Kita Bertanya Dengan Bagaimana (Oleh: Luhur Pambudi)
Masalah kesehatan mental di Indonesia kerap kali menyudutkan kita pada kebingungan tentang masalah apa yang menjadi titik fokus untuk kita selesaikan. Karena begitu banyaknya problem sosial dan humaniora yang ada di masyarakat kita, yang mana sungguh beragam penyebabnya. Tapi yang jelas, kita diingatkan oleh Kartini Kartono dalam bukunya Patologi Sosial, entah saya lupa jilid ke berapa, dikatakan oleh pengantarnya tentang masalah sosial masyarakat kita diakibatkan oleh modernisasi pembangunan yang berfokus pada infrastruktur fisik semata. Cukup luas kiranya, bahkan nyaris mencapai batas abstrak, yang ini mengindikasikan bahwa permasalahan sosial diakibatkan oleh perubahan fase masyarakat tradisional ke industri dalam koridor modernitas menjadi masalah serius masyarakat kita.
Sepertinya tak nampak di sekitar kita tentang gejala sakit mental di masyarakat, sekalipun ini sedikit beraroma filosofis, tapi kita tidak memungkiri itu. Yang jelas, ketika kesadaran kita tidak lagi mampu menyadari bahwa masalah sosial ini nyata, sebenarnya kita dalam tanda kutip tengah mengalami gejala atau fase sakit itu. Indikasinya apa? Kita tidak lagi mengetahui, mengerti atau memahami, kalau lingkungan kita dan orang-orang disekitar kita; tetangga, keluarga, keponakan, anak dan cucu mengalami disintegrasi bahkan gangguan sosial. Entah itu secara mental atau bahkan pikiran. Singkat kata, masalah kita yang tak pernah menyadari bahwa lingkungan dan orang-orang di sekitar kita dalam keadaan sakit telah menandakan bahwa diri kita tengah terserang sakit yang jenisnya serupa. Yakni sakit karena kesalahan berfikir, dan ini akan berimplikasi pada kualitas mental dan internal diri, dan outputnya adalah muncul akhlak yang amoral.
Dan, sebenarnya kita telah diingatkan bahwa modernitas bukan menyerang manusia secara fisiologis dalam konteks harfiah, namun rentan menyerang pada konstruk berfikir yang berpengaruh pada produksi akal pikiran yang jernih. Dan ini penyebabnya adalah modernitas.
Masalah Negara atau Masalah Kita Bersama
Kita akan membagi masalah kesehatan secara mental yang terjadi di negara ini, tepatnya di masyarakat kita dengan dua pembagian masalah, yakni masalah di masyarakat tingkat nasional atau masalah sosial sektoral di wilayah regional. Kali ini kita akan membahas tentang problem masyarakat di tingkat sektoral regional Jawa Timur. Kita akan menemui sekelumit cerita pelik dari sebuah harian surat kabat bertanggal 11 Desember 2016. Surat kabar yang pimpinan tingginya, saat ini masih harus menjalani sidang kasus korupsi selama menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negera (BUMN) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu Jawa Pos, tentang aksi pembegalan yang terjadi di Kota Surabaya, pelakunya adalah seorang remaja berusia 16 tahun, inisialnya LP, ia ditangkap Polisi Sektor (Polsek) wilayah Tanjung Perak Surabaya. Kasusnya sederhana untuk membuatnya harus mendekam dibalik jeruji besi beberapa jam setelah penangkapan.
Ia (si LP) melakukan aksi perampasan sepeda motor secara berkomplot dengan modus menuduh si korban dengan tuduhan pelaku kejahatan fiktif, tujuannya adalah agar korban masuk perangkap tuduhan fiktif, yang kemudian para pelaku merampas motor korban, setelah korban menghentikan laju motornya. Tak hanya itu, komplotan si LP juga tak segan melukai dengan senjata tajam, dalam aksi terakhirnya ia telah menusukkan pisau kearah leher bagian belakang saat korban hendak melawan. Peristiwa itu terjadi pada hari kamis, 8 Desember 2016, si LP dan beberapa komplotannya ditangkap di Jalan Ikan Dorang, Tanjung Perak, Surabaya. LP menuturkan jika sebelum beraksi ia dan kawan-kawan komplotannya habis berpesta minuman keras. Dan LP adalah seorang anggota yang paling muda di antara komplotan begal tempat ia bergabung.
Masalah di atas memang sifatnya sektoral, namun bukan berarti ini tidak mampu menjadi akumulasi penyakit sosial di masyarakat. Justru kita hendaknya berfikir sejenak, mengapa problem yang sifatnya sektoral dengan sebuah aksi pembegalan diklaim sebagai akumulasi penyakit masyarakat khususnya di wilayah Kota Surabaya. Adalah pelakunya, merupakan seorang anak di bawah umur yang ini telah mengindikasikan fungsi masyarakat tidak lagi mampu bersifat preventif dalam mengantisipasi kecenderungan perilaku menyimpang pada anak. Kita akan mengulasnya, tentang latar belakang mengapa memilih kasus ini. Dan mengapa, temuan kasus bahwa seorang anak dibawah umur melakukan aksi kejahatan dikatakan sebagai indikasi kronisnya penyakit di masyarakat kita.
