, penyangga atap hampir semua dari bambu. Dipadu dengan pencahayaan lampu berwarna kuning, dari lampu dop, bukan bohlam. Menambah rancak dan lentik dari mereka yang merindukan kemuraman malam disebuah desa yang diam, dihimpit selasar sawah yang masih hijau belum menguning. Tapi letak Mbah Cokro bukan ditengah alas atau sawah. Cuma terletak di tengah sejumput tanah petak di tengah Kota Surabaya yang penuh hiruk-pikuk, yang cukup diisi belasan motor dan mobil untuk parkir. Kesemuanya itu, berhasil menuntaskan misi si empunya Mbah Cokro untuk membawa dan menyeret kembali aroma dekil, keremangan dan hangatnya suasana, yang oleh (karyawan pabrik, sales, pejabat eselon 1, mahasiswa, cleaning service, wartawan, dan sales promotion girl) masyarakat kota di Surabaya, tak akan pernah mereka dapati dari dinding-dinding beton bangunan rumah atau gedung tempat kerja mereka.

Meja bambu yang terbuat dari potongan bambu pipih, yang dipaku berjejer memanjang, menambah kehangatan kita bercengkrama. Kendati kopi pahit dan es teh yang kita pesan disebuah gelas yang terbuat dari seng besi berwarna hijau daun bermotif lorek-lorek, seringkali tumpah karena meja tersebut tidak rata secara sempurna menyangga benda-benda diatasnya. Kita hanya butuh rasa waspada dan sikap hati-hati saja sudah cukup, ketika meletakkan kembali gelas berisi kopi pahit atau es teh setelah nyruput minuman kita. Jangan sampai keasyikkan bergelak canda dengan sahabat dan keluarga, gelas atau piring berisikan gorengan kesenggol, tumpah.

Sepanjang mata menebar pandangan untuk mencari meja dan kursi yang nampak lengang saya coba lakukan. Dengan harapan dapat duduk mengikuti diskusi tepat dimuka panggung berukuran 4 x 3 meter, dengan tinggi tak lebih dari setengah meter, tempat dimana orang-orang yang berkepentingan dalam acara itu angkat bicara. Malam itu di Mbah Cokro begitu penuh, banyak orang. Mereka yang sekedar ngopi santai disela-sela waktu istirahat mereka paska menunaikan tugas mulia mencari nafkah, atau mereka (para mahasiswa, tukang becak, aktivis, pemikir, wartawan atau pegiat sosial) yang benar-benar datang untuk menyaksikan arah dan aras diskusi malam itu, atau mereka yang telah duduk disana dari ashar hingga isya yang benar-benar tak tau menau kalau malam itu ada sebuah perhelatan 5 tahun orang-orang yang linglung akibat suasana peradaban yang mencekam, yang mencari tahu kapan mereka akan pulang ke kampung halaman.

Tahun 2011 hingga 2012 masa dimana rasa getir karena perbedaan ras dan sekte agama mereka di tengah-tengah desa nan asri, pecah. Di malam itu, sudah genap 5 tahun, bahkan lebih, mereka orang-orang yang terlibat dan menjadi korban konflik yang kita lihat dari televisi 5 tahun yang lalu, tak pulang untuk mengungsi menghindari amuk yang berkepanjangan. Instruksi gubernur dan aparat pemerintah Jawa Timur menghendaki mereka untuk segera direlokasi menjauh dari desa mereka. Para korban tak mau, karena mereka tahu jika benar mereka nampak mengangkat kakinya untuk meninggalkan desa, maka akan terbukti benar tuduhan-tuduhan absurd yang tak mendasar atas konflik buta. Tapi tetap mereka tak mampu. Setelah beberapa rumah dirobohkan paksa dan lainnya dibakar, seakan menandakan instruksi itu benar-benar segera dilaksanakan. Para korban yang kita ketahui sebagai warga Sampang bersekte Agama Islam Syiah dengan nanar dan nyinyir atas kelakuan para tetangga yang sekejap menjadi musuh yang beringas, akhirnya berjalan dengan berbaris untuk satu persatu naik bus dan mobil garnisun pesanan aparat Polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Tak ada protes, tak ada perlawanan, hanya dengus nafas yang tersengal-sengal dari hidung mereka setelah berlari terbirit-birit, dengan memapah nenek, istri dan anak-anak balita mereka untuk menghindar dari sabetan celurit dan bogem mentah tetangga-tetangga yang tersulut hasut lantas buta mata, sampai-sampai sulit membedakan mana saudara, tretan dan setan. Bagi mereka yang berusia belum genap 4 tahun; cucu-cucu, keponakan, alek-alek, mungkin menganggap mereka akan berlibur ke sebuah tempat yang sama sekali tak pernah mereka terbayang untuk didatangi, dengan asumsi senang-senang, sorak-sorak, lantas pulang dan tidur. Namun tidak bagi mereka para kakek-kakek, bapak-bapak, ibu-ibu dan pemuda-pemudi, seakan menganggap truk aparat dan bus pariwisata yang sengaja disewakan untuk mengangkut mereka, ke sebuah tempat yang mereka dulu tak pernah berfikir akan begitu lama tinggal, dan tak pernah pulang.

