Kekuasaan dan Skandal (Oleh: Luhur Pambudi)

Bagikan
Korupsi, bukan lagi menjadi kajian utama dalam ranah kasus, melainkan fenomena. Karena tingkatan yang dibangun dalam dunia jurnalis, sebuah peristiwa yang periodesasi masa kejadiannya selalu terulang, maka tidak bisa disebut sebagai kasus lagi melainkan fenomena, karena kecenderungan untuk muncul selalu ada dan berkala.
Fenomena kali ini lekat kaitanya dalam ranah sosial dan politik, adalah ulah para elit kenegaraan yang melakukan penyelewengan kekuasaan pada masa jabatan, salah satunya korupsi. Beberapa waktu lalu santer terdengar runtuhnya dinasti kepemimpinan Bangkalan, dinasti dari klan Fuad Amien, seorang cucu dari Kyai Kholil, ulama terpandang di pulau penghasil garam.
Dalam lansiran media, Ra Fuad, sebutan lain dari Fuad Amien, tengah tertangkap tangan oleh badan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang melakukan transaksi perusahaan gas alam, yang disinyalir menyalahgunakan wewenang masa jabatan dan kekuasaan dalam pemerintahan Bangkalan untuk memperkaya diri. Yang menjadi sorotan bukan lagi tindakannya yang menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi saja, melainkan dimensi nepotisme juga ikut terangkat seiring sorotan yang mengular kepada kecenderungan orang pelaku korupsi bukan saja karena tindakan inisiatif atau pribadi belaka, namun spekulasi lain menyebutkan adanya orang-orang lain atau kroni-kroni yang ada dibelakang Ra Fuad turut juga menciptakan iklim atau jaringan yang sifatnya seragam. Jadi Ra Fuad melakukan korupsi tidak dengan sendirian.
Ini dipertegas dengan sebutan “dinasti” tak segan-segan disematkan oleh orang-orang yang mencibir ulah Ra Fuad, karena kecurigaan tersebut diperkuat oleh fakta yang ada, bahwa diberbagai lini pemerintahaan Kabupaten Bangkalan didominasi sanak family Ra Fuad. Ini jelas oleh anaknya yang sekarang sedang menduduki posisi di pemerintahan sebagai bupati Bangkalan. Sebuah fenomena yang kesekian kalinya, berarti ini bukan pertama, korupsi atau penyelewengan kekuasaan yang melibatkan kroni-kroni atau kerabat dekat sudah pernah terjadi. Kabupaten Banten yang santer dua tahun lalu berdengung, dengan tokoh utamanya Ratu Atut menciptakan, sebuah dinasti serupa. Adapun juga perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme yang lebih besar turut menyeret keluarga besar presiden kenegaraan Orde Baru, keluarga cendana, yang perkaranya masih hangat hingga saat ini.
Yang menjadi bahan tertawaan sekarang. Apa yang terjadi dengan negara ini, jika hendak mengulas secara umum dalam lingkup sosio-politik. Namun pembahasan kali ini, lebih spesifik kiranya, pada individu pelaku tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Melalui cermin fenomena terbongkarnya dinasti kepemimpinan yag didominasi kelompok tertentu, seperti di Bangkalan oleh Ra Fuad, kiranya apa yang melatarbelakangi perilaku tersebut. Tindakan korupsi yang tersistematis rinci secara tersembunyi dan berlangsung lama. Dengan beberapa ulasan fakta, yang ternyata individu pelaku tidak melakukanya sendiri, diperparah individu pelaku memciptakan tandem atau sistem yang memungkinkan kepentingannya tadi dalam tanda kutip “memperkaya diri” ini bisa dilakukan tanpa hambatan.
Dalam hal ini kecenderungan sifat dari manusia sebagai mahkluk ekonomi (zoon economicus) terbukti benar adanya. Dalam terminologi moral yang diusung oleh Aristoteles; sifat mempribadi dari manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki saat ini, selalu menuntut keberadaan yang lebih. Dalam hal ini Ra Fuad begitu identik dengan kecederungan sifat manusia yang secara umum telah digambarkan oleh murid Plato tersebut. Sifat tidak pernah puas juga dijelaskan dalam keyakinan yang bersifat dogmatis dalam ajaran Agma Islam, namun dengan terminologi lain, yaitu rakus atau riak, tidak pernah puas dan selalu ingin lebih.
