Untuk Rindu yang Masih Bersarang
Oleh: Ratna Deviana*
Sore itu benar-benar sore yang menyakitkan, saat semua yang ku harapkan justru membunuhku dengan sadis. Aku benar-benar tak habis fikir, nama Akhtara yang sudah terukir dengan indahnya kini harus ku hapus satu persatu.
Cinta yang selama ini selalu ku sebut dalam doaku, sekarang aku hanya bisa meletakkan cinta itu dalam bayangan semu, untuk merindunya saja aku tidak berani apalagi harus berbincang hangat denganmu seperti dulu. Aku takut rindu ini justru akan mengantarku ke jurang dosa. Ketahuilah Akhtara susah payah aku melupakanmu, benar-benar sakit rasanya.
Terkadang aku tenggelam dalam lamunan, selalu saja senyummu yang menyibak dalam benakku. Kenangan tentangmu yang sudah mengakar dalam nadiku, hingga kini aku masih berusaha membunuhnya dengan kejam. Ku biarkan luka ini menganga agar bintang dan bulan tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Bahkan cintaku ini lebih besar dari dia yang bersanding denganmu saat ini.
Saat rintik hujan dipagi buta yang mengguyur rumahku terasa begitu hangat ketika bayangan mu memeluk tubuhku, mengusir segala rasa dingin yang berusaha menembus kulit hingga terasa nyeri di tulang ku. Saat itu juga terbesit di benak ini. “Semoga kau bukanlah orang yang terperangkap dalam derasnya hujan yang mengundang kenangan masa lalumu datang lagi karena aku ingin melewati hujan itu dibawah payung yang sama dan menggenggam tanganmu erat hingga kau bisa melihat kedepan bahwa aku sanggup menjadi sepasang sayapmu menuju indahnya kebahagiaan abadi”.
Ku bisikan itu perlahan hingga nafasku membentuk embun yang hinggap di kaca jendelaku. Ku tuliskan namamu dengan jari telunjukku dan ku gambar bentuk love melingkari nama itu. Lalu ku kecup, hingga berbekas bibirku. Bibir yang selamanya tak akan mempunyai keberanian untuk mengungkap perasaan dan hanya bisa berucap dalam doa. Tapi ternyata takdir berkata lain, kau milik orang lain sekarang. Ahh, sudahlah Akhtara mau samai kapan kau menggodaku dengan senyum manismu?
Adzan subuh berkumandang, segera ku beresekan seluruh sampah yang menghiasi tubuhku, termasuk air mata yang tak sengaja menetes. Ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi membersihkan semuanya lalu mengambil air wudhu. Aku berusaha menahan air dingin yang mengaliri tubuhku, lalu ku gelar sajadah dan mengenakan mukena kesayanganku, berwarna merah hati dan motif songket sebagai renda. Sejenak ku pandang keluar jendela. Sungguh pagi yang damai tapi tidak dengan hatiku.
Ku angkat takbiratul ikhram, menyebut nama Sang Maha Cinta dengan penuh kepasrahan, lalu ku dekap tubuhku dan berusaha menghadirkan damai saat mempersembahkan sembah sujud ku pada Illahi. Saat ku baca iftitah tiba-tiba bayangan Orlin terlintas di benakku. Sahabat yang sudah ku anggap seperti kakak kandungku sendiri. Iya benar. Aku adalah anak pertama, sehingga hadirnya Orlin bisa melengkapi itu. Astaghfirullah, apa-apaan ini, bagaimana bisa saat mengahadap Sang Pencipta pun aku masih memikirkan duniawi. Ku lanjutkan membaca al-fatihah dan surat al-ikhlas, semoga hatikupun bisa ikhlas menerima semuanya.
Ku lanjutkan rakaat ke dua lalu ku akhiri dengan salam. Ku pandangi foto Orlin yang berada di meja belajarku. Tepat disamping buku diary yang menyimpan segalanya tentangku, tentang Akhtara, tentang mimpiku, dan tentang dunia. Kuangkat kedua tanganku dan aku berbisik dalam sepi, “Ya Allah, sudah cukup aku kehilangan Akhtara dalam hidupku. Ku mohon padaMu jangan jauhkan Orlin dari pandanganku,” lalu ada setetes air mata yang keluar dari sudut mataku.
Sudah bertahun-tahun penyakit ginjalnya tak kunjung sembuh. Dia harus cuci darah, periksa ini, periksa itu, dan itu semua membutuhkan biaya yang tidak sedikit sedangkan Orlin sahabat seperjuanganku saat di kampus dan organisasi. Sama denganku, dia tidak berasal dari keluarga yang bergelimang harta. Ayah Orlin seorang supir keluarga terpandang. Hingga suatu hari putri angkat keluarga itu ditimpa musibah dan kehilangan banyak darah, tidak ada satupun dari mereka yang cocok darahnya kecuali ayah Orlin. Dan sebagai ucapan terima kasih putra bungsu mereka dinikahkan dengan Orlin. Salah satu tujuannya agar pengobatan Orlin bisa berjalan lancar tanpa mengkhawatirkan biaya. Bagi mereka nyawa harus dibayar dengan nyawa.
Dan semenjak Orlin menikah aku sudah jarang bertemu dengannya. Ah, begitulah hidup tak selamanya yang ada disekitar kita bisa abadi. Sakit rasanya, disaat aku membutuhkan tumpuan untuk bercerita tentang perasaanku pada Akhtara, Orlin malah menjauh. Aku pun tak menyalahkan dia, sebagai seorang istri tanggung jawabnya dua kali lipat daripada saat menjomblo dulu.
Pagi itu rasanya ada perang yang berkecamuk di dalam dadaku. Segalanya yang telah lalu muncul kembali. Termasuk saat aku menerima undangan cantik berbalut pita silver dari Akhtara. Ku tarik pita itu perlahan-lahan, membuka cover undangan, lalu ku baca isinya. Betapa terkejutnya aku. Saat lelaki yang ku cintai akan menikah dengan perempuan lain. Air mataku semakin deras saat aku membaca nama yang tertera dibawah nama Akhtara. Orlin Adresia binti Abdul Aziz.
*) Penulis adalah Mahasiswa
Fakultas Psikologi dan Kesehatan
UIN Sunan Ampel Surabaya