5 tahun bagi kita, hanya sebatas waktu, dimana masalah ini seakan-akan telah sirna di mebran otak kita. 5 tahun bagi kita mungkin sebuah rekap sejarah di dalam sebuah file memori otobiografi tentang kejahatan (mereka akhirnya gunakan kosakata itu), untuk mendefinisikan, apa yang para tetangga mereka lakukan dengan celurit, bara api, dan bogem mentah siang hari di peralihan tahun 2011 hingga 2012. Selama itu, bagi kita yang tak mengalami polemik dan kronik (macam dihasut sesat hanya untuk sah diterlantarkan dan dibuang ditanah orang), mungkin sebuah sendu yang turut memperelok kebiasaan ngopi kita di Mbah Cokro, sembari bercengkrama dengan sahabat, teman, kantor, keluarga atau seorang gebetan yang kita incar dari senin sampai menunggu malam minggu. Dan sepertinya 5 tahun bagi kita, tak lebih dari monumental yang cukup sebatas kita tahu semata ditengah nyruput wedang jahe, yang tak akan pernah melekat diingatan kita sebagai problem moral dan kemanusiaan yang sedang serius melihat nasib orang-orang yang tak pernah tidur nyenyak dipengungsian, setelah kita membayar wedang jahe ke kasir dan ngacir pulang ke rumah atau kosan.

Tapi. 5 tahun bagi mereka merupakan 5 abad dimana tanda tanya tentang kesalahan, dosa dan pengusiran diri mereka tak pernah ada jawaban yang pasti menenangkan seluk beluk hati mereka. 5 tahun adalah waktu dimana mereka harus membiarkan rasa pening karena teriris hati akibat seteru yang tak pernah ada orang yang tau letak dan status seterunya ada dimana. 5 tahun bagi mereka sama halnya 5 abad tinggal di tanah orang dengan status sebagai tawanan yang tersandera karena keadaan yang mencekam karena ras dan sekte yang dianggap berbeda dari yang mayoritas. Hanya menanti sampai senja menghunus mereka ditengah kelinglungan untuk mencari kejelasan, kapan mereka pulang. 5 tahun tentu waktu yang lama itu menjadi ukuran betapa mereka tak dianggap sebagai manusia yang berdaulat atas tanah dan hewan ternak di dusun mereka.

Malam refleksi 5 tahun yang ditujukan untuk mendengar dan menyaksikan kegetiran setelah dicampakkan sebagai manusia dan warga negara, seharusnya menjadi diskursus publik yang bermaksud membawa arah penyajian forum malam refleksi itu untuk lebih menilik secara khusus benang merah proses (dan tentunya hasil) rekonsiliasi dan hasil berbagai macam lobi dan musyawarah ditingkat pemerintahan nasional atau daerah, selama 5 tahun terakhir. Dengan satu poros pertanyaan, apakah ada kemungkinan damai secara komprehensif (damai atas masalah dan terjaminnya hak hidup bagi para korban selepas pulang dan meneruskan kembali kehidupan mereka). Mumpung tersedia ruang diskusi publik yang dihadiri semua elemen kemasyarakatan, forum refleksi tersebut seharusnya menjadi optimisme bersama untuk menguliti, apa sih status ontologi dari masalah yang dulu pernah tersulut dan meletup? Dan, mencoba memberanikan diri bersuara dengan nada tinggi, menanyakan kapan rekonsiliasi ini berbuah hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam kepulangan mereka ke tanah asal di Sampang, dengan berbagai macam sudut pandang, perspektif dan horizon pengetahuan oleh mereka para aktivitas pegiat sosial, budayawan, cendikia, guru, dosen, wartawan, guru besar, tukang arloji, pedagang baju bekas dan para Pegawai Negeri Sipil (PNS) kaki tangan pemerintah pusat dan daerah.