Dalam kepribadian manusia, ada dikotomi yang terbangun disini. Manusia memiliki sifat kecenderungan pada hal materialitis dan kecenderungan kerohaniaan. Manusia memiliki dikotomi dalam diri sendiri. Namun tidak bisa dipungkiri, kecenderngan yang paling dimungkinkan untuk diidap oleh manusia adalah kecenderungan yang sifatnya materialistis, kaitannya dengan apa yang menjadi tinjauan diluar diri sendiri yang sifatnya nampak, yaitu dorongan nafsu hewani, namun kemungkinannya juga beragam, bisa dalam hal seksualitas, agresifitas atau materi kekayaan. Diperkuat juga oleh refleksi dalam diri manusia menurut Sigmund Freud. Manusia memiliki struktur kepribadian, salah satunya Id; sebuah dorongan yang sifatnya ke arah nafsu hewaniah, yang dicabangkan kembali dengan adanya kecenderungan untuk hidup (Tanathos); bisa diartikan motif untuk memperkuat apa yang diinginkan diri, dan mati (Eros); motif yang sifatnya merusak diri sendiri, serupa agresifitas tadi.
Fenomena korupsi yang melibatkan kroni-kroni dan kerabat dekat atau sanakfamily, bisa dikatakan semacam siasat untuk memenuhi kebutuhan dalam diri tersebut yang sifatnya dorongan nafsu atau hewani. Namun kecamuk fenomena ini, korupsi yang dilakukan Ra Fuad, cukup menggegerkan dan tak lantas selesai dengan tertangkap tangannya Ra Fuad dan perkaranya yang berujung pada verifikasi pada pihak berwajib. Kita coba telisik latar belakang Ra Fuad yang ternyata, tidak disangka-sangka adalah seorang tokoh masyarakat atau tokoh agama yang sangat disegani, karena selain adanya legitimasi dari sang kakek yaitu Kyai Kholil yang tak usah dipertanyakan lagi bagaimana berpengaruhnya dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Sosok Ra Fuad tak serta merta bisa diremehkan begitu saja dalam sebuah tatanan kebudayaan yang kental akan nuansa Islam di tanah Bangkalan, ia bisa disebut seorang alim, orang yang digadang-gadang pasti bijaksana, dan jelas ditunggu-tunggu setiap cakap perkataannya. Kebudayaan di tanah Madura begitu kuat unsur Islamismenya, bisa dikatakan mayoritas penduduk di Pulau Madura adalah pemeluk ajaran Agama Islam. Kalau toh ada yang berbeda kemungkinannya tipis antara Nahdlatul Ulama’ (NU) dan Muhammadyah. Begitu pula pendidikan yang ada tersebar di berbagai wilayah di Madura, karena begitu kuatnya Islamisme, sekolahan-sekolahan yang formatnya seperti pesantren sudah bukan lagi barang langka di Bangkalan. Bahkan pesantren mungkin dianggap sama halnya dengan sekolah formal pada umumnya. Begitu juga dinamika yang terbangun mengikutinya, jika proses belajar dalam ranah pendidikan di sekolahan sumber utama muara ilmu lazim disebut guru. Di tanah Madura, sebutannya lebih dari itu. Masyarakat setempat menyebutnya Kyai atau Ustadz, terlepas dari fungsi atau tugas pokok sebagai pengajar atau pendidik secara resmi diinstansi kependidikan. Secara kultural peran guru alias Kyai di Pulau Madura lebih pada beban sejarah dan moral. Bukan hanya turut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui ilmu pengetahuan yang sifatnya pembawaan dari kebudayaan sekulerisme. Melainkan juga membangun karakter dan kapabilitas intelektual melalui ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang sifatnya Transendental.
Latar belakang yang sedemikian itupun cukup membuat masyarakat Madura harus pikir-pikir terlebih dulu ketika mau meluapkan amarahnya. Disatu sisi Ra Fuad adalah tokoh agama yang selalu ditunggu deham atau sepatah-dua patah katanya, namun disisi lain Ra Fuad juga plekau tindak pidana korupsi yang cukup bertentangan dengan ajaran Islam yang biasa didengungkan setiap pidato atau pengajianya. Dalam kajian ilmiah ini tidak berarti disangsikan begitu saja, ada beberapa aspek yang turut berpengaruh untuk membentuk suatau sikap dan perilaku seorang individu.