Hal Menarik dari Aib (Masyarakat) Kita
Yang menjadi ini menarik adalah aksi pembegalan atau perampasan harta benda oleh pelaku kejahatan dengan berbagai macam modus. Ketika kita hendak melihat dari segi kasus maka aksi begal itu menjadi sorotan utama, artinya aksi kejahatan begal menjadi kejahatan yang intensitasnya tinggi secara kuantitatif atau cenderung berulang di wilayah perkotaan. Dari sini sebenarnya kita mampu menelisik secara rinci hal ikhwal yang melatarbelakangi kejahatan begal yang marak di kota besar seperti di Surabaya. Yang ternyata muncul karena kesenjangan sosial masyarakat akibat dari ketimpangan ekonomi. Isu lama dan yang akan selalu menjadi center point masalah sosiologi ini tetap sama, yakni lapangan pekerjaan dan gaya hidup. Tidak bermaksud memungkiri fakta yang ada tentang problem sosial-humaniora masyarakat kota. Problem lapangan pekerjaan selalu terikat dengan gaya hidup masyarakat, lantaran variabel itu sepertinya bukan pasif menjadi rangkaian sebab dan akibat. Tapi keduanya bisa secara aktif menjadi sebab, bahkan sangat mungkin menjadi akibat.
Kita tau, gaya hidup didalamnya berisikan statistik kebutuhan hidup mendasar manusia, yang dipersingkat dalam model kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Yang pada akhirnya menghilangkan akal sehat kita untuk melihat apa komponen paling fundamental dalam membentuk manusia. Dari sini kita perjelas bahwa bukan lagi masyarakat yang kita tuju, karena itu terlalu multidimensi. Namun, kali ini manusianya yang menjadi titik atau kilah dasar untuk mengejawantah problem serius ini.
Komponen terpenting dan fundamental dari masalah ini pada aspek gaya hidup adalah kebutuhan primer yang berisikan sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan ini mengapa menjadi kebutuhan yang fundamental bahkan urgen jika tidak terpenuhi. Karena esensi dasar dari manusia hanya bisa didukung oleh itu secara fisiologis, bukan tanpa alasan pula dikatakan sebagai kebutuhan mendasar, karena manusia akan menjadi beradab ketika kebutuhan dasar tersebut tidak mengalami hambatan dalam pemenuhannya. Beradab yang dimaksud disini adalah fungsi dalam diri manusia (yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya) menjadi fungsi adaptif untuk dapat mencapai hidup yang baik bagi dirinya. Secara sosiologis ketika kebutuhan ini terpenuhi, manusia akan mampu menjadi adaptif dengan lingkungan untuk menjalin hubungan atau relationship dengan orang lain bahkan secara spiritual ketika kebutuhan ini terpenuhi, manusia akan mampu untuk adaptif dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah sebagaimana konsepsi Al-Quran.
Meskipun beberapa paradigma masih mempertentangkan, tidak adanya keterkaitan antara spiritual seseorang dengan terpenuhinya kebutuhan mendasar dirinya. Kendati demikian, saya juga tidak sepakat dengan hirarki kebutuhan dasar yang dimetafisikakan oleh Abraham Maslow bahwa spiritualitas akan tiba pada puncaknya setelah kebutuhan mendasar manusia terpenuhi. Argumen dari kritik saya terhadap Abraham Maslow dalam metafisiknya; Hirarki Kebutuhan. Adalah rasa keraguan saya atas epistemologi yang digunakan Abraham Maslow hingga sampai pada munculnya tesa pemikiran; Hirarki Kebutuhan. Yang ketika itu dikungkung oleh suasana peradaban nihilis, dan sindrom traumatik paska abad pertengahan. Dan juga, bahwa spiritualitas tidak mungkin berkelindan dengan aspek hewaniah atau nafsu Id, jika pakai idiomnya Freud, yang mengakibatkan harus terpenuhinya dulu kebutuhan dasar sebelum mencapai hakikat dengan Tuhan, ini sungguh mustahil dan cacat akan metodologi. Karena sampainya manusia dalam upayanya untuk mendekat kepada Tuhan, dalam argumen transendental, tidak berkaitan sama sekali dengan, “apakah perutmu lapar atau tidak? Kaya atau miskin?” Tidak. Karena hakikat berketuhanan lepas dari prasyarat yang sifatnya empiristik.
Namun, dalam pembahasan kali ini, saya tidak akan mecampuradukkan keruwetan berfikir dari Maslow atau bahkan kecacatan metodologi dari Freud sekalipun untuk melihat realitas yang sedang kita perbincangkan. Maksud dari kebutuhan mendasar dalam diri manusia yang harus terpenuhi, adalah dalam rangka kemampuan manusia menggunakan akal dalam dirinya untuk menjadi entitas murni yang mampu menciptakan keseimbangan dalam prototipe perilaku akhlakul karimah.
Namun aspek gaya hidup ini, tepatnya pada aspek pemenuhan dasar kebutuhan primer, ketika kebutuhan ini sudah dipenuhi secara baik dan layak, sebenarnya bentuk-bentuk kebutuhan lainnya seperti sekunder dan tersier tidak lagi penting bagi manusia. Karena kebutuhan sekunder dan tersier adalah kebutuhan yang sekalipun tidak dipenuhi manusia tidak akan bermasalah secara fisiologis. Namun anehnya semacam ada konstruk berfikir lain yang, entah sengaja atau bahkan telah tersistem dengan baik bahwa ide tentang kebutuhan sekunder dan primer harus menjadi kebutuhan yang penting untuk dipenuhi, selain kebutuhan primer. Hal ini berhubungan, bahkan sangat mungkin menjelaskan latar belakang mengapa gaya hidup manusia di fase ini, harus menjadikan manusia itu sakit. Muncul sebuah praduga bahwa adanya konstruk berfikir lain yang sengaja ditanamkan oleh entitas budaya dari kelompok peradaban tertentu.