Atau setidaknya melihat capaian selama ini yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pusat. Atau paling tidak hasil diskusi di malam refleksi tersebut hendaknya akan menjadi catatan yang memiliki teken kontrak tagihan dari masyarakat, dengan asumsi pemerintah dapat menjembatani. Jika bisa menjembatani rekonsiliasi dan kepulangan mereka, berarti kita semua yang kebetulan ngopi pada malam itu, hanya butuh kepastian (benar-benar pasti, bukan rencana lagi) kapan harinya, tanggalnya, bulannya, tahunnya, jamnya, bahkan detiknya dari hasil diskursus di meja parlemen pusat atau daerah. Atau jika pemerintah di pusat dan daerah berkata dan menanggapi dengan hal sebaliknya. “Saya selaku presiden, gubernur, bupati, camat, atau lurah (misalnya) secara ringan dan berat hati menyatakan tidak mampu menyelesaikan masalah di Sampang.” Maka arah diskusi forum malam refleksi itu akan menjembatani semua ide pemikiran dan gagasan pengunjung yang nyuruput kopi di Mbah Cokro, untuk menuntaskan problem kemanusiaan (dengan status, masalah yang tak mampu ditangani oleh pemerintah), dengan satu buah catatan. Tanpa keterlibatan pemerintah.

Tapi sepertinya optimisme itu harus tandas seketika, saat seorang entah siapa itu namanya saya lupa, mendadak berkelakar, ketika ia enuturkan jikalau tidak hadir di atas panggung itu, dirinya benar-benar tidak akan tahu ada sekumpulan orang dari berbagai dusun kecil nan asri di Sampang Madura yang terusir karena konflik horizonal yang diperkeruh dengan ketidakbecusan pemerintah pusat dan daerah di Jawa Timur, mengenai hal itu. “Oh ada ya? Kasus penistaan yang berujung pengusiran selama itu di Jawa Timur.” Ucapnya dongkol. Dari salah seorang dipanggung saat diskusi hendak dihelat. Bayangkan, mereka  yang telah 5 tahun lamanya tak nyenak tidur dan tak enak makan, ternyata harus ditanggapi nyinyir dengan kedongkolan tersebut. Saya bertanya siapa yang lebih biadap sekarang?

Atau sebuah demagogi dari seorang yang, saya juga lupa namanya, saya sebut saja budayawan yang meracik kata-kata dan mengolah lekuk-lekuk fonem untuk dijadikan selarik dua larik metafora yang diorasikan dihadapan pengunjung, dan disaksikan sebagian besar pengungsi sekte Agama Islam Syiah yang tinggal di Rusunawa Puspa Agro, Jemundo, Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebuah metafora atau orasi ilmiah yang hanya berisikan retorika-retorika kosong tentang syaraf kemanusiaan bangsa Indonesia tak lagi peka untuk melihat perkara di Sampang dan warga sekte Agama Islam Syiah yang terlunta-lunta. Iya kita semua paham. Tak perlu meramunya dalam sebuah premis-premis panjang yang mengular menjalar hingga 30 menit lebih orasi itu termuntahkan. Karena 5 tahun cukup jelas mempertegas garis luka dan sayat-sayat umpatan tercela di lobus temporalis para pengungi korban konflik. Ketimbang racikan kalimat bernada sendu, berdiksi haru orasi ilmiah paska adzan Isya’ malam itu. Tapi apa mau dikata. Pamflet yang menyebar secara viral broadcast dimedia sosial itu ternyata hanya sebatas acara refleksi semata. Saya lupa. Acara refleksi adalah sebuah acara untuk (sebatas) mempertebal ingatan banyak orang tentang suatu peristiwa atau momentum penting, sayangnya acara refleksi bukan untuk mencari negasi dari momentum (yang jika kita sebut sebagai masalah) untuk dicarikan solusi dan jalan keluar, karena momentum yang menjadi bahan dasar acara berformat refleksi acapkali dikenal sebagai momen kemanusiaan.

