Superioritas Sosok Gie, Inspirasi Berjuta Pemuda Pertiwi

Bagikan

Judul Film: Gie;

Peresensi: Deasy Meirendah Chikita;

Genre: Drama, Biografi, Sejarah;

Durasi: 147 menit;

Produser: Mira Lesmana;

Penulis Naskah: Riri Riza;

Negara: Indonesia;

Bahasa: Indonesia;

Sebuah film mahakarya tahun 2005 yang sutradarai dan ditulis naskahnya langsung oleh Riri Riza ini, mampu menyihir seluruh mata yang menyaksikannya. Pun didukung dengan dibintangi oleh Nicholas Saputra selaku pemeran utama, Gie. Film ini diangkat dari kisah nyata seorang pemuda keturunan cina yang bertempat tinggal di Kebon Jeruk Jakarta. Lahir dari keluarga yang biasa-biasa, dengan seorang ayah penulis. Mungkin ini menjadi salah satu alasan yang membuatnya mencintai dunia literasi.

Dengan scene awal bersetting tahun 1956. Gie -begitu sapaan akrab teman-temannya- masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas dua. Sejak muda, Gie sudah suka pada buku-buku karya kaum intelek dunia mengenai idealisme. Gie akhirnya mendambakan Indonesia seperti apa-apa yang ada dalam buku kesukaannya. Ia juga terkenal suka memberontak sejak muda, bahkan prinsip hidupnya yang masih sering dikenang banyak orang juga, ialah “lebih baik diasingkan, daripada menyerah dalam kemunafikan”.

Pemikiran Gie yang memang sudah lebih kompleks dan modern, ia merasa di Indoensia ini belum ada kemerdekaan. Tipe kepemimpinan Soekarno yang ketika menggunakan ‘Demokrasi Terpimpin’ membuat ia merasa tak ada gunanya merdeka, dapat menyampaikan pendapat secara bebas, tapi ketika rakyat berpendapat yang tidak sesuai dengan apa kata atasan, akan ditahan dan kemungkinan juga bisa dipenggal habis.

Setelah lulus SMA, Gie melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia jurusan Sastra. Karena sejak awal sudah mencintai dunia literasi, ketika berkuliah pun, Gie semakin kuat niatnya dalam memberantas ketidakadilan dibawah kepemimpinan Soekarno. Yang juga saat itu ditandai dengan konflik antara pihak dari Militer dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia sering menjadi pembicara-pembicara dalam forum di kampusnya. Yang membuat ia memiliki banyak relasi. Tak sedikit juga yang ingin melobby Gie, agar mau mendukung kampanye organisasi mereka. Namun Gie tetap pada pendiriannya, ia tak mau dijadikan alat.

Akhirnya dalam senat di Fakultas Sastra Universitas Indonesia –tempat ia belajar-  mulai tercium ‘aroma’ para calon ketua Senat Mahasiswa yang maju dengan kepentingan-kepentingan organisasi masa mereka masing-masing. Tak ingin semua menjadi semakin chaos, ia memutuskan mengajak, Herman, kawan seperjuangnya untuk maju mencalonkan diri sebagai ketua. Agar Senat Mahasiswa ini tidak dikotori mereka-mereka yang peduli diri sendiri.

Salah satu puisi miliknya berbunyi, seperti ini:

 “Bagiku politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor, tapi suatu saat dimana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah”

Semenjak harga barang dinaikkan, pemerintah membuat rakyat tak lagi mengkhawatirkan masalah partai komunis namun mengkhawatirkan perut masing-masing. Sengaja dibuat chaos oleh presiden kala itu, memang.

Gie jelas menghormati Soekarno sebagai bapak kepala negara, namun tetap juga membenci gaya kepemimpinannya. Ia dan kawan-kawan sejawatnya dengan nama “KAMI” akhirnya pada titik beraksi di depan gedung negara. Meminta pertanggung jawaban atas semua kebijakan yang dibuatnya.

Soekarno akhirnya turun jabatan dan digantikan oleh Soeharto. PKI ditumpas habis, dibawa kesana kemari dan berakhir dibunuh secara sadis.

