Deradikalisasi Menurut Fakultas Psikologi dan Kesehatan
Oleh: Rangga Prasetya Aji Widodo*
Setidaknya dimulai pada Minggu, 13 Mei 2018, pukul 06.30 WIB, Surabaya dikejutkan dengan bom bunuh diri yang meledak di beberapa tempat, “Ada tiga lokasi, di Gereja Santa Maria Jalan Ngagel, Jalan Diponegoro dan Jalan Arjuno Surabaya, update korban beri waktu dulu kepolisian olah TKP,” begitulah kata Kombes Pol Frans Barung Mangera dilansir dari tribunjogja.com. Tragedi getir tersebut berlanjut lagi pada Senin, 14 Mei 2018, pukul 08.50 WIB, bom kembali meledak di pintu masuk Markas Polrestabes Surabaya. “Total korban meninggal dalam peristiwa terorisme penyerangan gereja menjadi 18 orang termasuk korban yang ada di RS Bhayangkara. Ini data sementara saya update pukul 15.45 WIB,” kata Kombes Frans dalam konferensi persnya di Mapolda Jatim dikutip dari regional.kompas.com.
Beberapa tragedi bom bunuh diri tersebut menjadi buah bibir yang hangat dibahas oleh masyarakat umum, tokoh agama dan sivitas akademika perguruan tinggi dalam diskusi-diskusi yang banyak diadakan akhir ini. Karena kasus tersebut juga membawa berita hoax di media sosial seperti Whatsapp Messenger tentang lokasi pengeboman dan jumlah korban yang menjadi target peledakan, maka saya tidak akan membahas poin tersebut secara mendalam, karena belum adanya data dan informasi yang kredibel dari media mainstream atau pihak berwajib tragedi bom bunuh diri tersebut. Melainkan saya akan membahas “Deradikalisasi”, sebuah destroy the radicalization concept, semacam upaya penghancur atau pencegahan radikalisasi agar tidak terjangkit pada setiap orang, terutama penduduk yang awam ilmu agama.
Melalui pendapat dari tiga orang sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya yang meliputi Prof. Dr. Moh. Sholeh, M.Pd, PNI yang merupakan Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK) serta Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Sunan Ampel Surabaya. Berikutnya juga nimbrung Dr. Suryani, S.Ag, S.Psi, M.Si selaku Ketua Program Studi (Kaprodi) Psikologi, FPK, UIN Sunan Ampel Surabaya, diikuti Herliyana Isnaeni, M.Psi, Psikolog yang merupakan tokoh vital berdirinya Laboratorium Psikosufistik, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF), UIN Sunan Ampel Surabaya. Masing-masing akademisi tersebut memiliki jawaban yang berbeda namun saling merajut benang merah mengenai Deradikalisasi dalam sudut pandang psikologi yang menjadi basic science sivitas akademika yang berkehidupan pada Jurusan Psikologi, FPK, UIN Sunan Ampel Surabaya dalam melihat dan membedah berbagai macam peristiwa, kasus terlebih fenomena yang dilakukan secara kritis, komprehensif dan mendalam untuk memperoleh kerjernihan.
Senin, 14 Mei 2018, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Alam Tara, FPK, UIN Sunan Ampel Surabaya melakukan jajak argumentasi pada ketiga tokoh akademisi tersebut mengenai deradikalisasi, berkaitan dengan tragedi bom bunuh diri yang terjadi kontemporer. Radikalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penuntutan perubahan sistem politik atau pemerintah dengan cara yang keras. Sedangkan deradikalisasi memiliki pengertian upaya preventif atas perilaku radikal pada seseorang umumnya, sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya atau perguruan tinggi lain pada khususnya. Karena dari berita yang dilansir kumparan.com, mengatakan salah satu pelaku bom bunuh diri masih berumur remaja yang berumur 18 tahun.
Disampaikan terlebih dahulu oleh Prof. Moh. Sholeh, M.Pd, PNI pada ruang dinasnya, beliau menjelaskan begitu runtut dan jelas tentang pengaruh yang menyebabkan seseorang menjadi radikal, mulai pembagian dua akibat, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal, meliputi keimanan, kapasitas keilmuan, serta pemahaman tentang keagamaan yang begitu rendah. Dari kurang terpenuhinya kondisi internal tersebut, berpotensi rentan salah paham dalam memaknai kehidupan, dapat disebut gagal paham, berbekal pemahaman tidak utuh mengenai keilmuan agama, “Memandang agama Islam secara parsial, hanya berbekal teks saja, tidak konteks dan menyesuaikan situasi,” tutur Prof. Sholeh ketika ditemui LPM Alam Tara.