Dan problem kemanusiaan pada konflik horizontal sekte Agama Islam Syiah-Sunni di Sampang yang telah terjadi 5 tahun lalu, dan selama itu pula tak pernah menuai titik temu, sepertinya tak pantas, bahkan cenderung kurang ajar, jika sebatas diwadahi sebuah acara teatrikal, diskursus retoris atau refleksi momentum belaka. Kendati, dimaksudkan agar segala pesan atas masalah yang diperbincangkan di acara tersebut akan ditangkap oleh media, dengan harapan untuk dilansir melalui pemberitaan esok hari. Entah dengan itikad dibaca oleh pemerintah, atau sebatas menjadi  buah bibir ditengah-tengah masyarakat Indonesia, yang sebenarnya sama kalutnya karena konflik horizontal menjadi fenomena menggejala diberbagai macam wilayah di seluruh Indonesia. Satu pertanyaan saja kiranya, “kita dapat mengukur itu dari mana?” Seorang berkelakar dengan sedikit bersorak suaranya melengking nyaring, dari kejuhan di tempat parkir. Belakangan diketahui ia seorang tukang becak yang tempat nge-temnya di Pasar Wonokromo.

Apakah masih mau mengandalkan media yang jelas-jelas menjadi usus besar korporasi oleh tubuh parlemen dan si empunya modal. Apakah tak ingat jika media bukan lagi sebagaimana yang kita cita-citakan dulu, paska pemain libero pemerintahan indonesia paska orde baru dengna nama punggung kementerian penerangan, mendadak dicoret dari daftar formasi 4-4-2 kabinet presiden yang kini dilegitimasi oleh para cendikiawan muslim (dari bejibun-jibun buku) sebagai seorang waliullah, Abdurahman Wahid (Gus Dur), untuk menjadi urat nadi demokrasi, kebebasan dan pengungkapan pendapat dari rakyat untuk mereka yang terlibat dan berwewenang atas perkara publik. Apakah kita masih mengadalkan itu? Mengandalkan entitas yang benar-benar tak mampu mewakili atas terselesaikannya  masalah sahabat dan saudara-saudara kita yang 5 tahun belakangan ini tak pernah nyenyak tidurnya, di rumah susun. Yang kini kata seorang ibu-ibu dimalam itu yang didapuk mewakili keseluruhan para pengungsi untuk menyuarakan aspirasi yang mengedap selama 5 tahun. “Atap rusun sudah bocor bangunan sudah gak layak, kalau hujan angin kita lari menjauh dari bangunan. Karena kita takut roboh.”

Kendati optimisme tukang becak itu yang sekaligus mewakili optimisme saya pribadi telah roboh. Namun saya masih sangat antusias dan berterima kasih dengan para orang-orang visioner, berpikiran sehat, jernih akalnya dan terbuka, dalam melihat masalah ini secara holistik. Mereka  yang muncul dari dapur-dapur diskursus publik yang terwadahi dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mereka kini menjadi sparing partner untuk mencari kejelasan apakah iya tetap membiarkan sahabat-sahabat kita dari Sampang (setelah acara pada malam refleksi itu usai) untuk menyuruh mereka kembali berduyun-duyun menaiki kendaraan yang mengantar mereka datang ke Mbah Cokro, dan kembali lagi ke Rusunawa, dengan tetap berkemul sarung ketidakjelasan nasib sembari menyulut udut di emperan rusun, dan tidur (seakan-akan terlelap) dengan menyisahkan tanda tanya tentang kambing, sapi, ladang, makam kakek buyut siapa kan menjaganya. Kita akhirnya bertanya tentang untuk apa acara refleksi malam itu.

Seorang budayawan, yang tadi saya sebut tapi lupa namanya, sedikit menyulut sorak dan semangat para pengungsi Sampang untuk mempertegas keinginan mereka pulang. “Apakah siap untuk kembali  ke rumah.” Mereka para pengungsi menjawab tanpa dikomando seorangpun. “Siap!” Sebuah semangat yang mau tidak mau menjadi pertaruhan terakhir mereka setelah mengalami sesak dihimpit oleh rasa risau dan rikuh dipengungsian yang tak sabar beranjak pulang ke rumah. Sebuah Id yang tak dapat seorangpun mampu bendung, bahkan oleh strukturasi sosiologi kelompok manapun (dari pemerintah atau stigma sesat pada personalitas keagamaan mereka) berbentuk superego yang mengungkung hasrat mereka untuk bersua dengan tanah kelahiran, sapi, rerumputan, ternak dan ilalang halaman rumah mereka. Kendati ketakutan akan kembalinya mereka, dibayang-bayangi oleh bogem mentah, dibakarnya rumah peninggalan orang tua atau dicaroknya leher mereka. Semua ancaman itu tetap tak menyurutkan apa yang Id sebut sebagai desire yang oleh konstitusi merawatnya secara adil untuk setiap warga negara. Apakah kita (elemen pemerintah dan yang mewakili elemen waga negara berpayung organisasi masyarakat) mampu memahami hal itu, lantas kemudian menjadi fasilitator bernama ego untuk menjembatani Id mencapai apa yang ingin dipenuhi. Saya pikir nol besar. Dibuktikan dari diamnya pemerintah, tim rekonsiliasi selama 5 tahun belakang ini, yang sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan kita (semua tak terkecuali) untuk memahami, membaca sekaligus mencarikan solusi. Sepertinya keputusan untuk melakukan makar terhadap konstitusi yang lembek dari bangsa ini, harus sesegera mungkin diimplementasikan. Kendati makar yang kita sebut adalah suatu bentuk makar atas kesadaran yang primitif dan cenderung psikosomatis dari tubuh konstitusi dan orang-orang di parlemen tingkat nasional atau tingkat daerah.