Budaya yang dimaksudkan disini bisa berupa cara hidup masyarakat pada umumnya, yang konteksnya adalah masyarakat di era modern, yang memiliki cara hidup masyarakat khas bercorak hedonis dan pragmatis. Segalanya menuntut pemenuhan rasa senang dan segalanya harus memperoleh laba atau keuntungan materil sebanyak-banyaknya. Corak manusia hedonis dan pragmatis semacam ini akhirnya membentuk manusia yang memiliki karakteristik dalam aktivitas hidupnya, serba cepat dan instan. Hal ini bukan tanpa alasan, karena modernitas juga mendasari adanya penciptaan sebuah zaman dimana segalanya serba mesin, dan mesin itu sifatnya teknis dan cepat. Maka manusia menjadi hedon dan pragmaits, karena mereka hidup memanfaatkan, atau bahkan cenderung, menggantungkan dengan mesin, yang kini kita sebut sebagai teknologi.
Corak manusia yang memiliki kecenderungan hidup semacam ini identik oleh kaum kelas atas atau masyarakat perkotaan. Setelah mereka memiliki karakteristik sebagai manusia yang demikian kronis sakitnya; hedon dan pragmatis, diperparah dengan gerak mobilisasi mereka hanya terkooptasi dengan konstruk kapitalistik yang semuanya cenderung di-uang-kan. Inilah yang dimaksud dengan gejala sakit secara sosial. Kini manusia tidak hanya puas memenuhi kebutuhan primer belaka, hingga muncul anggapan bahwa kebutuhan sekunder dan tersier menjadi sama pentingnya. Diakibatkan karena konstruk sosial masyarakat yang diedarkan oleh media melalui iklan-iklan di baliho, videotron, televisi, internet, sosial media dan lain sebagainya. Bahwa hidup layak itu konsep idealnya memiliki gadget, teknologi, alat transportasi seperti mobil atau sepeda motor. Tidak lagi sebatas, pemenuhan kebutuhan primer belaka.
Dari sini kita akan tahu dimana poros kehidupan masyarakat kita, jelas bukan? Uang dan gaya hidup perlente dengan renda-renda perhiasan, gadget canggih, kendaraan mewah, telah menjelma sebagai corak prestise yang dibangun agar bisa dikatakan layak hidup. Masyarakat bertumpu pada cara berfikir hanya uang yang dapat menyelamatkan hidup mereka hari ini, esok hari, hingga pada suatu hari nanti. Tak ayal jika hari ini manusia akhirnya berfikir untuk bagaimana caranya mencari uang; entah dengan mencari pekerjaan atau dengan alternatif cara lainnya. Namun kesemuanya sama, yakni mencapai mitos taraf kebahagian hidup ideal, yang mereka sendiri tidak tau apa itu artinya.
Sebenarnya, ketika kita berupaya mencari-cari apa bentuk gejala masyarakat yang sakit itu? Dari kenyataan poros itulah, kita tidak lagi bingung karena, hampir setiap saat masyarakat kita mengalami rasa sakit yang diderap akibar kekeliruan berfikir yang akan berimplikasi pada gangguan psikologis akibat modernitas.
Gaya Hidup Pragmatis Menjadikan Uang Adalah Tujuan
Setelah isi kepala kita terprogrm mindset bahwa uang menjadi alat tukar kebahagian, agar, “saya dapat hidup layak (senang, mewah, kaya dan berpunya)!” Manusia akhirnya berfikir untuk bagaimana mendapatkan uang secara cepat, karena kecenderungan untuk thanatos manusia akan lebih menjadi-jadi, ketika kenyataan tentang hakikat eros tidak dapat dipisahkan dari realitas hidup mereka. Dengan bekerja, manusia dapat memenuhi kebutuhannya, karena ia akan diupah sesuai dengan bentuk pekerjaan atau profesinya, dan uang hasil upah itu akan difungsikannya untuk membeli segala sesuatu yang menunjang hidupnya. Problem sosial dalam kasuistik yang kita percakapkan, pun ditimbulkan dari aspek ketersediaan lapangan kerja. Kita akan runtun untuk melihat aspek ini.
Ketersediaan lapangan kerja sebenarnya berimplikasi pula pada tuntutan apakah seseorang itu memiliki skill. Dari sini faktor pendidikan turut mempengaruhi, apakah seseorang itu memiliki kecakapan secara softskill atau hardskill dalam hal keterampilan. Dan faktor pendidikan, kita menilai masih terkungkung dengan prinsip lama, bahwa indikator manusia itu dikatakan telah mendapatkan pendidikan layak adalah dari status hukum yang dikeluarkan oleh lembaga negara; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terbuat dari kertas buffalo, berukuran kuarto yang bernama ijasah. Dengan alasan klasik pula, ijasah itu masih diklaim sebagai indikator paling objektif mengukur tingkat pendidikan warga negaranya. Ijasah, disadari atau tidak hanya berisikan statistik angka penilaian, yang sarat akan manipulasi dan penyelewengan.
