Mereka yang Terbiasa Menyebut Hoax (Oleh: Luhur Pambudi)
Sebenarnya tak begitu sulit, bahkan sangat mudah, untuk sekedar menyebut hoax sebuah informasi. Entah informasi itu bersumber dari mana datanya? Diperoleh dari siapa faktanya? Atau didapat dari apa realitanya? Secara garis besar perilaku mengumpat sebuah informasi dengan istilah hoax, tanpa berfikirpun seseorang bisa melakukannya.
Hoax, apa sebenarnya istilah itu. Jika sebatas diartikan sebagai informasi palsu atau sebagai suatu kualitas berita yang buruk, siapa yang tak mengetahuinya. Justru akan menjadi berbeda antara berita sebagai informasi palsu, yakni hoax, yang akan menjadi perbincangan kita. Dan berita dianggap sebagai informasi dengan kualitas buruk. Lebih kepada tidak sempurnanya teknis kerja jurnalis atau wartawan dalam mematuhi kaidah-kadiah ilmu jurnalistik. Karena ini bersifat teknis, perbincangan untuk membahas ini tidak akan menjadi panjang.
Sebuah pemberitaan akan menjadi sah kita sebut sebagai hoax, jika segala informasi yang tertulis didalam isi berita itu, membuat kita ragu untuk menjadikan informasi itu bagian dari struktur berfikir dan ilmu pengetahuan kita sehari-hari, karena dilihat dari narasumbernya yang tak sesuai atau unboth side covered, atau bisa dilihat dari data pendukung seperti foto dan pernyataan narasumber yang tak mewakili isi berita, atau informasi yang digali ternyata tak penting-penting amat bagi kepentingan publik, atau si wartawan yang tidak jelas bermaksud memberitakan angle yang mana. Kesemuanya itu menjadi indikator yang terukur dan siapapun bisa menggunakannya, untuk membantu membedakan mana berita hoax dan mana yang sebenar-benarnya berita layak konsumsi.
Bagi orang awam, sebenarnya akan menjadi sangat sulit untuk diterapkan. Cara-cara demikian merupakan cara praktis menguji berita hoax, yang bersumber dari teknis kerja jurnalis dalam memberitakan suatu realitas. Karena tidak semua orang punya minat untuk mempelajari teknik menulis berita, apalagi untuk nantinya menjadi bekal keterampilan berprofesi sebagai wartawan. Tapi mau bagaimana lagi, hanya dengan cara demikian kita akan memahami secara fundamental perbedaan mana berita hoax dan mana yang bukan, dengan cara merunut dari awal secara metodologi si wartawan menangkap realitas untuk diberitakan di sebuah media, entah online atau cetak.
Tapi, jika kita perlahan-lahan memahami berita hoax dengan terminologi sederhana diatas, ada suatu kenampakkan lain secara psikologis yang sebenarnya mengindikasikan suatu problem psikis yang akut, lebih dari sekedar problem kualitas berita yang buruk semata. Kacamata jurnalisme mungkin akan menilai ini sebatas problem teknis jurnalistik yang tak sesuai kaidahnya dalam memberitakan suatu realitas, hingga menjadikan pembaca memutuskan untuk menghindar atau menolak membaca informasi yang sedang diberitakan. Karena dianggap palsu, menipu dan berniat buruk tertentu. Jurnalisme menganggap, biasanya berita disebut hoax lantaran kecacatan metodologi penggalian data, hidden agenda ideologi media yang sengaja membentuk opini tertentu pada publik, hingga akhirnya semua itu mempengaruhi terciptanya kualitas pemberitaan yang tak layak untuk diinformasikan kepada publik. Tapi kacamata psikologis secara paradigmatik, berbeda dengan cara pandang jurnalisme, yakni lebih khusus melihat pada perilaku pembaca yang mudah menyebut hoax suatu informasi.
Psikologi memandang seseorang yang mudah menyebut hoax suatu informasi atau berita yang dibacanya, dengan penjelasan, bahwa hal itu merupakan suatu bentuk cerminan mental dari manusia atas ketidakmampuan dirinya dalam menerima kenyataan yang benar-benar terjadi di dalam kehidupannya (realize). Dalam beberapa variasi perilaku yang muncul akibat ketidakmampuan menerima kenyataan ini, dapat kita sebut sebagai mekanisme pertahanan diri (defend menchanism), suatu proses psiko-fisik individu untuk menghindar dan menghilangkan segala sesuatu yang dianggap mengancam secara individual maupun lingkungan otoritas sosial tempat individu berada.
Kondisi yang kita sebut “mengancam”, secara awam sering kita pahami ketika suatu objek diluar diri kita (entah apapun coraknya) berpotensi mempengaruhi penilaian positif menjadi penilaian negatif status inner self diri kita; entah itu kepribadian, otoritas, atau status sosial kelas. Tapi mengancam yang kita maksudkan disini akan bercorak sangat halus, bahkan kita akan menjadi bingung karena kita tanpa sadar sering melakukannya, yakni suatu bentuk kesadaran untuk tidak menginginkan hal-hal tertentu menjadi nyata. Mengancam yang kita maksudkan dalam perbincangan ini adalah itu.