Apalagi yang ingin kita diskursuskan hari ini? Di ruang publik? Di ruang akademis? Di ruang birokratis atau di ruang-ruang teologis sekalipun? Perkaranya seiring waktu 5 tahun ini, sesungguhnya telah nampak jelas dihadapan kita. Bahwa apa yang menjadi masalah di sebuah dusun kecil, asri, damai, dan tentram, Dusun Nangkernang di Sampang Madura, bukanlah perkara teologis yang (hanya) para ulama fiqih, hadist dan para cendikiawan muslim mampu untuk merumuskan, dengan sebuah premis atau dalil-dalil kitab suci (yang mustahil dibantah karena bersumber dari Tuhan langsung), sebagai cerminan politik kebenaran bahwa karena entitas yang dominan juga memiliki esensi dasar kebenarannya sendiri (jadi “benar menurut” bukan “kebenaranya”). Hingga pada akhirnya keputusan untuk menilai apakah ini sesat, kafir, bidah atau kurafat (dan hal ihkwal istilah-istilah agama yang lebih mampu mengalahkan rasa solidaritas umat manusia) menjadi sebuah diksi, gramatika, istilah bahasa yang paling ditunggu-tunggu. Dan kita tahu itu, karena diskursus tentang teologi sudah berhenti sejak munculnya fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Madura atau dari pusat, sebenarnya tak merubah apa-apa dari kronik masalah saudara-saudara kita.

Lihat dan membaca fatwa MUI Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012, menjadikan apa yang kita sebut landasan teologi menjadi antitesa rasa solidaritas kemanusiaan, tentu terang tergambarkan. Hal itu dibuktikan dari keberadan mereka ya tetap saja menjadi pengungsi yang tak jelas akan dipindah pulang kapan waktunya. Kendati istilah damai sempat terlontar dari mulut mereka yang pernah membogem mentah para pengungsi di tahun 2012. Lagipula, tak usah jauh-jauh  untuk menguliti barang satu persatu anasir dalam perspektif teologi. Mengapa demikian? Karena kita sebenarnya telah melupakan, bahkan terkesan lalai, bahwa ada sebuah tema diskursus yang tak kalah penting dari tema diskursus teologi, yakni diskursus tentang kemanusiaan. Saya pikir forum refleksi malam itu telah menegaskan hal tersebut. Namun dalam koridor tertentu, diskursus tersebut melupakan satu aspek penting yakni definisi operasional bagaimana solusi konkret dari hasil ruang-ruang diskursus kita menjadi kerangka implementasi pemerintah pusat dan daerah untuk merekonsiliasi pertengkaran antar saudara yang dipisahkan garis sekte agama yang mereka anut.

Karena masalahnya bukan karena para pengungsi tidak mau pulang. Tapi karena ada semacam traumatis yang akut ketika (nantinya) sudah sampai sana, apakah ada kemungkinan mereka akan diperlakukan lagi secara semena-mena oleh mereka yang masih belum sadar atas keputusan rekonsiliasi masalah. Hal ini jelas mengindikasikan bukan karena problem teologi tapi problem taktis semata, bahwa dibutuhkan peran pemerintah yang secara sdar, kolektif, dan komprehensif menjaga keamanan dan stabilitas kehidupan warga negara selama upaya rekonsiliasi konflik berlangsung. Apakah problem yang secara gamblang dan jelas solusinya (semacam ini) masih saja dibingungkan oleh pihak pemerintah. Jika benar demikian. Keputusan untuk makar ayo sama-sama kita lakukan.

