Kampus Miniatur Negara (Oleh: Luhur Pambudi)
Apa yang harus ditulis di sini mungkin bermaksud mengingatkan, jika ada hal yang selalu terlupa atau memang sengaja dihilangkan ketika sebuah identitas sebagai mahasiswa disandang oleh seorang pelajar. Sebuah konsekuensi dan tanggung jawab baru sebagai seorang mahasiswa perlunya kita ingatkan berkali-kali ketika pidato penyambutan mahasiswa baru di lapangan. Bahwa mahasiswa tidak hanya dibebankan tanggung jawab pokok dalam hal akademisi saja, melainkan ada beban lain, yaitu turut andil dalam pengembangan masyarakat di tataran sosial, menjadikan hal tersebut salah satu komponen pemberat tanggung jawab mahasiswa, yang sebenarnya telah terlampir dalam Tri Darma Perguruan Tinggi yang menjelma ke dalam bentuk wahana bermain mahasiswa yang bernama miniatur negara.
Tak banyak yang tahu mengenai konsepsi ini, kampus sejatinya miniatur dari sebuah negera. Bahkan tak sedikit mahasiswa yang tergolong lama merasakan pernak-pernik kehidupan di kampus, hingga 4 (empat) tahun lamanya, masih saja bertanya-tanya, apakah benar kampus adalah minatur dari sebuah negara. Realita ini semacam paradoks yang terlampau malu untuk diakui. Entahlah, terlalu rumit untuk menelaah apa yang terjadi secara gamblang dalam bentuk konsep tulisan, diagram atau skema, maupun diskusi-diskusi kritis yang selalu ramai setiap sore hari di parkiran kampus. Kampus merupakan pengejahwantahan kecil dari konsep yang lebih luas dari sebuah negara Indonesia. Jika negara Indonesia menganut asas Demokrasi dan ideologi Pancasila. Maka negara kampus juga serupa.
Ada 2 pembagian unsur dalam sebuah negara, yaitu suprastruktur dan infrastruktur negara. Suprastruktur tersebut meliputi konsep Trias Politica yang diusung Montesqiue terdiri dari Lembaga Eksekutif, Lembaga Legislatif, dan Lembaga Yudikatif. Suprastruktur ini adalah sistem yang mengatur mekanisme berbangsa dan bernegara, dibagi menjadi 3 (tiga) lembaga terpenting, seiring adanya perubahan sosial dan politik pada masa Revolusi Perancis 1789-1799 ketika itu, sehingga konsep baru pemerintahan negara mengharus ada pembagian tugas dalam memimpin negara, untuk itu kepemimpinan satu tangan tidak lagi dilegalkan.
Dari situlah gambaran sederhana replika atau miniatur kenegaraan kampus bermuara. Hampir semua kampus atau perguruan tinggi adalah pengejawantahan dari tatanan besar sebuah negara. khususnya Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, saya kira memiliki track record yang tak bisa dipandang sebelah mata dalam konsepsi miniatur negaranya, itu terindikasi dari pergolakan-pergolakan yang terjadi dan digawangi oleh mahasiswanya yang notabene sedang memainkan peran sebagai pemegang kekuasaan di miniatur negaranya.
Meruntut dari otonomi dan tata letak suprastruktur negara kampus. Jika di tingkat nasional dikepalai oleh seorang presiden, tingkat provinsi atau distrik dipimpin oleh gubernur, dan tingkat kabupaten dipimpin oleh bupati. Maka serupa sudah wahana bermain mahasiswa miniatur negara dalam kampus, meskipun ada beberapa penyesuaian di sana-sini untuk penamaan jabatan di tiap lini pemerintahan negara kampus. Jika di negara sungguhan lembaga tertinggi di tingkat eksekutif lazim disebut presiden, begitu pula presiden kampus yang menempati posisi lembaga eksekutif negara kampus, yang bernama Presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U) atau Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (Presbem). Untuk lembaga legislatifnya, yang biasanya disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), ketika ditransformasikan ke negara kampus bernama Musyawarah Senat Mahasiswa (Musema), yang sistem kerjanya sama dengan aslinya yaitu bikameral, yang berarti lembaga perwakilan. Di tingkat provinsi atau distrik juga sama, jika pemetaan negara kampus mengacu berdasarkan persebaran fakultas yang dimiliki kampus bersangkutan, maka posisi gubernur tingkat provinsi alias fakultas dikepalai oleh Gubernur Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (Dema-F), sebagai lembaga eksekutif. Dilengkapi pula oleh Senat Mahasiswa (SEMA) yang sebelumnya bernama Musyawarah Himpunan Mahasiswa (MHM) sebagai lembaga legislatif di otonomi tingkat fakultas. Untuk tingkat kabupaten ditempati oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) atau Himpunan Mahasiswa Progam Studi (Himaprodi).
Semuanya sama, hanya saja butuh penyesuaian di beberapa bagian mulai dari periode jabatan yang jelas tidak bisa disamakan dengan aslinya, menjabat selama 5 (lima) tahun. Kepengurusan jabatan dan mekanisme kenegaraan juga diatur rapi. Seperti yang tertuang di perundang-undangan Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang selalu disepakati melalui sidang-sidang besar kenegaraan kampus. Semuanya sama, hanya saja butuh penyesuaian di beberapa bagian mulai dari periode jabatan yang jelas tidak bisa disamakan dengan aslinya. Bukan hanya garis struktural kekuasaan pemerintahan saja yang sama. Bahkan untuk mencari siapa sosok pemimpin yang cocok menduduki kursi kepemimpinan, ketika pemilihan umum tingkat presiden Dema atau BEM maupun tingkat gubernur Dema-F, terselenggara mirip bak pemilu negara sungguhan. Mulai dari rapat besar di tingkat lembaga legislatif oleh Musema, dengan nama Kongres Besar Mahasiswa Universitas (KBMU) untuk menentukan agenda Pemilihan Umum Presiden Dema-U atau Presbem oleh Komisi Pemilihan Umum Raya Mahasiswa (Kopurwa) sebagai penamaan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga proses pelantikan, semua lengkap tersedia beserta bumbu-bumbunya; sengketa, konflik dan manuver politik khas gaya partai politik zaman sekarang terselenggara sama persis.
Begitu juga dalam tatanan konsep infrastruktur negara yang ini lekat kaitannya dengan komponen atau elemen-elemen yang hidup dan nampak yang kemudian berbaur dalam kehidupan negara. Seperti partai politik yang diwarnai oleh menjamurnya organisasi ekstra kampus denga berbagai genre ideologinya, pers yang dimanifestaskan oleh Unit Kegiatan Khusus (UKK) Lembaga Pers Mahasiswa, seniman yang bergerak dalam ranah kebudayaan yang terlampir dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), tak terkecuali militer seperti Resimen Mahasiswa (Menwa). Semua komponen tersebut tak ayal menjelma bak bumbu penyedap rasa kehidupan berbangsa dan bernegara di negara kampus.
Tapi itu semua seperti dongeng atau saduran penghantar tidur di penghujung malam, tak banyak diketahui atau dipahami oleh kebanyakan mahasiswa, yang berperan sebagai rakyatnya. Ini yang saya maksud sering terlupa atau memang sengaja dihilangkan. Bahwa mahasiswa tidak diproyeksikan sedangkal itu untuk menuntut gelar sarjana saja, tapi sebuah kontribusi pemikiran yang sifatnya afektif dengan menjalankan sebaik-baiknya tugas nahkoda yang mengemudikan kapal bernama negara kampus, meskipun sebatas miniatur negara. (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016