Etika dan Jaket Ketat yang Dikenakannya (Oleh: Luhur Pambudi)
Sepertinya kita harus sesegera mungkin menyegarkan kembali pemahaman kita akan etik pengetahuan kita tentang praksis Psikologi. Saya tandaskan kemudian, jika akan tiba saatnya dimana kita akan menyadari bahwa sedang terjebak dalam ceruk-ceruk kesalahan berfikir yang alih-alih sebagai sesuatu hal yang solutif dan antisipatif, namun seringnya kita tak menyadari jika pada saat yang sama sebenarnya kita tengah terperangkap dan menghirup sesak kemandekkan berfikir. Soal etik saya pikir iya. Bagaimana sebuah profesi psikolog dalam praksis keilmuannya, yang berkenaan dengan dinamika diri individu atau seseorang secara utuh. Harus mempersiapkan opsi-opsi alternatif yang sifatnya preventif untuk melindungi aspek-apsek pribadi seorang individu yang berurusan dengannya.
Sebuah pertanyaan kasuistik dari seorang sahabat dalam diskusi kelas beberapa waktu yang lalu. Mau tak mau harus saya definisikan sebagai salah satu bentuk pertanyaan yang saya pikir agak tanggung harus ditanggapi. Bukan substansi mengenai apa yang ditanyakan yang membuat saya merasa tergelitik untuk tertawa. Namun lebih kepada bagaimana upaya dia yaitu sahabat saya itu, untuk bertanya dengan kelengkapan informasi yang setengah-setengah. Bermula saat ia bertanya mengenai keberadaan sebuah kos-kosan yang sengaja disewakan oleh pemiliknya secara terbuka untuk digunakan tempat prostitusi, apakah bisa didefinisikan sebagai patologi sosial atau tidak.
Pertanyaan itu begitu menarik dan substantif saya pikir, sekaligus begitu segar kehadirannya dalam diskusi saat itu. Karena begitu menarik dan segarnya pertanyaan itu, analisis yang digunakan oleh setiap orang yang mendengar dan yang sekaligus terlibat dalam diskusi itu, membutuhkan kelengkapan informasi yang utuh. Karena petanyaan itu ditujukan pada kelompok panelis saya, maka saya mencoba untuk menanggapi. Sebelum menanggapi saya mencoba untuk menyusul pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya, dengan menanyakan kembali keberadaan tempat dimana prostitusi berkedok persewaan kos-kosan itu. Namun, jawaban yang ia lontarkan sungguh menganehkan. Ia tidak mau menyebutkan ada dimana kasus itu berada. Justru ia mengelak untuk menjawab secara jelas tempat atau ada dikawasan mana kasus itu pernah terjadi. Seakan-akan ia menganggap ada suatu hal yang harus dirahasiakan, oleh karenanya, dengan menutup-nutupi sepenggal informasi pada beberapa pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya. Ataukah mungkin karena etik yang sedang bertabrakan disini, sebagai konsekuensi dari orientasi pendidikan program studi yang sedang kita tekuni. Karena diskusi pada saat itu terbatas oleh waktu, dan mungkin saja ia bertanya semata-mata karena kasus itu hanya menjadi sebuah pertanyaan, (bukan problematika atau masalah) dan hanya dengan jawaban, pertanyaan tadi dapat terjawab, namun bukan terselesaikan. Maka sepenggal juga saya terpaksa menjawab pertanyaan itu. Karena saya merasa tidak dituntut untuk menyelesaikan masalah itu.
Kalau memang benar adanya. Saya pikir etika menjadi suatu hal yang menganehkan pada akhirnya. Terlepas dari substansi pertanyaan secara utuh. Sebenarnya yang sedang kita risaukan adalah adanya anggapan bahwa kita sedang menjaga sebuah informasi vital dan mempribadi mengenai seseorang sebagai sebuah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh orang terdekatnya sekalipun. Tapi sebenarnya kita tidak lebih dari sekedar anggapan itu sendiri. Disatu sisi ia mungkin bermaksud untuk menjaga segala bentuk pretensi negatif yang berpotensi mengancam, sekiranya beberapa informasi secara sengaja atau keceplosanterlontar atau terdengar oleh orang lain. Namun yang disayangkan adalah sebenarnya pada sisi yang lainnya ia sedang menutup kemungkinan-kemungkinan atas itikad baik dari ilmu pengetahuan.
Sepintas saja, mungkin ia menganggap kasus ini adalah aib yang tak boleh siapapun orangnya yang berkepentingan atas informasi tersebut menvonis bebas sekehendaknya. Dan mungkin ia menganggap diskusi yang ia ikuti saat ini adalah salah satu forum diskusi yang berpotensi mengancam.