Dahulu saya pernah meneliti kasus tersebut saat usia perkara itu berumur 4 tahun. Tentang aspek prasangka dan diskriminasi yang dirasakan para korban konflik sekte Agama Islam Syiah-Sunni yang terjadi di Sampang selama hidup dan tinggal di Rusunawa, Jemundo, Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur. Saya menghampiri mereka, dan bercakap-cakap di tengah teriknya siang bulan ramadan tahun 2015. Bertamu ke seorang tokoh masyarakat sekaligus ulama pengungsi yang terbuka dan tak merasa resah, siang harinya dibulan puasa itu saya ganggu untuk berwawancara. Karena sikapnya yang begitu arif dan terbuka tanpa prasangka terhadap saya sebagai orang asing, membuat saya takzim terhadap beliau. Ikli Al Milal, namanya, saya panggil dengan sebutan ustadz.

Beliau seorang bertubuh tinggi, dengan rambut tipis sekitar 2 cm kiranya setengah agak botak, bentuk wajah oval dengan paras dan tatapan sayu menenangkan, seakan hendak menunjukkan sebuah keteguhan prinsipil dalam dirinya, kendati telah lama mendera konflik batin dan fisik atas kasus saling sikut antar sekte Agama Islam Syiah-Sunni yang berujung pembakaran beberapa rumah tetangganya. Dalam penuturannya beliau dan para warga lainnya sudah tidak betah lagi berlama-lama di tanah orang untuk mengungsi. Meskipun beberapa waktu lalu pendanaan untuk hidup selama di pengungsian terus ngucur mengalir dan menghidupkan kepulan asap dapur-dapur istri mereka. Tapi beliau tetap ingin pulang, ingin kembali beraktivitas sebagaimana yang biasa ia lakukan saat masih kecil hingga menjadi bapak-bapak kini, yakni angon sapi, bercocok tanam dan berkebun di ladang. Penuturan itu saya jadikan sebuah data penelitian ditahun 2015, yang kini dapat kita temukan di sebuah Jurnal Mahasiswa PSIKOSA miliki Lembaga Pers Mahasiswa Alam Tara Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya.

Di tahun itu  saya menangkap sebuah kegetiran tentang rasa rikuh dan rasa tak percaya diri atas keadaan yang katanya (ia dengar) dari aparat pemerintah bahwa warga para pengungsi segera mendapat kejelasan seiring proses rekonsiliasi berlangsung. “Tenang saja selama hidup di pengungsian Rusunawa.” Tapi ustadz Ikli mewakili warga lainnya jelas tidak tenang dan keinginan mereka untuk kembali pulang adalah obat dari kegundahan dan rasa tak nyenyak tidur yang tiap malam mendera mimpi mereka di pengungsian. Ingin pulang adalah tujuan akhir dari ketidakjelasan yang 5 tahun belakangan menghinggapi ubun-ubun kepala mereka. Rasa betah bukan terlintas setelah bertahun-tahun jauh dari rumah. Tapi setelah 1 minggu berada di rusunawa yang ketika itu masih bagus bentuknya, tak bocor dan masih terawat, rasa tak betah dan ingin pulang telah mendera benak mereka, sembari berdoa agar kasus yang membuat beberapa kerabat mereka ditahan kepolisian segera dilepaskan oleh pihak aparat. Hingga di tahun 2017 tinggal di Rusunawa yang kini keadaannya bak gudang penyimpanan barang-barang bekas, yang atapnya bocor sana-sini gedung yang mulai reot dan hal ikhwal ketidaklayakkan hunian bagi manusia. Rasa tak betah untuk segera pulang masih tetap sama antusiasnya. Bahkan tak berkurang selama 5 tahun.

Diskusi dengan tema malam refleksi 5 tahun pengungsi Syiah Sampang (yang) ingin pulang, telah berjalan 1 jam lamanya. Saya mengikuti dari awal kendati harus berdiri menahan lelah pada betis dan lutut kaki saya karena kursi yang terbatas di Mbah Cokropun juga harus menampung banyaknya para pengungsi yang turut hadir di malam itu. Rasa lelah ini tak seberapa sepertinya, justru saya malu ketika saya pribadi gusar menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari celah kursi yang cukup untuk saya duduki, entah dengan cara apapun, dengan cara menyerobot atau dengan cara meminta. Tapi saya sepertinya tak patut berperilaku demikian. Bahwa saya berfikir demikian saya sendiripun merasa malu. Untuk menahan lelah karena berdiri 1 jam saja tak kuat. Bayangkan mereka para pengungsi yang harus berdiri di luar batas semesta kehidupan mereka; ladang, rumah, pekarangan dan tempat tidur mereka yang nyaman di Sampang bertahun-tahun menangispun mereka anggap sesuatu bentuk ketidakpantasan.

