Dihimpit Oleh Trah, Sulit Bedakan Kritik dan Otokritik (Oleh: Luhur Pambudi)
Sebuah pesan broadcast missage yang dicopas dari orang lain, ke orang lain, ke orang lainnya lagi, dan seorang lainnya lagi ke orangnya lagi, nampak sedikit menggelikkan urat nadi kita. Tekadang hal-hal yang menggelikan membuat kita tertawa tapi pesan media sosial yang satu ini cukup berbeda. Membuat kita geram, marah, muntap, seakan-akan ingin rasanya njotos (orang yang menulis pesan tersebut).
Rohmad, nama si empunya pesan yang belakan di viral oleh semua mahasiswa yang menjadi peserta sidang Kongres Besar Mahasiswa Universitas (KBMU) yang diselenggarakan pada hari kamis itu. Tak perlu mengulas pesannya berisi apa dan bagaimana pesan itu dibuat. Karena saya yakin kegamblangan saya menjelaskan pesan yang menjadi viral itu, benar-benar tak mampu mewakili kecepatan dan keakurasian data otentik dari pesan yang menjadi viral tersebut. Seakan-akan memang benar. Tapi memang benar-benar, benar. Bahwa kecepatan teknologi yang menyemprotkan sperma bernama arus informasi dalam koridor rahim bernama modernitas, memperjelas dan mewakili hal ikhwal kehidupan kita, manusia.
Teruntuk sahabat atau kawan-kawan kita yang menjadi lokomotif, motor, penggerak, mesin dan orang yang memoblisasi adanya forum kehormatan tingkat tinggi bagi mahasisa UIN Sunan Ampel Surabaya pada siang itu,kendati harus dilanjut pada hari berikutnya, dan hari berikutnya, hingga sampai pada sebuah argumen, “eh segera diselesaikan saja sidangnya malam ini, jangan sampai dilanjutkan hari senin, karena lawan menghendaki itu, untuk melancarkan strategi mereka.” Ada sebuah broadcast yang bernada demikian, perlu kita apresiasi upayanya untuk tetap menyemaikan kehidupan berpolitik ala mahasiswa, ditengah-tengah arus modernitas yang menyebabkan mahasiswa kini memilih untuk cangkruk di warung kopi, genda’an, touring, dan shoping di mal-mal.
Saya tak akan menyangsikan kalau kita semua mengenal sesosok mahasiswa bernama Soe Hok Gie. Kenal yang dimaksud mungkin bukan berarti setelah kita berjabat tangan, saling pandang, kemudian bercakap-cakap tentang ini dan itu lantas ngopi bersama dan lain sebagainya, lalu disebut kenal. Bahkan ada juga orang yang luar biasa akrabnya, erat sekali jabat tangannya, mesra sekali perbincangannya dan begitu hangat hubungan biliateral antara hati mereka, tapi ujung-ujungnya saling serang dan saling bunuh. Kenal yang dimaksud dalam upaya kita mengenal sosok Soe Hok Gie, mungin lebih kepada akibat pergulatan kita membaca buku-buku yang akhirnya dijadikan diterbitkan oleh sahabat-sahabatnya dan menginspirasi pembuatan sebuah film mahasiswa bertajuk GIE tahun 2006 sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana. Kita kan tahu, Soe Hok Gie adalah seorang penulis dilain sisi adalah mahasiswa yang aktivitasnya kalau gak nonton film prono, ya naik gunung, baca buku-buku pemikiran tokoh dari kanan hingga yang paling kiri, atau sekedar diskusi untuk menyehatkan pandangan-pandangan atau letupan-letupan gagasan dibenak sanubarinya. Maklum masa perkembangan dewasa awal cukup memungkinkan bagi seorang mahasiswa apalagi seorang aktivitas bersikap sekeras batu, dan berperilaku sebringas singa yang disebut Machiavelli.
Saya pikir Rohmad adalah sama. Sama seperti Soe Hok Gie.
Saya berani memastikan demikian karena, saya tahu, andai kata dulu ditahun dimana orde lama dikonfontasi habis-habisan oleh militer yang ngajak-ngajak mahasiswa ditahun 60-an, media sosial, teknologi, facebook, twiter, WhatsApp, youtube, BBM dan instagram dan hal ihwal jenis-jenis media sosial lainnya, sudah ada merbak, menjamur sebagaimana saat ini kita rasakan. Soe Hok Gie seorang aktivitas (yang katanya independen) ternyata seorang kader Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSos) yang berafiliasi dengan Partai Sosiali Indonesia (PSI) yang dipimpin Sjutan Sjahrir, yang hobi menulis membaca dan mengkritik, mungkin akan diperlakukan sama sebagaimana Rohmad sahabat kita yang baru saja kita kenal di forum KBMU siang itu. Soe Hok Gie akan mejadi seorang yang kita lazim sebut alay saya pikir karena status-status media sosialnya yang berkeluh kesah melulu setiap hari. Entah, lebih parah atau lebih tak dapat diprediksi, mungkin dengan umpatan yang sama, dicaci-maki karena terlalu sering bertanya, diumpat karena sering menginterupsi, ditakuti karena argumennya terkesan mengintimidasi, dirasani karena membongkar rahasia perusahaan organisasi ekstra kampus yang berkepentingan (di dalam forum itu) apalagi dan tak menutup kemungkinan akan dibunuh selepas forum usai sesaat Si Rohmad berjalan ke arah kos tempat ia tinggal.