Itu dapat kita saksikan bersama ketika momen-momen ujian nasional atau momen ketika penerimaan siswa baru, dan sosialisasi buku-buku paket kepada peserta didik (disetiap) tahunnya. Lantas apa dimensi filosofisnya? Bahwa pendidikan (jika masih seperti ini adanya) tetap tidak mampu menggugah kesadaran seorang manusia atau warga negara, tentang arti ia hidup secara baik dan benar, jika masih mengandalkan prinsip lama. Bahwa siswa dikatakan lulus ketika menerima kertas ijasah, bukannya lulus dengan kesadaran baru yang menggugah (dengan akal sehat; bahwa hidup tidak boleh begini, seyogyanya begini, atau mungkin baiknya begini). Justru pendidikan hari ini menenggelamkan kita. Belum lagi kita mendiskusikan tentang kapitalis pendidikan, yang membuat kita akan rindu dengan perpektif primitif Adam Smith tentang moralitas pendidikan.
Dan betapapun itu, faktor pendidikan kerap kali menemui jalan buntu ketika masalah klasik tentang ketersediaan lapangan pekerjaan tidak lagi dapat integral dengan jumlah lulusan sekolah sederajat yang berusia produktif. Disini elemen pemerintah negara harus diadili dimeja perbincangan kita, bahwa ketersediaan lapangan kerja untuk memfasilitasi hidup warga negara menjadi aspek paling fundamental disamping pemerataan atau pengembangan pendidikan. Bawah negara masih belum mampu memfasilitasi warga negara dalam penyediaan lapangan pekerjaan yang terintegrasi dengan tingkat atau kecapakan ahlinya. Contoh konkretnya; ketika lulusan sekolah teknik hendak bekerja, maka fasilitas perusahaan untuk tempat ia bekerja harus menempatkan ia pada keahliannya yang didapat sewaktu pendidikan. Namun, ternyata ketimpangan dan disintegrasi justru terjadi, lulusan sekolah sederajat atau bahkan lulusan sarjana perguruan tinggi masih ada yang harus menganggur untuk mendapatkan pekerjaan paska gelar sarjananya.
Setelah itu tahu, pendidikan tidak lagi dapat menanamkan kesadaran kritis tentang apa baiknya kehidupan, diperparah dengan ketersediaan infrastruktur negara dalam hal lapangan pekerjaan menjadikan masyarakat akan berfikir kearah reaksioner untuk mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan tak jarang karena tuntutan hidup yang semakin menyudutkan diperkeruh konstruk berfikir yang meletakkan uang sebagai ukuran kelayakan hidup. Memilih cara-cara instan atau bahkan cenderung negatif kerap dianggap sebagai solusi paling konkret oleh mereka. Kasus pembegalan yang kita percakapkan, adalah jenis lain dari yang kita sebut “cara lain” yang diistilahkan dalam pengertian kriminalitas. Dan inilah sedimentasi dari kerumitan-kerumitan sosiologis yang dialamai oleh masyarakat dan warga Negara Indonesia yag berhadapan dengan fase zaman.
Pelaku Kejahatan Masih Dibawah Umur
Kasus pembegalan di wilayah Tanjung Perak Surabaya, ternyata ada seorang anak dibawah umur yang turut menjadi pelaku. Identifikasi si anak, berinisial LP, usianya baru 16 tahun. Dilihat dari usia perkembangan LP yan menginjak angka 16 tahun ia sebenarnya masih dalam masa perkembangan remaja paska pubertas, atau yang lazim kita sebut puber, dari rentang usia untuk laki-laki 12 – 16 tahun. Pubertas itu merupakan peralihan masa anak-anak ke masa remaja hingga ke dewasa yang ditandai perubahan secara fisik dan psikis dalam diri anak. Tapi fase pubertas itu telah berangsur mereda gejolak perubahannya ketika beralih menginjak usia remaja dengan rentang usia 15 – 18/20/25 tahun, dan saat ini ia menginjak masa remaja tingkat awal. Namun dapat kita sebut ia tergolong remaja puber. Aksi kejahatan yang ia lakukan bersama komplotannya terbilang sadis, ia tak segan melukai korban yang melawan, dengan cara menusuk menggunakan senjata tajam. Dalam aksinya selalu bergerombol, bahkan aksi yang terakhir ia dan komplotannya lakukan dalam keadaan mabuk.
Telaah teoritis dari temuan kasus pembegalan yang dilakukan anak usia dibawah umur, mendapati semacam argumen penjelas bahwa terdapat cara berfkir yang belum sepenuhnya matang mempengaruhi regulasi diri pelaku kejahatan di bawah umur, dalam melakukan perbuatan yang sifatnya melukai atau merugikan orang lain (si korban). Ia (pelaku) hanya dapat melihat satu sisi kenyataan yang berkaitan dengan dirinya bahwa hanya dengan melukai korbannya, ia akan berhasil dan tidak merasa terancam dalam melakukan aksinya. Cara berfikir demikian, sebenarnya khas menjadi cara berfikir remaja puber, yang karakter berfikirnya kausalitas. Hanya melihat sebab dan akibat. “sebab” yang dimaksud disini adalah dia (pelaku) ingin aman melakukan aksinya, “akibatnya” memilih menggunakan cara melukai korban sebagai alternatif cara mengamankan dirinya. Namun cara berfikir demikian masih belum mampu membawa pelaku, pada kemungkinan-kemungkinan prediktif, jika cara berfikir kausalitasnya (melukai korban yang melawan) tidak berhasil dilakukannya. Diusianya yang masih begitu belia, ketika komplotannya mulai melakukan aksinya secara bergerombol, cara berfikir yang demikian, belum sampai pada cara berfikir yang sifatnya panjang tentang perbuatan yang ia lakukan; apakah yang ia lakukan ini salah dan bagaimana jika ia (pelaku) menempatkan dirinya sebagai si (korban).