Ditambah satu kerikuhan saya menghinggapi ditengah-tengah seorang pemandu forum mulai memutar video rekap peristiwa detik-detik pembakaran hingga mereka tinggal di Rusunawa oleh pihak wartawan, entah siapa itu namanya, mohon maaf sekali lagi saya tak pernah mudah menginat nama. Seorang yang familiar saya ingat berada di samping kiri panggung seorang bapak-bapak berusia sekitar 50 tahun tinggi agak jangkung, berparas wajah dingin dan bermata sayu mencoba membongkar memori lama saya tentang paras dan perwakan Ustadz Ikli Al Milal, setelah 3 tahun lamanya tak lagi bersua setelah penelitian saya usai. Dan benar bapak-bapak itu adalah beliau. Ingin rasanya saya menepuk pundak beliau, menjabat tangan sembari mencium punggung tangan kanannya, dengan sedikit berbisik lirih di dekat telinganya mengucapkan beberapa kalimat yang sudat saya konsep di kepala sebelumnya. “Assalamualaikum ustadz bagaimana kabar? Masih ingat saya yang dulu sempat mengganggu jenengan dibulan puasa ditengah terik siang bolong.” Susunan verbatimnya hanya itu.

Tapi video yang berdurasi tak lebih dari 30 menit itu sepertinya menggugah kesadaran ustads Ikli untuk tak mau berpaling atau diganggu oleh siapapun menyaksikan detik-detik dimana rasa kemanusiaan tak lagi landasan berfikir untuk berpihak pada seorang manusia seperti dirinya dan para tetangganya. Yang ia tahu hanyalh bromocorah yang menegaskan siapa suci dan siapa yang kafir? Ia menonton video itu tanpa bercakap-cakap dengan kerabatnya disisi kanan dan kirinya, kepala terpaku pada tembakan LCD layar malam itu. Sepertinya ia sedang hikmat menyaksikan kembali sejarah hidup yang tak mampu ia pilih nasibnya di waktu itu. Akhirnya Saya urung melakukan itu. Saya takut mengganggu beliau, cukup Surat Al-Fatihah yang saya sempatkan membacanya untuk menghadiahi pahala surat tersebut kepada beliau, dengan harapan beliau dan semua keluarga termasuk tetangganya di pengungsian senantiasa sehat walafiat hingga Allah SWT mengijinkan saya untuk bertemu dilain waktu, terutama untuk mengucapkan terima kasih atas keramahtamahannya menjamu saya yang sedang belajar.

Semula saya pikir, sebelum memahami betul apa arti kata refleksi, diawal pertama kali saya mengikuti diskusi malam itu, akan dipastikan datang orang-orang atau elemen pemerintahan yang bertanggungjawab atas tuntas dan tidak tuntasnya kasus kemanusiaan itu (bukan sekeder perkara teologi Islam semata). Dan asumsi itu pula yang sebenarnya menjadi salah satu ketertarikan saya untuk datang ke Mbah Cokro dan mengikuti diskusi malam refleksi itu. Sejak awal melakukan penelitan atas apa yang mereka rasakan selama di pengungsian, dikepala saya ada sebuah hipotesis yang masih belum terbukti tentang hasil penelitian saya, yakni akankah perkara itu selesai dan mereka bisa pulang, mengingat sudah 2015 berarti 4 tahun lebih mereka berada dalam status konflik. Itu dulu di tahun 2015. Dan di malam tahun 2017 ini (jelas menandakan kasus itu lebih dari 5 tahun), seakan akan saya menganggap tanda tanya itu akan dijawab dan hipotesis saya akhirnya gugur karena sudah jelas. Dengan sebuah prediksi bahwa forum nanti akan didatangkan orang-orang, entah dari elemen pemerintahan atau elemen pemerhati masalah sosial ditingkat pemerintahan untuk secara taktis mengupayakan kasus yang berlaruk larut tersebut selesai dan berbuah keputusan tanggal kapan mereka bisa pulang.