Sedangkan faktor ekternal, Prof. Sholeh memandang ketimpangan kehidupan ekonomi, pendidikan, politik, dan hukum sebagai busur dari munculnya radikalisasi, “Merasa diperlakukan tidak adil, sementara dia tidak punya power untuk mengatasi ketidak-adilan tersebut,” jelasnya sambil duduk pada Sofa Tamu, Ruang Dekan FPK, UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam perspektif psikologi, Prof. Sholeh membawa atribut yang membahas frustation, tingkat lanjut dari gejala stress (tertekan) dan depression (depresi), “Mereka adalah orang-orang frustasi yang gagal memahami konteks kehidupan, ketika gagal paham karena tidak memahami sesuatu dengan utuh, secara psikologis mereka bisa disebut ‘orang sakit’, karena sifat rahman dan rahim sudah dicabut, hilang, tidak ada. Harusnya ketika akan melakukan tindakan tersebut, bapaknya teringat nasib anak dan istrinya yang ikut dijadikan pelaku, tapi yang terjadi sebaliknya, bapaknya tidak memiliki rasa kasihan sama sekali,” garis besar tuturan Dekan FPK tersebut, memakai kemeja putih dan dasi hitam.
Bergeser kepada argumentasi Dr. Suryani yang merupakan Kaprodi Psikologi, FPK, UIN Sunan Ampel Surabaya yang sempat ditemui LPM Alam Tara di ruang Program Studi (Prodi) tepat pada meja kerjanya. Dalam suguhannya, Dr. Suryani lebih menggunakan perspektif psikologi sosial untuk memaknai deradikalisasi tersebut, dengan membawa atribut pola pikir (mind set), perilaku (behaviour), konformitas sosial, identitas diri (self identityi), konsep diri (self concept), hirarki of needs yang ketiga berisi keinginan untuk dihargai orang lain, dan yang terakhir adalah decisious making, atau semacam proses seseorang dalam mengambil keputusan pada situasi tertentu.
Menjadi pokok argumentasi Dr. Suryani adalah mind set yang dimulai daripada keyakinan (believe system) bahwa sekelompok orang tersebut akan mati syahid apabila melakukan tindak bom bunuh diri dan menewaskan orang lain. “Pola pikir yang radikal tersebut akhirnya termanifestasi menjadi perilaku-perilaku keras,” sehelai penjelasan Dr. Suryani sambil menuliskan konsep radikalisasi di kardus kotak makan yang tergeletak di atas mejanya. Beliau juga menganggap aksi bom bunuh diri masuk pada aktivitas yang nekad, karena tidak mempunyai kompetensi yang baik, “Mereka juga tidak dibekali keterampilan yang terstruktur dan sistematis, coba ingat lokasi-lokasi mereka meledakkan bom tersebut,” keterangan lulusan Doktoral Universitas Gadjah Mada (UGM) tempo waktu.
Poin penting deradikalisasi Dr. Suryani, yang pertama, tidak terlalu fanatik atau ektrim terhadap sesuatu. Kedua berisi tentang, membuka diri dan mau belajar terhadap berbagai perspektif keilmuan. “Berikutnya ketiga, decisious making, bagaimana cara kita mengambil keputusan juga berpengaruh menuntun kita seperti demikian,” terangnya. Untuk decisious making melibatkan atribut psikologi lainnya, seperti halnya identitas diri adalah kemampuan mengenal dirinya sebagai pribadi serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar, ataupun teman sejawat.
Diikuti dengan konsep diri (self concept) adalah kemampuan memandang bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Juga tersemat atribut konformitas sosial, “Kalau kita masuk dalam organisasi, kita akan memiliki tujuan yang sama dengan anggota organisasi lainnya. Sehingga ketika ada penugasan ‘A’ misalkan, mereka semua langsung bergerak dan mengerjakan,” akumulasi percakapan Dr. Suryani kemudian. Tapi untuk membahas lebih dalam mengenai terorisme dan radikalisme, Dr. Suryani mengatakan perlu adanya riset dan base data yang mendalam, diperlukan waktu untuk memahami secara komprehensif.