Kemudian, hal yang menarik dari kasus ini, perilaku melukai korban dengan cara menusuk menggunakan senjata tajam oleh si pelaku dibawah umur menjadi sorotan serius. Bahwa kecenderungan sadistik, sangat mungkin muncul pada remaja puber. Dan ini memiliki landasan secara empiris, bahwa di usia remaja puber karakteristik emosi yang meledak-ledak kerap kali muncul. Fungsi hormonal dalam dirinya pada situasi ia melakukan aksi pembegalan, membuat dirinya tidak lagi berkutik dengan dorongan yang muncul di dalam dirinya karena produksi hormon adrenal meningkat. Peningkatan fungsi hormon ini mempengaruhi pula pada upayanya berfikir rasional atau realistis, untuk menimbang apakah yang ia lakukan (melukai korban dengan cara menusuk) sudah benar atau salah. Atau bahkan berfikir secara jernih untuk menarik diri dari aksi kriminal tersebut.
Dan kesemuanya ini menjadi muara di dalam sebuah aspek latar belakang yakni bahwa pelaku remaja puber itu, dapat berperilaku demikian lantaran kecenderungan karakter untuk berkelompok, yang sayangnya ia memilih atau mungkin, tidak tahu kalau kelompoknya itu adalah kelompok yang tidak baik secara moral.
Dalam segi perilaku, kasus ini cukup menarik kita jadikan objek perbincangan, karena anak remaja dalam karakteristik puber, sebenarnya masih atau bahkan harus mendapat situasi yang mendidik dari lingkungan. Entah itu lingkungan keluarga, institusi pendidikan atau masyarakat. Namun nyatanya demikian, telah memperjelas bahwa si pelaku menjadi berperilaku menyimpang dan sadistik karena tidak selesainya problem pendidikan masyarakat, yang mungkin kita namai sebagai pendidikan multidimensional.
Kelompok Memperparah Kondisi Kognisi dan Afeksi Labil Si Pelaku
Melihat secara seksama karakteristik perkembangan pelaku begal yang masih berusia dibawah umur, 16 tahun. Karakteristik kognisi dan afeksi turut mempengaruhi perilakunya di dalam kelompok. Karateristik masa perkembangan remaja puber secara psikis, meliputi; 1) Cara berfikir kausalitas. 2) Emosi yang meluap-luap. 3) Mulai tertarik dengan lawan jenis. 4) Menarik perhatian lingkungan. 5) Terikat dengan kelompok.
Kondisi kognisi demikian, yang oleh karenanya melatarbelakangi si pelaku untuk melakukan aksi kejahatan begal sadis yang terorganisir. Kita akan merunut dari awal, ketika ia mulai bergabung dengan kelompok begal ini. Apa yang membuatnya memutuskan bergabung? Yang Jelas, masa perkembangannya mengindikasikan dirinya untuk terikat dalam sebuah kelompok sebagai sarana mencari sosok, orang atau lingkungan yang memberi tempat pada dirinya. Di lain sisi sebagai upaya menunjukkan eksistensi pada lingkungan ia berada. Ternyata, ia merasa nyaman dengan kelompok yang menyajikan lingkungan dan cara bergaul atau adaptasi yang baru. Ia akhirnya memutuskan untuk konformis dalam perilaku kelompok yang kebetulan kelompok itu adalah kelompok kriminal spesialis kejahatan begal, maka bentuk konfomitas dirinya pada kelompok tersebut yaitu mengikuti aktivitas merampok dan membegal.
Mengapa ia memilih bergabung pada kelompok tersebut? Menjadi pertanyaan utama kita. Atas dasar cara berfikir yang baru pula; karena fase puber yang mengakibatkan si pelaku memiliki cara berfikir kritis terhadap situasi menekan dan idealitas baru. Ia akhirnya merasakan dirinya yang memiliki keinginan atau kecenderungan internal pribadi yang hanya bisa terpuaskan atau terpenuhi dengan ikut kelompok-kelompok di tataran masyarakat. Dengan cara berfikir yang demikian, membuatnya tak mampu secara logis menimbang dan memilih kelompok mana yang dapat secara positif membangun dirinya menjadi lebih baik. Parahnya lagi, ia kemudian digelapkan matanya dengan menganggap hanya ada satu kelompok yang baginya sangat logis dan nyaman, untuk memfasilitasi dirinya dalam setiap harinya. Dari sini kita dapat memahami secara rinci dari mana ia mulai menemukan tempat baru sehingga membuatnya memiliki sikap dan perilaku demikian.