Dalam Psikoanalisis, latar belakang sejarah dari peristiwa atau kejadian dimasa lampau memberikan impuls-impuls tersendiri yang mempengaruhi perilaku individu yang bersagkutan dimasa yang akan datang. Ra Fuad secara latar belakang pendidikan moral dan etika jelas telah menakar ajaran Agama Islam yang terlampir di kitab suci Al-Quran sebagai rujukannya. Kenyataan bukannya bersifat abstrak, namun bisa dijelaskan melalui eksistensi yang nampak, jika kaitannya nanti berbicara perihal keyakinan yang sifatnya metafisik; antara Manusia dan Sang Pencipta. Melalui eksistensi dalam diri manusia yang nampak mulai dari kualitas dan kuantitas beribadah dapat dijadikan indikator. Sebutan ulama dan tokoh masyarakat, bisa dikatakan Ra Fuad sudah sesuai dengan konsekusi kewajiban dalam keyakinan yang dianutnya, ketika indikatornya masuk dalam kuantitas. Jadi, kesepakatan orang lain yang mengidentikan diri seorang individu dapat dijadikan sebagai identitas.
Namun ini berbanding terbalik dan cukup berseberangan kiranya dengan behaviouristik yang menganalisa manusia berperilaku karena dorongan atau sesuatu hal diluar dirinya. Bisa dikatakan Ra Fuad berperilaku menyimpang dari ajaran moral yang ia dapatkan dari pengalaman spiritualistik karena sesuatu yang ada diluar dirinya. Entahlah? Serupa paksaan, perintah atau permintaan. Konsepsi ini diperkuat dengan spekulasi yang luas dikarenakan perilaku Ra Fuad termasuk dalam frame sosial dan politik dalam kehidupan bernegara. Jika ditarik dalam tatanan metodologi; jika variabel terikatnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Maka variabel bebasnya adalah politik. Bisa disimpulkan dalam sebuah hipotesa, karena ruang lingkupnya kenegaraan yang berbicara mengenai kekuasaan dan kebijakan, unsur politik atau kepentingan juga tak bisa dikesampingkan, malah ini seperti satu kesatuan seperti sebuah mata uang koin.
Sistem yang terbentuk dalam hal bernegara, baik ditatanan pemerintahan pusat atau pemerintahaan yang lebih kecil, di daerah misalnya. Tinjauan yang utama masih tetap dalam term kekuasaan dan kebijakan. Berbicara mengenai otonomi wilayah, berarti berbicara perihal pencarian pemimpin yang memiliki legalitas wewenang menguasai untuk menentukan setiap kebijakan. Definisi negara atau pemerintahan dalam konsepsi yang dikemukakan Aristoteles, adanya negara adalah untuk mencapai kebijaksanaan bersama. Karena adanya interaksi dua arah antara negara dan orang di dalamnya. Untuk mencapai kebijaksanaan bersama itupun dibutuhkan sebuah alat atau sarana yang bernama politik, untuk menghantarkan konsepsi yang nantinya diproyeksikan dalam pencarian seorang pemimpin wilayah atau pemimpin kekuasaan terlepas dari konsep negara yang diusung oleh masyarakat dalam wilayah tertentu yang bersangkutan, yaitu sifat intelektual dan moral; nilai-nilai baik yang disepakati. Maka seorang pemimpin yang berkuasa harus memiliki kecakapan moral dan kapabilitas intelektual dalam memimpin. Karena menyangkut kebijaksanaan yang terlampir dalam kebijakan berkuasa demi kemajuan atau kemslahatan bersama.