Satu hal saja yang mungkin bisa kita tarik garis yang satu dan yang sama, tentang sahabat kita bernama Rohmad dan sosok mahasiswa idola kita yang mati muda, Soe Hok Gie. Bahwa mereka sama-sama ingin cara pikir dan cara pandang mahasiswa memandang politik dan hal ihwal tentang miniatur negara kampus mereka di UIN Sunan Ampel Surabaya, menjadi sehat, berakal fikiran logis-rasional, sistematis-dialektis mengingatkan kita bahwa lebih penting upaya kaderisasi terhadap adik-adik dan kader-kader ketimbang lobi-lobi politik praktis yang gak jelas hendak berorientasi pada hal apa.
Lalu kita bertanya apa yang sedang kita perjuangkan jika seperti ini jadinya? Apakah pendidikan politik. Jelas mustahil. Wong kita sendiri mengharapkan agar mahasiswa pada umumnya jangan banyak tahu dan berbicara karena statistik suara dan manipuasi suara pemilu harus dilakukan jika mau menang.
Rohmad dalam tanda kutip ingin mengembalikan khitah kita sebagai enitas paling logis, paling berani, paling bertanggung awab, khalifah fil ard melalui waktu belajar yang lama di perguruan tinggi. Tapi pertanyaannya mengapa kita seakan-akan takut akan keberadaan sikap kritis yang Rohmad lontarkan. Menganggap dirinya sebai seorang yang tak sebendera, segaris, sehaluan, seideologi dan sepaham arah arus politik golongan. Bukankah jelas ia adalah sama sebagaimana Soe Hok Gie yang mencerminkan sikap peduli tehadap golongan dan kelompok ideologi. Hanya saja caranya lain. Tapi kita perlu memahami ini. Bahwa yang di lakukan Rohmad adalah otokritik, bukan sebatas kritik. Karena sadar atau tidak argumen dan hujaman konfrontasi bermetafora interupsi merupakan upaya pembenahan diri bagi kelompoknya sendiri. Sayangnya orang-orang dan peminpin di kelompoknya tak mampu dan tak akan pernah mehami itu. Justru mereka menganggap Rohmad sedang mengkritik an sich, hingga pada akhirnya vonis untuk Rohmad harus segera dibungkam adalah solusi terbaik. Tapi yakinlah Rohmad adalah orang yang pailing peduli, ditengah-tengah orang-orang yang menempatkan raut wajah peduli dan setia. Rohmad adalah mahasiswa yang tau diuntung karena ia memperhatikan hal-hal penting dari fungsi adanya politik mahasiswa yakni upaya pembelajaran politik kampus dan ideologi kebenaran.
Dari sini kita patut bertanya, mengapa kita masih saja geram dan marah oleh keberadaan Rohmad di forum itu atau broadcast message yang ditulisnya dan menyebar luas diberbagai macam kalangan. Sedangkan Soe Hok Gie asaja merupakan tokoh atau sterotipe yang kita idolakan (sebagai mahasiswa kritis, berani dan bertangungjawab atas keadaan sekitar yang gak rasional blas) sejak masih semter satu hingga semester 8. Apakah pernah cara berfkir kita tentang politik mahasiswa begitu kotornya.
Marahlah selagi hakmu untuk itu, belum dibalikkan dengan sebuah kenyataan nyinyir yang kalian tak tau. Kalian yang kita maksud disini adalah mahasiswa yang baru-baru saja terjun dipergulatan politik tingkat universitas dan berlagak sok menghujat si A apatis, si B tak solider, si C angkuh, dan si D penghianat. Atau mahasiswa yang senior (yang mengajak kader-kadernya untuk terjun ke politik), yang otaknya lumpuh, membeku, karena anxietas politik tukang becak di tingkat universitas.
Masihkan kita berhak untuk marah terhadap Rohmad, akibat tulisannya dimedia sosial atau konfrotasinya yang tajam menghunus para presidium sidang. Atau justru daftar marahnya kini makin bertambah. Yakni nama saya sebagai si penulis esai ini, tercatat di nomor 3. Yang pertama Rohmad, kedua Soe Hok Gie, dan ketiga saya. Yakinlah sahabat, itu masih hakmu, maka lakukanlan selagi pantas dan bisa. Karena saya yakin rasa marahmu itu murni akibat ketidaktahuan dirimu sendiri, dan saya pribadi sebagai penulis esai ini mendadak memiliki kewajiban untuk memaklumi hal itu. (Luhur Pambudi)
Saya suka bagian terakhir, paling menggelitik.
“Atau justru daftar marahnya kini makin bertambah. Yakni nama saya sebagai si penulis esai ini, tercatat di nomor 3. Yang pertama Rohmad, kedua Soe Hok Gie, dan ketiga saya.”
Semoga yang lain baca!
Terima kasih Mas Iqbal (Pak PU) atas komentarnya. Bila esai ini bernilai bagus dan positif, bisa bantu menyebarkan! Biar yang lain juga baca.