Adapun telaah lain yang mungkin bersifat herediter untuk menjawab tanda tanya tentang apa yang membuatnya berkeinginan tergabung atau masuk dalam sebuah kelompok, yang artinya pertanyaan ini ingin mencari kejelasan, tentang dirinya sebelum masuk pada kelompok. Kemungkinan paling logis adalah tidak terpenuhinya kebutuhan akan dirinya di dalam kelompok awal yang harusnya memfasilitasi ia dalam belajar untuk pertama kalinya, yakni keluarga. Temuan yang kerap kali melegitimasi kita untuk melihat kecenderungan penyebab seorang anak memutuskan keluar dari keluarganya atau menjauh dari tempat belajarnya yang utama. Dapat disebabkan karena tidak fungsionalnya keluarga tempat ia, si anak (pelaku) dibesarkan. Bentuk ketidakfungsian dari keluarga si anak bisa saja disebabkan oleh beberapa contoh kasus diantaranya; hubungan awal pernikahan yang tidak diinginkan (hubungan gelap) hingga pada akhirnya terjadi perceraian, kegagalan orang tua menjalin komunikasi, atau ketimpangan fungsi si ayah dan si ibu dalam sistem keluarga yang dibangunnya.
Menjadikan itu semua sebagai kasus yang melatarbelakangi mengapa akhirnya si anak mengalami ketidakjelasan status dirinya dalam keluarga, hingga sampai pada kondisi tidak terpenuhinya aspek pendidikan di dalam keluarga. Tidak hanya itu, bahkan perilaku kasar seperti memukul, membentak, atau berteriak di dalam lingkungan keluarga yang dicontohkan oleh ayah dan ibu ketika berada dalam situasi cek-cok atau permasalahan keluarga, dapat ditiru sebagai salah satu bentuk internalisasi lingkungan yang tidak sengaja di pelajari oleh anak. Mengakibatkan, anak berperilaku keras, kasar, arogan, bahkan sadis, layaknya orang dewasa atau orang tua yang ia pernah lihat dan tiru. Konstruk teoritis dalam melihat realitas itu didasari oleh teori distrosi kognitif Beck (1967) bahwa cara pandang negatif seseorang yang didapatnya dari hasil belajar atau mencontoh lingkungan yang negatif, akan membuatnya memiliki paradigma melihat realitas yang sama sekali negatif. Konstruk ini turut memperkuat, ketika si anak di dalam keluarganya dipaparkan perilaku negatif seperti memukul, membentak, mengumpat, yang dicontohkan oleh orang tua, si anak akan meniru perilaku yang serupa, bahkan tidak hanya meniru perilakunya saja, tapi cara pandang secara kognisi di dalam otaknya juga terbentuk bangunan hipotesis bahwa anggapannya yang negatif membantunya memahami realitas secara negatif pula.
Konsepsi ini akhirnya memperjelas kasus si anak di bawah umur pelaku begal yang kita sedang percakapkan. Bahwa asumsinya ia sangat mungkin berasal dari keularga yang tidak fungsional, dan hidup dalam lingkungan yang mengalami disintegrasi sosial.
Solusi Tergantung Kita, Bukan Di Rumah Ia Dilahirkan
Dan saya katakan demikian, memang benar adanya, terserah kita mau membuka mata untuk menemukan kebaikan atau bahkan kebenaran dibalik itu, yang jelas perkara kita begitu pelik jika solusi itu hanya sekedar kalimat-kalimat ideal yang terkesan menuduh siapa yang salah. Kasus yang tengah kita perbincangkan dalam kenyataannya menjadi problematika sosial yang bukan saja elemen terdekat, dari keluarga si pelaku saja yang bertanggung jawab melainkan semua elemen kemasyarakatan, mencakup pemerintah, aparat penegak hukum, elemen pendidikan, bahkan lembaga sosial swadaya masyarakat non-profit juga turut bertanggungjawab. Bertanggung jawab atas sembuhnya pelaku dari situasi sosial yang tak mendidik, tak terkecuali sembuhnya gejala sakit sosial yang terjadi di masyarakat.
Kita dapat mulai dari pembagian cara penanganan kasus ini dengan dua metode; kuratif dan preventif. Dua metode itu bukan dipilih melainkan, saling melengkapi, bahkan saling menjembatani. Melalui metode preventif, berdasarkan melihat dan membaca kasus tersebut secara objektif, analisis keterlibatan peran orang tua memang mutlak perlu. Dalam arti, peran keluarga disini memiliki andil penting dalam pembentukkan awal kognisi, afeksi, sikap lantas perilaku si anak sebelum masuk ke dalam lingkungan yang sarat akan dinamika dan kompleksitas, yakni lingkungan sosial masyarakat. Keluarga dalam status ontologinya, merupakan tempat dimana trial and eror proses belajar anak melihat realitas kehidupan yang terjadi. Karena orang tua sebagai komponen terpenting keluarga, menjadi sumber utama produksi ilmu pengetahuan yang harus dienyam pertama kali oleh si anak. Tentang moralitas, spiritualisme, etika, humanisme, bahkan estetika. Dalam istilah lain, merupakan lembaga pendidikan non-formal serba bisa yang memfasilitasi si anak untuk memaknai kehidupan nyata yang ia akan jalani kelak.