Sepertinya kita perlu memetakan kemungkinan lain yang terjadi atas sikap menutup diri semacam ini, sebagai sebuah cara menghilangkan atau lebih tepatnya menutup-nutupi sepenggal informasi yang menjadi pembahasan pada meja diskusi, selain kemungkinan atas takut akan diketahuinya aib seseorang oleh seseorang lainnya.
Jika ia menghilangkan sepenggal saja informasi yang berkaitan dengan tempat dimana kasus itu terjadi. Dengan maksud seperti itu. Maka bisa dipastikan kesalahan berfikir sedang terjadi tanpa disadari. Padahal sikap menutup diri seperti itu, jika konteksnya adalah ia bertanya untuk meminta jawaban, maka ia sedang menutup diri untuk menverifikasi pertanyaan yang dilontarkan sendiri. Ini jelas. Jangan-jangan kasus yang ditanyakan itu tidak pernah terjadi di daerah yang sengaja ia tidak sebutkan. Mungkin di desa atau kecamatan sebelahnya. Atau, jangan-jangan kasus yang ia lontarkan lewat pertanyaan itu sebenarnya tidak ada dan hanya mengada-ada, karena olah hasil realita atau metode yang masih keliru ia gunakan. Jangan-jangan realita kasus yang ia jadikan pertanyaan bukan konstruksi obyek yang sebenarnya. Mungkin saja pertanyaan itu muncul karena pantulan anggapan subyek (yaitu sahabat saya) setelah melihat obyek. Padahal realitas pada rekap peristiwa, kasus atau fenomena tidak boleh berkurang sedikitpun keutuhan ruang dan waktunya. Karena ilmu pengetahuan membutuhkan itu.
Tahap verifikasi pertanyaan masih harus dilewati dan membutuhkan proses yang ketat. Karena jawaban tidak akan memuaskan, jika pertanyaannya saja masih menimbulkan pertanyaan susulan serupa. Sama halnya dengan bagaimana makanan dihadapan kita bisa mengenyangkan perut kita, jika kita sendiri masih kerepotan menentukan pilihan menggunakan alat apa untuk menyantapnya; sendok, garpu, pisau, atau tangan saja.
Masih diragukannya validitas pertanyaan yang ia lontarkan, dikarenakan oleh status ontologi dari keberadaan realita yang dijadikan pertanyaan olehnya masih diragukan keabsahannya metode dan instrumen yang digunakannya. Mengakibatkan pertanyaan yang dilontarkan tidak benar-benar mampu untuk meminta jawaban. Atau parahnya, akan berimplikasi pula pada penentuan terhadap jatuhnya vonis terhadap fakta yang sedang dibahas; apakah ini masalah atau bukan. Kalau memang benar fakta yang dimaksud adalah sebuah masalah yang harus dicari solusinya, maka sikap menutup diri semacam itu akan menghambat dan menutup kemungkinan sama sekali atas solusi atau penyelesaian. Sebenarnya kecenderungan semacam ini kerap kali terjadi. Salah melihat, salah mengklasifikasikan, lantas salah pula memutuskan. Hingga mengakibatkan munculnya dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan yaitu salah sasaran, tidak memuaskannya hasil yang didapat dan seterusnya. Namun anehnya betapapun itu pretensi negatif yang kita terima, terkadang kita tidak menyadari hal itu sebagai ulah kesalahan melangkah yang kita lakukan diawal.
Kawasan diskusi dilarang saling menutup-nutupi, sebuah aturan sederhana dalam dunia akademisi yang kebanyakan dari kita lupa, bahkan tak mengetahuinya. Sebuah forum yang hangat berisikan beberapa gelintir orang saja untuk memulai pembicaraan mengenai hal ikhwal kehidupan, ekonomi, budaya dan semacamnya. Sepantasnya dilakukan dengan tidak mencederai prinsip-prinsip fundamental ilmu pengetahuan. Harusnya kita sadari bahwa keberadaan majelis atau forum-forum diskusi dalam kelas perkuliahan sekalipun bukan sebatas formalitas atau insiden belaka sifatnya, sebagai prasyarat untuk memenuhi kriteria absensi dosen atau semacamnya. Harusnya kita mengerti dan tak lagi mempertanyakan kembali apa fungsi dan apa untungnya dari adanya diskusi. Bahwa forum diskusi merupakan forum dimana sisi lain realitas kehidupan atau sekelumit kisah yang tak banyak orang lain tau dengan kedua bola matanya bersama-sama kita pahami sebagai sebuah entitas yang berdekatan dengan diri kita atau kehidupan kita. Yang lantas kitapun bertanggung jawab mengenai hal itu.