Tapi lagi-lagi, forum malam itu memaksa saya untuk menarik garis pemaknaan bahwa hidup ini sepertinya berisikan kompromi dan kompromi atas realitas yang disibakkan oleh Tuhan. Apa yang semula saya asumsikan (semuanya) keliru dan terbantahkan. Karena tadinya saya pikir di Mbah Cokro akan dihadiri oleh Pertama entah bapak atau ibu perwakilan pimpinan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Cipta Karya selaku yang menangani fasilitas tempat tinggal mereka di Rusunawa, Puspa Agro, Jemundo, Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur. Kedua, semula saya pikir ada bapak, guru, dosen, juga sekaligus saya anggap sebagai kiai (karena saya yakin beliau hampir setiap hari mendoakan saya dan semua sahabat-sahabat saya yang masih berkuliah di kampus), yakni Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya yang menjadi ketua tim rekonsiliasi kasus konflik sekte Agama Islam Syiah-Sunni di Sampang atau seorang dua orang perwakilan dari timnya untuk memberikan track record atau progres hasil rekonsiliasi kasus. Ketiga, semula saya juga pikir ada beberapa pemerintah daerah (Pemda) dari Kabupaten Sampang untuk menguatkan progres capaian tim rekonsiliasi kasus yang telah ditemukan tim rekonsiliasi.

Keempat, perwakilan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Jawa Timur untuk memberikan data-data, entah hasil penelitan atau hal ihwal yang memperkuat proses rekonsiliasi kasus. Kelima, para PNS sebagai kaki tangan anak buah Menteri Sosial Republik Indonesia untuk membaca strategi dan taktik bagaimana mempercepat proses rekonsiliasi kasus dan pemulangan kembali mereka yang mengungsi. Mengingat sudah 5 tahun tak kunjung jelas perkara. Keenam, para PNS (kaki tangan Pakde Karwo atua Gus Ipul) selaku Gubernur Jawa Timur untuk turut hadir minimal nyruput kopi di Mbah Cokro sembari mendengar dan mencatat keluh kesah mereka disebuah kertas bermaterai bercap  dan berstempel pemerintah provinsi Jawa Timur untuk meneken kontrak berisikan hari, tanggal, bulan, tahun, jam, tempat kepulangan mereka ke tanah kelahiran di Sampang Madura.

Ruang diskursus sepertinya bukan sekali dan dua kali di tahun ini saja dihelat untuk mencari perkara yang paling fundamental tentang meletusnya konflik di Sampang. Dengan catatan bahwa diskursus nanti  hendaknya menelurkan juga sebuah blue print atau definisi operasional yang dapat diimplementasi secara komprehensif dan taktis oleh elemen pemerintahan sebagai upaya menuntaskan perkara yang cenderung bagi arus bawah masyarakat kita tengah dibiarkan oleh pemerintah. Entah pada dasarnya. Karena momen politik, karena tak ada biaya atau anggaran tak mampu mengucurkan dana karena dianggapnya tak strategis. Atau karena self awareness telah hilang dari kepekaan atas realitas, akibat strukturasi jabatan, status sosial hasil boroknya politik atau legitimasi identitas karena tampuk kepemimpinan.

Tapi malam itu. Hingga diskusi harus dibubarkan oleh aparat kepolisian saya tak benar-benar tahu arah perbincangan, sedari orasi ilmiah budayawan hingga keluh kesah dari para pengungsi dan rekap data selama kasus Syiah Sampang terjadi, hendak diarahkan kemana untuk menuai jawaban.  5 tahun sanak family kita yang tinggal di pengungsian harus resah setiap menjelang tidur di malam harinya, hingga terbangun dipagi harinya. Pemerintah dan aparatur negara menjadi elemen penting untuk menuntaskan problem ini, bukan lagi kiai atau cendikiawan muslim, karena problem ini bukan lagi sebatas diskursus publik bertema teologis. Tapi diskursus publik bertema kemanusiaan. Dan diskursus dari tahun 2012 hingga 2017 tak kurang-kurangnya menyajikan konsep besar grand narative solusi, yang hanya butuh diaktualisasikan secara konkrit lewat undang-undang (UU), Peraturan Daerah (Perda), dan instruksi taktis aparat pemerintah. Rasa-rasanya memang benar, sepertinya kita telah gagal menjadi manusia. Bayangkan? Menjadi manusia saja kita gagal. Apakah iya kita masih saja meneruskan upaya bermanunggaling dengan kawula lan gusti melalui instrumentasi bernama agama dan rasa berkeyakinan kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karena nyenyak tidaknya tidur mereka (sahabat, kakek, tretan-tretan, alek-alek, bapak, pakde, emak dan semua orang pengungsi yang mendadak kita anggap sebagai saudara sekandung dan sedarah di malam refleksi itu) adalah dosa kita. (Luhur Pambudi) Penulis adalah Mahasiswa Semester 8 Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.