Melihat konteks masalah yang terjadi pada anak remaja berinisial LP, usia 16 tahun. Kita dapat melihat untuk menyelesaikan problem si anak yang berusia belia, peran orang tua dianggap penting. Pada kasus begal yang dilakukan si anak, dapat dipastikan peran orang tua tidak fungsional sebagaimana konsep yang kita rumuskan diawal. Entah, kedua orang tuanya bercerai, cek-cok, tidak harmonis, sudah meninggal, atau diasuh oleh orang lain bukan sanak family, mengakibatkan penanaman kesadaran moralitas pada si anak tidak maksimal. Anak tetap saja tidak memahami bahwa perilaku yang ia lakukan berdampak buruk baginya dan orang lain. Melalui kasus ini kita telah memahami bahwa orang tua di dalam keluarga sunggguh berperan secara signifikan terhadap tumbuh kembang moralitas si anak. Namun, kita sepertinya tidak pantas berhenti hanya pada konsepsi ideal tentang keluarga sebagai komponen yang bertanggung jawab penuh atas si anak dan mempertanyakan mengapa orang tua begitu lalai dalam pendidikannya, mengakibatkan si anak (inisial LP, 16 tahun, pelaku begal dengan cara sadis) tumbuh menjaid pribadi yang amoral.
Tapi disini peran pranata dan struktur lingkungan masyarakat tempat si anak hidup patut dipertanyakan pula dengan pertanyaan serupa, bagaimana mungkin pranata dan struktur masyarakat seperti sekolah si anak, pemerintah pemukiman setempat, atau lembaga swadaya masyarakat tidak mampu mengantisipasi kemungkinan terburuk ini. Atau dengan terminologi lain, kecolongan dengan bukti munculnya kasus begal yang dilakukan si anak? Peran pranata dan struktur dianggap sebagai yang paling fundamental setelah kita tahu peran lingkungan keluarga tidak lagi fungsional. Seperti misalnya peran, elemen pendidikan, sekolah si anak. Jika kita tahu bahwa peran orang tua dalam keluarga memiliki kelemahan dalam penerapannya, ini yang menjadi dasar mengapa para orang tua menitipkan anak-anaknya ke institusi pendidikan yang difasilitasi negara, bernama sekolah. Asumsi dasar ini, menghantarkan kita bahwa peran sekolah disamping, peran keluarga menjadi alternatif lain dalam memfasilitasi tumbuh kembang si anak dalam pengayaan moralitas, spiritualitas, humanisme, etika bahkan estetika.
Atas dasar asumsi itu, nampak jelas bahwa sekolah menjadi alternatif terakhir pembentukkan sikap, perilaku dan ketergugahan kesadaran si anak ketika dalam kasus ini si anak (LP, 16 tahun) mengalami disfungsi di dalam keluarga. Namun kenyataannya, si anak tetap melakukan aksi kriminalistas hingga ia dipenjara, membuktikan secara gamblang di hadapan kita, problem institusi pendidikan dalam upaya mencerdaskan dan menyadarkan moralitas si anak dianggap gagal. Apakah perlu kita mencari tahu dimana si anak (LP, 16 tahun) bersekolah? Agar kita tahu, atau mungkin sedikit mencari klarifikasi tentang institusi pendidikan yang ia (kepala sekolah tempa LP bersekolah) canangkan. Mungkin cara ini sedikit beradab, ketimbang menuduh secara harfiah bahwa institusi beserta komponen pendidikan didalamnya telah lalai dan acuh tentang perilaku anak didik mereka yakni si nak (LP, 16 tahun).
Setelah peran institusi pendidikan, kini peran pemerintah sebagai struktur pemerintahan yang menjalankan pranata, sekaligus membawahi langsung kelangsungan hidup warga negaranya. Kasus si LP (16 tahun), peran pemerintah dalam melihat secara komprehensif tentang kondisi sosiologi bahkan psikologi masyarakat yang dipimpinnya dianggap mendesak. Setelah peran keluarga tidak mampu menjadi tumpuan bagi kelangsungan tumbuh kembang si anak, peran pemerintah daerah yang tersistemik melalui struktur dibawahnya; Kecamatan, kelurahan, RW, dan RT, menjadi alternatif yang solutif untuk memantau secara faktual dan aktual kondisi sosiologi dan psikologis warganya. Dalam kasus si LP (16 tahun) peran pemerintah dan subordinat struktur dibawahnya hendaknya mampu memantau atau melihat kecenderungan warga yang dipimpinnya apakah ada potensi penyimpangan secara sosial atau tidak. Sekalipun pemerintah dapat mengandalkan konstruk naluriah masyarakat menciptakan produk hukumnya bernama sanksi sosial, sebagai reinforcement perilaku masyarakat yang menyimpang, namun sanksi sosial tersebut dalam ranah pencegahan dianggap terlalu primitif, dan hanya dikatakan efektif memberikan punishment atau efek jera dalam proses kuratif. Meski masih terdapat kelemahan sekalipun secara kolot cara itu digunakan.
Peran institusi pendidikan yang masih lemah pada beberapa sektor dalam upayanya menggugah kesadaran warga negara melalui pendidikan formal sekolah, diperkuat dengan progresifitas pemerintah pusat hingga daerah dalam mensiasati penyimpangan sosial yang menggejala di masyarakat, akan menjadi terbantu dengan kehadiran elemen non-formal yang bergerak secara swadaya di dalam masyarakat. Elemen tersebut turut pula dalam mengawasi penyimpangan sosial yang konteks kasus yang kita hadapi adalah pelaku kejahatan di bawah umur. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sepertinya memiliki andil cukup besar dalam upayanya menangani anak yang bermasalah dengan hukum atau lazimnya disebut ABH. LSM dapat menjadi wakil atau kaki tangan pemerintah dalam mengadvokasi masalah anak ABH secara kuratif atau dalam upaya pendampingan anak yang putus sekolah secara preventif. LSM memiliki peluang yang besar untuk melegkapi kelemahan dibalik pranata dan struktur pemerintah dalam menangai penyimpangan sosial ada anak khususnya. Namun, lembaga non-profit ini hendaknya melihat kasus yang terjadi, entah dalam momentum kapan, bukan sebatas melihat hanya saat momentum fase genting.