Gie kembali gusar, ia merasa konsep dirinya yang idealis, dimana mengharapkan pemerintahan Indonesia yang bersih terbebas dari korupsi, keberpihakan dalam ras, suku, golongan dan agama. Setelah berganti presiden Soeharto, Ia malah semakin sering mengkritisi pemerintahan (lagi), lewat tulisan-tulisannya dalam koran Kompas kala itu.

Banyak pihak yang tetap tak paham dengan jalan pikiran Gie kala itu, “Soekarno sudah turun, harusnya sekarang sudah tidak ada perlawanan kan?” sahut seorang temannya yang juga koleganya di Koran Kompas. Namun ia mengatakan bahwa, bukan berarti dia dulu membela pihak militer dan sekarang dirinya tidak boleh mengkritisi mereka. Ketika janji-janji yang diberikan, di lupakan semuanya dengan mudah. Masih banyak rakyat miskin dan kelaparan.

Kisah cinta Gie juga nampak tidak begitu beruntung. Menyukai kawan sendiri, namun tidak berakhir dengan bersamanya. Ia meninggal dipangkuan sahabatnya, Herman Hatang ketika sedang menaiki Gunung Semeru dan meninggalkan sepucuk surat untuk Ira, kawan seperjuangan yang disukainya itu. Salah satu kutipan puisi paling terkenal milik Gie adalah “Kita begitu berbeda dalam semua hal, kecuali dalam cinta”.

Ia meninggal di usia ke-27. Sesuai apa yang diharapkannya, yaitu mati muda. Dan ditempat yang disukainya, alam raya dan pangkuan sahabatnya. Tidak diceritakan begitu jelas bagaimana bisa Gie meninggal dunia. Hanya ada scene ia bermain-main dengan sahabat lamanya Tan Tjin Han, yang juga sudah meninggal akibat dibunuh oleh orang-orang dari pemerintahan yang membantai habis semua pendukung komunis.

Apabila karakter Gie dalam film ini dianalisa dengan menggunakan teori psikologi kepribadian milik Alfred Adler sosok Gie merupakan oramg dengan Superioritas (cita-cita; tingkat keberhasilan) yang berbeda dengan kebanyakan orang indonesia di zamannya.

Karena faktor buku yang dibacanya juga, yang membuat ia memiliki cita-cita yang begitu idealis, dan akhirnya membuat banyak orang di sekitarnya mengasumsikan dirinya sebagai anak rebel –pemberontak–.

Dimana, masyarakat pribumi kala itu sudah puas dengan kemerdekaan yang telah direnggut oleh Soekarno, merasa sudah aman dan nyaman, tidak lagi terbelenggu dalam ketakutan-ketakutan akan bayang-bayang perang dengan para penjajah. Ia merasa masih ada keterkung-kungan dalam negara sendiri. Berpendapat masih dibatasi, masyarakat masih banyak yang hidup dibawah kemiskinan. Presepsi subjektif yang ada dalam diri Soe Hoe Gie pun sangat sosialis, harapannya di masa depan akan negara Indonesia menjadi sumber inspirasi semua tulisan-tulisan kritis miliknya di koran, juga semua orasi yang dipimpinnya. Selain itu ia juga suka dengan film, selalu ada agenda menganalisa film dengan teman-teman sejurusan di masa kuliahnya dulu.

Sosial interest Gie, banyak kurang semua diberikan pada keprihatinannya pada kondisi masyarakat Indonesia yang tak kunjung “merdeka” dalam versinya. Begitu dalam dan banyak ia memikirkan mengenai bangsa ini, bangsa Indonesia. Meskipun ia keturunan cina, ia tidak pernah sama sekali membeda-bedakan ras, agama, suku maupun golongan. Justru ia malah yang menuntun kesetaraan semua lapisan sosial masyarakat tanpa memandang aspek-aspek itu. Sosok Gie menginspirasi jutaan orang Indonesia, bahkan sampai saat ini, yang terbilang sudah melewati sentengah abad lebih peristiwa demonstrasi kala itu. Semoga semangat pemuda Indonesia jaman sekarang tidak kalah dengan semangat pemuda zaman Gie. Semoga. Indonesia dapat “merdeka” sesuai apa yang diharapkan Gie dan kita semua.

https://www.youtube.com/watch?v=URPiHGcWwcI
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.