Dari Herliyana Isnaeni, M.Psi, Psikolog juga urun pendapat mengenai deradikalisasi dalam perspektif psikologi tersebut. Dosen yang berkontribusi vital pada berdirinya Laboratorium Psikosufistik, FUF, UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut menjelaskan mengenai grand concept deradikalisasi, meliputi persepsi atas sistem kepercayaan (believe system), kebiasaan (habbit) dan pengulangan (repetition). Di sisi lain, Herliyana, M.Psi menjelaskan pointer deradikalisasi di antaranya, pertama, kritis terhadap keilmuan dan informasi baru yang diterima. Kedua, memiliki pertahanan dan kontrol diri yang begitu kuat.
Ketiga, selektif dalam memiliki teman dan kelompok pergaulan. Keempat, peran pemerintah, institusi, lembaga dalam pemerataan keadilan bagi kehidupan masyarakat, agar tidak ada yang dengki, kecewa dan sakit hati atas kebijakan-kebijakan yang bisa merugikan sebagian pihak. Kelima, penanaman nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan, “Penanaman ide dari orang yang dipercaya atau dijadikan tokoh masyarakat, membuat mereka meyakini sebagai kebenaran, apabila ide tersebut terus diulang, maka akan menjadi belive system yang akan mempengaruhi segala perilakunya,” pungkas dari Herliyana, M.Psi yang kebetulan berada di Laboratorium Psikosufistik, FUF, UIN Sunan Ampel Surabaya, ketika ditemui LPM Alam Tara tempo waktu.
Dari tiga tokoh akademisi Jurusan Psikologi, FPK, UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut, kita dapat mengambil benang merah pemikiran deradikalisasi untuk dijadikan referensi dalam bersikap setiap harinya, terjaga dari pemikiran radikal dan ajaran fanatik untuk merubah sistem pemerintah atau politik hingga menggunakan kekerasan seperti tragedi bom bunuh diri yang terjadi di beberapa lokasi Surabaya. Benang merah tersebut membentuk susunan meliputi:
(1) pahami sesuatu dengan utuh, jangan sebagian, jangan parsial, harus tuntas sampai keilmuan tersebut terpahami secara kompleks dan kpmprehensif, sedangkan (2) meregulasi dalam memutuskan sesuatu, decisious making, cara mengambil keputusan dengan bijaksana dengan mempertimbangan aspek supaya diri dan orang lain tidak dirugikan, (3) kritis dalam menerima semua keilmuan atau informasi baru, (4) selektif dalam memiliki teman dan kelompok sosial masyarakat, seperti organisasi, komunitas, dan sejenisnya, untuk yang (5) adalah, peran pemerintah dalam memproduksi kebihjakan adil dan tidak merugikan sebagian pihak yang berpotensi kekecewaan dan balas dendam, sedangkan yang terakhir (6) adalah, memberi penanaman mengenai keagamaan dan kebangsaan dengan kuat terlebih bagus, agar tidak terjadi miss comunication, kesalah-pahaman dan kesenjangan interpretasi.
Untuk menutup tulisan singkat ini, saya ingin mengutip penuturan Emha Ainun Nadjib, akrab dipanggil Cak Nun, merupakan Rektor dari Universitas Maiyah yang sering diadakan di berbagai tempat dengan ribuan jamaah yang mampu bertahan hingga larut malam tersebut, “Kita akan bertemu pada suatu masa, di mana kebenaran dan kebenaran saling bertabrakan, sampai memunculkan pertengkaran dan kekacauan. Kebenaran itu bukan untuk ditampilkan sebagai display utama warung makan, namun kebenaran itu adalah dapur yang ada dalam diri kita masing-masing, wilayah private, malu untuk ditunjukkan. Akan tetapi, kita tampilkan produk dari kebenaran, yaitu sikap dan tindak-tanduk yang baik, ramah kepada orang lain, saling membantu, bersahabat dan penuh cinta kasih,” setidaknya begitulah akumulasi pesan yang disampaikan Cak Nun pada salah satu video yang pernah saya unggah di official website caknun.com.
*Penulis adalah Mahasiswa Semester 6, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK), UIN Sunan Ampel Surabaya.