Tua atau Muda (Oleh: Luhur Pambudi)
Kekhawatiran yang berlebihan bisa menjadi sebuah ketakutan. Khawatir lazimnya didahului oleh kehati-hatian yang preventif sifatnya. Tapi jika terlalu meradang jadilah rasa takut yang muncul demikian. Kongres pertama Boedi Oetomo, Oktober 1908 seperti yang sudah digariskan melalui debat panjang yang kemudian dibingungkan dengan sebuah pertanyaan; siapa yang akan berserah diri menjadi ujung tombak organisasi; feodal atau demokrasi, yang sektarian jawa atau nasionalis, yang tua atau yang muda. Masih sulit jawabnya, hingga kongres yang kedua diselenggarakan. Pertanyaan sederhana dan paling mendasar, namun tetap saja membingungkan untuk memastikan jawabannya, yang seharusnya sederhana pula. Keputusan yang harus diambil nyatannya tak ringan, organisasi yang digadang-gadang menjadi organisasi politik pertama, “kecambah semangat kebangsaan nasional,” kata Mohammad Hatta. Nyatanya tidak lebih dari sebuah organisasi yang bergerilya mengatasnamakan pendidikan dan kebudayaan. Sontak, kongres kedua yang dihadiri oleh 10 ribu anggota dari kalangan mahasiswa dan priyayi itupun sebagian bermuram durja, muncul perasaan kecewa dan pahit dari kubu tertentu yang mungkin memiliki niat menanamkan sebuah kepentingan. Kubu-kubu yang merasa akan ketumpulan sang founding, memaksa memunculkan asumsi-asumsi buta, 10 ribu massa anggota berangsur-angsur meninggalkan pintu masuk ruang kongres, siang itu.
Pertanyaan pertama dari awal kongres pun telah terjawab siapakah the founding yang merelakan dirinya memimpin organisasi. Harapan yang tak bisa disebut lagi semu, sektarian jawa mempengaruhi arah pemikiran organisasi menjadi sedemikian adanya. Tak pelak, satu persatu anggota memilih hengkang dengan alasan tak lagi memiliki mata pisau untuk mengusahakan tujuan mulia yang pernah tertulis rapi, dalam Anggaran dasar dan Anggaran rumah Tangga (AD/ART) organisasi tersebut, “kemajuan bagi Hindia”. Secarik kalimat yang berapi-api diprediksi jelmaan sebuah pepatah Cina, “jangan hanya mengumpat pada kegelapan, tapi nyalakan lilin”. Idealis yang tak kenal kerasnya sepatu pantofel yang mirip tapal kuda itu. Namun, kini hanya serupa obor yang tak lebih dari sekedar padam. Golongan sektarian jawa yang akhirnya menjadi ujung tanduk memilih arah lain, yang berseberangan dengan sebagaian besar harapan para pembentuk organisasi pergerakan tersebut. Dengan maksud semula, menggunakan landasan politik untuk merangsek masuk keberbagai sendi-sendi kehidupan imperialisme kakek buyut kapitalisme seperti yang dikatakan Pram. Guna melucuti segala bentuk penindasan yang telah lama berakar dan beranak pinak menginfeksi generasi ke generasi.
Arah angin membelot. Secara gamblang Boedi Oetomo mendeklarasikan diri sebagai organisasi pendidikan dan kebudayaan oleh para foundingnya yang hampir kebanyakan didominasi sektarian jawa, para aristokrat kejawen. Pertentangan tak dapat dipungkiri. Dengan tujuan awal sebagai organisasi yang bergerak dalam koridor politik, nyatanya banting setir, mengubah arah haluan kapal dengan dalih pertimbangan kerjasama antara pihak pemerintah kolonial dengan para pemangku kerajaan tanah jawa ditakutkan menjadi buruk dan terancam gagal. Ini sebuah bentuk pertentangan akibat ketakutan-ketakutan yang berasal dari proyeksi dan paksaan prediksi di masa depan yang telah terbentuk karena tingkah laku yang terjadi saat ini. Para aristokrat kejawen melihat betapa mesra hubungannya dengan para pemangku kekuasaan kolonial, yang secara tidak langsung mempengaruhi kacamata organisasi tersebut. Dengan berbagai bentuk kerjasama dibidang perekonomian dan pembangunan yang telah dicanangkan. Ditakutkan organisasi yang diprediksi menjadi organisasi politik pertama itu, memiliki tujuan mengembalikan arah dan martabat sebuah bangsa. Yang berarti memusnahkan segala bentuk kebijakan atas kekuasaan kolonial yang masih dianggap baik oleh para aristokrat & bangsawan jawa, namun dianggap sebaliknya oleh para generasi-generasi nasionalis kala itu yang menginginkan segera diberangus segala bentuk kedigdayaan yang berat sebelah dan penyimpangan atas hak-hak hidup sebagai sebuah bangsa.