Namun, seiring berkembangnya terobosan hasil dari pemikiran filsafat klasik mengenai sebuah negara lambat laun kian terkikis dan tak lagi sesuai dengan konsep awalnya. Konsepnya sudah benar, sistemnya sudah tepat sasaran, tapi lagi-lagi manusia-manusianya yang membuat error dan kerusakan. Politik sebagai sarana dan kendaraan mencapai kekuasaan tengah disalahartikan sebagai kepentingan yang sifatnya lebih abstrak. Manusia adalah mahkluk yang berkepentingan (Zoon Politicon), jadi manusia memiliki kepribadian untuk memiliki kepentingan. Karena kesalahan terletak di manusianya, maka kepentingan dalam kehendak berkuasa disalahartikan pula. Diperparah dengan kecakapan intelektual yang memumpuni, kecenderungan orang yang melakukan dosa politik atau pelaku korpsi, kolusi dan nepotisme bukan sembarangan orang dengan kapabilitas intelektual rendahan, melainkan sebaliknya.
Sistem dan mekanisme kenegaraan yang dimaksudkan Aristoteles, disalahartikan dari jaman ke jaman. Merunut kembali kosep negara yang dianut Indonesia, yaitu demokrasi. Aristoteles bahkan sudah merusmuskannya pula, dengan konsep dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jadi ketika tujuan bernegara untuk mencapai kemaslahatan atau kebijaksanaan bersama. Maka rakyat yang harusnya memiliki dan berpengaruh lebih dalam menentukan arah kebijakan. Nyatanya tidak. Persoalan yang menjadi kajian seru dalam esai pendek ini, dimana letak kekuasaan rakyat sekarang, jika sistem bernegara yang menempatkan rakyat sebagai pemutus kebijakan tertinggi digantikan parlementer yang berangkatnya buka dari apa yang dibutuhkan dan diinginkan rakyat. Konsep partai politik yang dijadikan acuan sebagai kanal untuk mempersiapkan seorang pemimpin. Disalahartikan pula untuk menciptakan pemimpin yang memiliki kontribusi kepada golongan partai politik, kelompok, sanak family dan kroni-kroni tertentu. Bukan kepada rakyat.
Ini adalah aspek yang ada diluar diri dalam behavioristik. Apa yang ada di partai politik atau golongan lain pengincar kekuasaan menjadi aturan main yang berlaku dan menjadikan hal tersebut yang melatarbelakangi tindakan korupsi, kolusi, atau nepotisme itu muncul. Jadi kepribadian manusia memiliki kemungkinan yang buruk dan dapat diperparah dengan kondisi diluar diri manusia tersebut. Dalam kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, bisa ditelaah dalam metafisis perilaku operant; kecenderungan perilaku tersebut dapat muncul kembali bukan karena stimulus yang dikondisikan, melainkan respon yag muncul dari impuls yang dibuat individu menghantarkan dalam sebuah keputusan atau penguatan (reinforcement) untuk berperilaku serupa dan berulang. Logika sederhananya, seorang yang melakukan tindakan korupsi bisa dikarenakan elemen pengawas tindak pidana tersebut, seperti polisi, tidak mengetahui atau merespon balik sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ini yang akan menimbulkan ulah serupa karena penguatan sebagai motif melakukan tindakan korupsi serupa, dengan dalih, “selagi tidak terjadi apa-apa, maka apa salahnya melakukan lagi.”
Evaluasi dari refleksi kasus yang tersaji disini, adalah penanganan untuk membuat jera para pelaku sangat diharapkan. Tapi kemungkinan ini kecil jika konsep conditioning ala Ivan Pavlov, diterapkan dalam sistem kenegaraan yang menggunakan sarana politik untuk mencapainya. Wong alatnya (politik) aja sudah rusak, bagaimana jalannya (berbangsa dan bernegara) bisa cepat dan lancar. Maka kesadaran diri untuk tidak mau kotor, adalah kesadaran diri untuk menjauh dari tempat dimana lumpur menggenang.
Pemberlakuan hukum untuk menciptakan efek jera sangat dibutuhkan, dalam Kognitif Behavioral Therapy cukup efektif rasanya jika berkaca kepada Tiongkok yang memberlakukan hukuman mati bagi pejabat negara di berbagai lini pemerintahan yang terbukti melakukan korupsi atau penyelewengan jabatan. Jadi bukan hanya efek jera belaka yang diharapkan menekan tindakan yang merugikan negara ini, melainkan efek intropeksi dan terbentuknya self regulation juga diharapkan untuk memangkas habis akar pokok permasalahan kepribadian manusia yang merugikan.Firman Allah dalam QS Ar-Rum ayat 30. Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.