Jurnalistik Mahasiswa: Sudah Dibiayai Kampus Tetap Mengkritik
Oleh: Ratna Deviana
Menurut sebagian orang menjadi jurnalis kampus memang menyenangkan. Bagaimana tidak, mahasiswa yang bergabung pers lebih terbiasa mengerjakan tugas yang berkaitan dengan tulis menulis seperti membuat makalah, laporan, proposal bahkan ketika skripsi sekalipun anggota pers kampus sudah lebih dulu mempelajari perintilan skripsi seperti unsur-unsur penelitian, mencari fenomena, mengurai fakta, hingga penggalian data melalui wawancara. Tidak hanya itu saja, ketika ada event mahasiswa pers tidak dilarang masuk meskipun tanpa mengeluarkan uang, cukup menunjukan kartu anggota. Selain itu bertemu orang-orang penting sudah menjadi santapan sehari-hari. Saat mahasiswa lain hanya bisa menikmati cerita dari mulut ke mulut, mahasiswa pers bisa berbincang langsung dengan petinggi kampus.
Dapat dikatakan bahwa kampus adalah miniatur negara, karena didalamnya terdapat rektor sebagai kekuasaan tertinggi, beberapa organisasi partai, gubernur fakultas beserta jajarannya, masyarakat, serta sistem perpolitikan. Yang pasti semua hal itu tidak lepas dari sekelumit problematika yang melibatkan seluruh warga kampus dan wartawan dibutuhkan sebagai penyambung informasi antara rakyat dan pemerintah. Pada dasarnya menjadi wartawan dibutuhkan rasa tanggung jawab yang besar, terlebih lagi saat informasi tersebut membutuhkan data dan fakta berupa angka-angka yang sedikit memerlukan perhitungan. Belum lagi saat penjelasan yang diberikan narasumber sedikit ambigu dan harus ditulis ulang menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat kampus.
Lalu apa jadinya jika dalam pemberitaan oleh pers kebebasan berpendapat dijadikan saran empuk para jurnalis mahasiswa untuk memberi kritikan pada sistem kampus yang dinilai nyeleneh, padahal dalam pernak-pernik yang dibutuhkan pers sudah dibiayai oleh kampus. Pada dasarnya sebelum disahkan suatu kebijakan pasti sudah melalui penyaringan dan proses panjang hingga bisa sampai diterapkan pada masyarakatnya. Tetapi juga tidak bisa dipungkiri bahwa ketetapan manusia mempunyai efek samping.
Dalam melakukan sebuah perubahan, seseorang tidak diminta dapat memberikan kritikan saja, tetapi mempersembahkan sesuatu yang dapat mengubah wajah kampus menjadi lebih indah. Bukan hanya ditulis lalu menjadi tumpukan kertas yang nantinya hanya sebagai koleksi saja melainkan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak sekedar menjadi omong kosong saja.
Saudaraku yang baik…Hukum perubahan sosial sejak dulu tidak berubah. Kau perlu dedikasikan hidupmu untuk kata yang hingga kini, seperti mantera: lawan…!!! Lawanlah dirimu sendiri yang mudah sekali percaya pada teori perubahan sosial yang hanya cocok untuk didiskusikan ketimbang dikerjakan. Lawanlah pikiranmu yang kini disibukkan oleh riset dan penelitian yang sepele. Kemiskinan tak usah lagi dicari penyebabnya tapi cari sistem apa yang harus bertanggungjawab. Ajak pikiranmu untuk membaca kembali apa yang dulu kukerjakan dan apa yang sekarang dikerjakan oleh gerakan sosial di berbagai belahan dunia. Gabungkan dirimu bukan dengan LSM, tapi bersama-sama orang miskin untuk bekerja membuat sistem produksi. Tak ada yang bermartabat dari seorang anak muda, kecuali dua hal: bekerja untuk melawan penindasan dan melatih dirinya untuk selalu melawan kemapanan. Hasta la victoria siempre… (Maju terus menuju kemenangan) Patria o muerte.. (Tanah air atau mati) Kupeluk kau dengan sepenuh semangat revolusionerku… Ernesto Che Guevara
*) Penulis adalah Mahasiswa
Fakultas Psikologi dan Kesehatan
UIN Sunan Ampel Surabaya