Fase genting yang dimaksud ketika kasus itu telah menyeruak ke masyarakat dan telah terpublikasi melalui media. Sekalipun peran media, memang tidak dapat dipungkiri sebagai sarana untuk publikasi dan penyebarluasan informasi, namun media sebenarnya berpotensi memiliki pretensi lain, entah pemberitaan itu ter-blow up ke permukaan atas dasar moralitas atau hak informasi, namun yang jelas ada semacam ketakutan bahwa media juga rentan akan permainan isu. Dan ketika memang permainan isu ini benar adanya, dan secara nyata terjadi. Sungguh miris jika kita melihat si anak yang memiliki aib di masyarakat harus terekspose jatidiri dan identitas diri keluarganya. Maka disini peran LSM, saya terangkan secara tegas jika hanya bergerak setelah kasus mencuat di media, sebenarnya LSM itu telah gagal dalam upaya mendampingi masyarakat. LSM hendaknya menjadi alternatif pemecahan lain bagi masyarakat yang membutuhkan disamping ketidakmampuan institusi negara untuk menyelesaikan.
Pandangan Teoritis Memahami Kasus Si Anak
Secara kuratif kita akan sampaikan jika, alternatif penyembuhan si anak sekalipun ia adalah pelaku kejahatan di mata hukum, bagi para pekerja sosial yang bergerak di bidang pemulihan mental masyarakat, anak tetaplah korban. Korban dari keadaan yang mana ia tidak dapat memilih untuk menjalaninya, tapi ia memang hidup dengan takdir atau garis kehidupan yang demikian adanya. Kasus Si LP (16 tahun) yang saat ini telah menjalani proses hukuman, dalam sisi psikis ia nampak sangat perlu bantuan penanganan dari orang-orang disekitar. Mengapa kita menyebut “orang-orang sekitar” bukan “para ahli terapis atau doktor sekalipun”, karena ia bukan berperilaku demikian atas dasar kesadaran diri yang terbentuk secara mandiri dari pikirannya. Hanya saja ia benar-benar tidak tahu kalau apa yang ia lakukan sebenarnya tidaklah baik dari apa yang terjadi saat ini, dan menjadi akibat dari perbuatannya. Ia (si LP) tetap menjadi korban yang perlu dampingan orang-orang sekitar, untuk mengisi ceruk kekosongan yang ia rasakan hingga akhirnya ia berakhir di sebuah tahanan.
Upaya secara kuratif, mengingat ia masih dibawah umur, dan memiliki prospek panjang untuk menata kembali hidupnya. Namun sebelumnya ia harus dipulihkan dari trauma yang ia alami selama penangkapan dan upaya proses hukum yang masih ia jalani. Dengan cara melakukan konseling psikososial dengan cara terapi interpersonal. Cara ini diklaim sebagai cara paling efektif untuk mencari tau apa sebenarnya kerumitan yang terjadi pada dirinya dan melalui itu upaya penyembuhan diharapkan dapat mengobati dirinya dari rasa trauma dan rasa sakit mental akibat lingkungan selama ini ia berada.
Dapat pula dilakukan dengan konseling menggunakan terapi kognitif behavioral terapi, yang ini sebenarnya dapat dilakukan bukan hanya ketika nanti paska menjalani hukuman, karena si anak yang dibawah umur kecil kemungkinan akan dipenjara di lembaga pemasyarakat sebagaimana mirip pelaku kejahatan dewasa pada umumnya. Karena hal itu, didasari oleh usianya yang harus atau bahkan mewajibkan si anak untuk tetap mengenyam pendidikan. Artinya sia anak akan menjadi tahanan rumah di sebuah lembaga milik pemerintah yang bekerja sama dengan pihak aparat kepolisian untuk menampung si anak selama proses pengadilan dan proses hukumnya selesai. Dan terapi kognitif behavioral terapi dapat dilakukan selama anak berada di sekolah atau di tempat singgah sementara menjalani proses hukuman. Aspek penting yang hendak menjadi titik tekan dari terapi ini adalah pada perubahan anggapan negatif yang dominan pada si anak yang mengalamai permasalahan penyimpangan sosial.
Dari sini kita dapat ketahui bahwa, kita tidak pernah memilih untuk dilahirkan menjadi ini atau menjadi itu. Karena, jikalau memang hidup kita dibangun dengan dasar hipotesis siapa saya dan darimana saya hidup. Kita hanya akan menghujat keadaan dengan kalimat tanya yang diawali dengan kata tanya “apa?”. Hidup akan selalu memaksa kita untuk berdecak, karena realitas akan selalu berbanding terbalik, bukan lurus, dengan apa yang kita pikirkan di kepala. Dari sini akan sangat lancang jika kita tetap bertanya dengan kata tanya “apa?”. Ada yang lebih baik sekalipun ini bukan yang terbaik, kita dapat memulai hidup dengan bertanya, “bagaimana?”. (Luhur Pambudi)