Antara Kutukan, Perang, dan Filosofi Kehidupan

Bagikan

Peresensi : Qanita Zulkarnain

Judul Buku : All The Light We Cannot See

Pengarang : Anthony Doerr

Penerbit : Fourth Estate

Tahun Cetak : 2015

Jumlah Halaman : 530 halaman

ISBN : 978-0-00-813830-1 (UK Edition)

All The Light We Cannot See merupakan karya kelima Anthony Doerr. Buku yang bergenre historical fiction ini pada 2016 termasuk sebagai Number One Best Seller karena bertahan sebagai salah satu buku yang penjualannya bertahan dalam kategori best seller selama 118 minggu dan pada tahun 2016 dinobatkan sebagai salah satu dari 10 Books of The Year oleh New York Times serta memenangkan penghargaan Pulitzer Award dan Ohioana Library Association Award untuk kategori fiksi, Andrew Carnigie Medal untuk kategori Excellence in Fiction. Doerr, dalam wawancaranya di salah satu televisi lokal di Amerika Serikat, membenarkan bahwa penulisan novel ini memakan waktu hingga 10 tahun.

Mengambil masa Perang Dunia II sebagai latar waktu dominan, novel ini mengisahkan tentang Marie-Laure, gadis Perancis yang menderita Katarak Konengital sejak ia berusia 6 tahun sehingga harus menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang tunanetra sejak saat itu, dan Werner Pfennig, yatim-piatu Jerman yang memiliki intelegensi di atas rata-rata walaupun secara fisik ia terlihat lebih kecil untuk anak laki-laki seusianya.

Kisah Marie-Laure dan Warner berlangsung paralel dalam buku yang memiliki total 14 bab (chapter Zero–Thirteen) dengan jumlah sub bab dan halaman yang tidak sama jumlahnya perbab. Menilik asal usul masing-masing tokoh, Marie-Laure adalah anak perempuan tunggal yang tinggal bersama ayahnya yang merupakan seorang tukang kunci di sebuah museum di Paris, sementara Werner tinggal di panti asuhan di Zollverein, sebuah daerah industri pertambangan batu bara di Essen, Jerman, bersama adik perempuannya. Walaupun awalnya Marie-Laure dan Werner tidak memiliki keterkaitan apapun, seiring berjalannya cerita, takdir perlahan membawa kedua orang ini akhirnya saling menemukan. Bagi Marie-Laure yang mempelajari tempat-tempat di penjuru kota dengan miniatur buatan ayahnya, dunia penuh dengan labirin-labirin. Werner sendiri adalah pemuda yang selalu memiliki pertanyaan di kepalanya, dan hidupnya semakin dipenuhi pertanyaan sejak pemuda yang ditakdirkan untuk menjadi pekerja di pertambangan batu bara ini dilirik oleh Hitler Youth karena kecerdasannya.

Dengan latar waktu yang memiliki rentang cukup panjang (1940-2014) dengan alur campuran, novel ini menjadi sangat menarik. Dibuka dengan serangan bom di Saint-Malo, Perancis, pada tahun 1940, kemudian alur bergerak maju dan mundur di setiap babnya. Saint-Malo adalah salah satu kota di Perancis yang dikelilingi oleh benteng disekelilingnya dan berbatasan langsung dengan laut. Kota inilah yang menjadi sampul dari novel ini.

Langsung dikisahkan pula Sea of Flames, batu sakti dari Borneo yang konon pemiliknya akan hidup selamanya namun kemalangan akan datang kepada orang-orang yang dicintai. Sea of Flames memiliki 3 tiruan dan 1 batu asli, untuk menjaga permata keramat tersebut, dan salah satu dari keempat batu tersebut dijaga di museum tempat Ayah Marie-Laure bekerja. Dengan sentuhan mitologi dan pro-kontra mengenai kutukan dalam Sea of Flames, novel ini tersajikan lebih apik.

Tidak hanya sampai disitu, All The Light We Cannot See juga memiliki sentuhan sains, dimana Werner tertarik dengan radio, listrik, dan mesin yang membawanya pada mekanika dalam fisika. Kutipan buku yang diangkat merupakan “Open your eyes and see what you can with them before they close forever – Buka matamu dan lihat apapun yang bisa kamu lihat dengan matamu sebelum mereka tertutup selamanya”, yang Werner dengar dari radio pertama yang ia eksekusi. Menilik judul novel, berdasarkan apa yang tersurat, sedikit-banyak yang dimaksud adalah radiasi elektromagnetik yang berbentuk gelombang radio. Jika dicermati berdasarkan yang tersirat, yang dimaksud bisa saja mengenai keterbatasan manusia dan kekuatan takdir.

Gaya penulisan Doerr yang puitis dan deskriptif di novel ini membuat penggambaran detail cerita tidak hanya gamblang, namun juga indah. Pembaca tidak hanya dapat memperoleh gambaran umum Perang Dunia II dan pengetahuan mengenai  mekanika sederhana, namun juga pertanyaan-pertanyaan filosofis untuk dipertimbangkan seperti pertanyaan tentang kehidupan yang menghantui Werner saat memperoleh kesempatan belajar di lembaga pendidikan Jerman dan yang menghantui Marie-Laure, sebagai gadis tunanetra yang pada akhirnya harus berjuang sendiri.

Pesan mengenai kemanusiaan pun tak luput dari novel yang mendeskripsikan banyak hal mengenai perang, gadis buta, dan pemuda yatim-piatu yang berasal dari negara tempat NAZI berasal dan berkembang ini. Salah satunya adalah tentang bagaimana peperangan adalah cara manusia untuk memanusiakan sekaligus tidak memanusiakan manusia. Melalui penglihatan seseorang yang tidak dapat melihat, penggambaran dunia dan manusia merupakan sudut pandang yang istimewa.

Novel ini membawa takdir, kepercayaan, logika, nurani, dan paradoks mengenai realita menyokong manusia untuk lebih memahami manusia dalam era krisis. Walaupun novel ini tidak dianggap menonjolkan unsur cinta karena kedua tokoh utama baru bertemu dan saling mengenal di seperempat bagian terakhir novel, Doerr menegaskan dalam wawancaranya bahwa novelnya merupakan kisah mengenai cinta; tentang bagaimana kasih sayang dalam keluarga – antara masing-masing Marie-Laure dan Werner terhadap sisa keluarga yang mereka miliki sehingga novel yang memiliki rating 4.3/5 di Goodreads ini layak dibaca oleh siapa saja.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.