Sebenarnya sungguh mengecewakan sekali pada beberapa diskusi yang pernah saya ikuti di kelas perkuliahan. Beberapa mahasiswa yang bertanggung jawab untuk penyeleggarakan diskusi itu tidak menyadari fungsi sesungguhnya dari diskusi. Mereka menyelenggarakan diskusi hanya sebatas formalita belaka, tanpa ada pembahasan fakta, realita atau permasalahan yang terjadi. Dan terkesan asal-asalan. Hanya karena disaat dosen pengampu yang bertanggung jawab atas keberadaan forum perkuliahan tersebut tidak hadir waktu itu. Saya pikir diskusi harusnya kita tidak sesempit itu memaknai. Diskusi adalah jendela untuk kita sekedar menengok realitas dibaliknya. Diskusi bak stetoskop seorang doktor yang oleh karenanya dokter tersebut mampu mendeteksi ada dimana pangkal penyakit yang diderita pasiennya. Oleh karena itu diskusi harusnya tak berarti menutup-nutupi keutuhan fakta. Lebih dari itu, kalau memang dalam diskusi yang sedang berlangsung ada sebuah traktat kode etik yang harus diikutsertakan sebagai tindakan preventif untuk melindungi informasi dari segala bentuk pretensi. Maka bukan berarti traktat tersebut harus dilampirkan seketika itu dalam pembahasan pangkal masalahnya.
Akibat dari salah penafsiran kode etik, sebenarnya kode etik bukanlah tepat diaplikasikan untuk wilayah diskusi. Dan ini jelas jika kita hendak membuktikannya, sebagaimana yang telah kita bahas dibagian awal. Etik diibaratkan bak sebuah jaket ketat yang oleh karenanya menyesakkan ketika kita memakainya. Etik yang tersimbolis dalam sebuah tataran kode sebenarnya tak lebih dari sebuah pagar yang membatasi kebebasan atas kebebasan. Psikologi de facto menerima individu sebagai entitas yang berbeda dan tak boleh sekalipun diusik oleh preposisi-presposisi persamaan, keselarasan, dan persatuan (yang kerapkali hal itu dihidupkan oleh dalil dogmatis). Individu yang ada dalam tataran semesta kehidupan ini merupakan entitas yang telah ada dalam desain hukum alam. Mengapa demikian? Jika kita hendak merujuk pada manusia sebagai entitas yang berbeda, dan oleh karenanya Psikologi ingin merawat dan sekaligus mengawal perbedaan itu, karena itu fitrah dan hak seorang individu untuk nantinya kita rumuskan sebagai sebuah rasa lepas dan kebebasan, sebenarnya kita telah sepakat dan tak lagi menawar bahwa kehidupan ini bukan menyajikan kebebasan, justru sebaliknya menyajikan tatara-tataran takdir yang tumbuh bersamaan dengan rumput-rumput liar bernamakan hukum-hukum alam yang mengalir dan berputar.
Dus, etika dan produk praksis etika yang bernama kode etik bermaksud untuk berdiri di samping Psikologi untuk mengawasi dan meregulasi ulah perbuatan Psikologi yang mengatasnamakan ilmu pengetahuan, dalam upayanya mencari benar dan kebenaran. Yang mungkin tidak kita sadari secara praksis ilmiah kerap kali harus menanggalkan keberadaan identitas, sejarah, fitrah, hak, dan konsekuensi dari obyek yang kebetulan memainkan peran sebagai objek eksperimentasi ilmiah.
Dilain sisi jika melihat konteks keberadaan realitas atau fakta sosial yang hendak kita telaah dengan kaidah ilmu pengetahuan tertentu, dalam hal ini Psikologi, kode etik bisa sekaligus membatasi gerak gerik kita dan percakapan kita untuk menguliti fakta sosial yang ada secara obyektif dan sistematis karena untuk itu kita akan menemui kebenarannya. Namun pada akhirnya ini terjadi dalam pengalaman diskusi diatas. Dipaksakan bagimanapun juga untuk meminta jawaban. Maka jawaban yang akan muncul hanya bersifat sekedarnya saja, tak lebih dari itu. Karena bertanya hanya untuk meminta jawaban, maka hanya sebatas menjawab saja, yang ada hanyalah jawaban yang bersifat retoris belaka. Berbeda kiranya jika kita bertanya karena ini adalah suatu permasalahan dan butuh lebih dari sekedar jawaban yaitu solusi dan pemecahan. (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016