Suatu sikap yang tak mustahil disebut wajar dari para aristokrat jawa. Kerajaan-kerajaan di tanah-tanah jawa dan kaum bangsawan masih diselimuti kabut propaganda yang diatur sedemikian rupa untuk menciptakan kuda tunggangan untuk berbalik menguasai kebijakan atas rakyat pribumi yang masih tunduk kepada para raja-rajanya. Dan kaum aristokrat jawa merasakan hal itu sebagai hawa menyegarkan karena akses pendidikan yang bisa terbilang sulit pada zaman itu begitu dimudahkannya oleh para pemerintah kolonial, dibukakan pintu selebar-lebarnya khusus untuk para bangsawan dan keturunan-keturunannya. Maksud baik kaum sektarian jawa untuk menciptakan iklim keseimbangan kehidupan di tanah jawa, rasa-rasanya diragukan oleh salah satu pihak yang mengatasnamakan kaum nasionalis yang dihimpun oleh para orang-orang terpelajar, para pelajar-pelajar STOVIA yang kala itu menjadi destinasi pemikiran untuk menentukan nasib sendiri muncul dengan lantang tanpa sungkan.
Antara sektarian jawa atau para nasionalis. Antara yang muda dan yang tua. Bentuk kesenjangan yang terjadi antara 2 buah kelompok yang dipisahkan oleh usia dan perbandingan wajah-wajah keriput mereka. Dengan arah & bentuk pemikiran yang sudah diprediksi selamanya akan bersebrangan. Menegaskan kedua golongan tersebut sampai kapan pun takkan pernah duduk akur dalam sebuah forum pertemuan keluarga. Nyatanya tragedi tersebut terulang kembali dijaman sekarang dan masa yang lebih baru. Zaman dimana bendera di setiap negara seberang kembali digulung dan disimpan untuk dibawa keperaduannya. Sebuah arah pemikiran untuk merdeka dan menentukan nasib sendiri. Adanya Peristiwa Rengas Dengklok menjadikan jelas asumsi-asumsinya, sebuah peristiwa dimana kekuasaan harus diletakkan disebuah wadah yang seharusnya. Ketika demokrasi dan keinginan untuk menentukan nasib sendiri begitu kuat mendesak punggung-punggung gatal dan wajah-wajah lusuh mereka. Golongan Muda dengan ketebalan serat pembulu darahnya yang masih bagus, memutuskan untuk menyegerakan penanggalan kemerdekaan ditentukan, karena lagi-lagi ketakutan yang membuat mereka bertindak. Namun ketakutan kali ini adalah sebuah ketakutan yang realistis, imbas dari sedimentasi idealis. Vacum of power seharusnya tidak disia-siakan dengan menunggu janji para sekutu untuk memerdekakan secara terbuka. Golongan tua yang kali ini berang. Lebih memilih kemerdekaan dengan mengandalkan janji para sekutu, yang secara tidak langsung menyanyiakan momentum vacum of power dan menolak mentah-mentah usulan para golongan muda. Tindakan represif harus dipilih, kemungkinan golongan tua akan kemeredekaan yang dijanjikan sekutu bisa dinilai kedok, dan golongan muda tau itu. Menghalalkan segala cara; Syahrir, Wikana, Darwis cs. Memutuskan untuk mengasingkan para golongan tua. Alhasil kemerdekaan pun sudah ditetapkan penanggalannya. Dan dipercepat persiapannya.
Yang tua dan yang muda. Terkesan kita akan mengabaikan aspek keduanya dalam segi pengambilalihan kekuasaan, ketika berbicara idealis yang dipaksakan tenggelam akibat tekanan keadaan. Boedi Oetomo tak lagi sejalan arah pergerakannya karena kehati-hatian sektarian jawa yang berlebih, secara harfiah memang demikian. Kemerdekaan Indonesia dipaksa untuk dideklarasikan secepatnya atas dasar vacum of power dan kemungkinan-kemungkinan terburuk lainnya. “Yang tua” lebih memilih jalan yang terbuka tanpa ada halangan yang sudah dipastikan ditiadakan. Sedangkan yang muda menginginkan untuk memanfaatkan apa yang sudah menjadi kesalahan atau lebih tepatnya memanfaatkan kelengahan para lawannya, seperti seekor singa yang menunggu kelengahan hewan buruannya melepaskan ceruk kewaspadaannya. Atau, “Yang muda” lebih memiliki sikap taktis daripada yang tua lebih memilih sikap preventif. Suatu bentuk kesenjangan yang kontras. Sikap preventif yang terlampau dalam, malah sebuah ketakutan jadinya. Para aristokrat jawa ditakutkan bakal kehilangan arah perekonomian kerajaan karena bergantung pada mekanisme perdagangan pemerintah kolonial. Soekarno dan Soebarjo tak lebih dari sebuah sikap yang dipilih untuk menghentikan proses represif yang mengakibatkan pertumpahan darah kembali terulang dan memanjang memakan korban. Tindakan-tindakan atas pemilihan sikap tersebut tak lebih dari sebuah kehati-hatian yang berlebih. Mungkin spekulasi atas pertimbangan “Yang tua”, memiliki pengalaman-pengalaman yang lebih bisa dipamerkan untuk situasi-situasi menegangkan tersebut. Lalu muncul pertanyaan “apa salahnya melakukan tindakan preventif!” yang memungkinkan sikap khawatir yang terlampau sering ditunjukan hingga istilah ketakutan layak disarangkan. (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016