Bagaimana kita bisa memahami konsep “mengancam” seperti ini? Apakah mengancam yang dimaksud benar-benar sesuatu dari luar yang menyerang diri kita? Jika yang disebut mengancam adalah hal ini, sebenarnya lumrah, setiap orang memilki harga diri (self esteem) yang senantiasa untuk dirawat, dijaga, jangan sampai mengalami serangan-serangan psikologis diluar dirinya.
Atau bagaimana jika “mengancam” yang dimaksud adalah, pikiran kita yang mengartikan suatu hal yang sebenarnya tidak benar-benar mengancam, tapi kita keliru menganggap sebagai suatu hal yang mengancam? Jika mengancam yang dimaksud adalah ini, tentu ada sesuatu yang salah dan patut dipertanyakan. Kekeliruan dalam menempatkan cara berfikir, lazim kita sebut sebagai falacy. Justru ini akan menjadi menarik, mengapa? Pertama, kekeliruan itu muncul lantaran, dia (individu) merasa terancam karena miliki maksud tertentu, motif buruk, misi, atau agenda rahasia lainnya yang tak mampu diwujudkan menjadi nyata. Atau, kedua, kekeliruan itu muncul lantaran karena ia tidak memiliki software atau perangkat berfikir yang mumpuni dalam memahami realitas hingga akhirnya keliru memahaminya. Sepertinya kemungkinan yang kedua lumrah terjadi dan tak perlu kita pikirkan dalam-dalam. Tapi yang menarik bagi kita justru kemungkinan yang pertama, bahwa kekeliruan yang muncul lantaran memiliki maksud atau motif tertentu. Pastinya kita penasaran, motif apa yang sebenarnya ada, hingga sampai memberi label realitas itu dengan istilah “mengancam”, tentu bukan hanya sekedar dirinya yang merasa terancam, tapi motif yang bersamaan dengan dirinya juga takut dipergoki banyak orang. Apakah ini yang sebenarnya dimaksud “mengancam”.
Kita hendaknya berangkat dari suatu paradigma dasar bahwa konsepsi eros dan thanatos dalam psikoanalisis yang dimetafisikkan oleh seorang dokter dari Austria yang diklaim cacat metodologi dalam merumuskan teori-teori psikologinya, Sigmund Freud nama. Bahwa akhirnya manusia akan lebih pasti memilih dan berupaya menggapai kesenangan, kebaikan, hal-hal yang mengenakkan untuk senantiasa terus terjadi dalam hidupnya, agar dimaksudkan terhindar dari hal ihwal yang dirasa menyakitkan, menyulitkan, ataupun merepotkan yang berpotensi mengancam dirinya. Tak ada yang aneh, justru itu hal biasa, manusia akan selalu berperilaku demikian kata Cak Nun disalahsatu perkuliahan Maiyahnya, karena hakikat dari manusia adalah untuk hidup selama-lamanya. Manusia akan menghindari atau bahkan berupaya menghilangkan kemungkinan nasib yang bersifat buruk, menyulitkan, menyusahkan, menyakitkan untuk tidak menjadi ancaman terhadap dirinya. Hanya dengan begitu, proyek besar untuk hidup 1000 tahun lamanya, oleh Chairil Anwar, menjadi keinginan hewaniah manusia di dunia.
Terminologi lain yang lebih praksis untuk menjelaskan istilah kata “mengancam” sebagai suatu bentuk kesatuan makna tentang hakikat dari manusia, adalah idealitas yang tak terwujud. Apa yang dimaksud dengan “idealitas yang tak berwujud”. Adalah tidak berhasilnya suatu konsep besar yang sifatnya metafisik dan diperoleh dari proses berfikir manusia, dalam memahami realitas yang sedang dialaminya, dikarenakan realitasnya begitu rumit, komplek atau unpredicted, mempengaruhi terwujudtidaknya konsep ideal itu. Konsep besar pemikiran ini memiliki kualitas ideal (kualitas: tinggi, besar, detail, sempurna, nyaris sempurna), yakni kualitas yang bermaksud menyingkirkan batasan-batasan yang (menghambat) terdapat didalam realitas.
Manusia akan cenderung berupaya membuat konsep ideal. Karena hanya dengan melakukan itu manusia, bisa diklaim sedang berfikir mensiasati realitas hidupnya. Psikologi memaksa kita memisahkan 3 komponen humanitas dalam diri manusia; kognisi, afeksi dan perilaku. Maka dari sini akan kita telusuri bagaimana konsep ideal itu mempengaruhi keseluruhan humanitas dalam diri manusia.
Konsep ideal, jika dengan sengaja kita seret kedalam tipologi struktur fisiologi manusia, akan kita dapati suatu pemahaman baru bahwa adanya suatu struktur kognisi, afeksi dan dinamika perilaku yang berperan dalam upaya pemaknaan realitas hidupnya. Kognisi ideal yang menjadi realitas hidup manusia adalah harapan, keinginan, dan doa. Aktivitas mental itu tercipta akibat abstraksi secara neurologis di otak. Afeksi ideal yang menjadi realitas hidup manusia adalah sensasi rasa nyaman, mengasyikkan, menenangkan. Suatu bentuk sensasi yang telah dipilih dari proses klasifikasi pemaknaan berdasarkan pengalaman dan rasionalitas gagasan. Dinamika perilaku ideal yang menjadi realitas hidup manusia adalah proses terakhir dari keinginan untuk mendapatkan sensasi rasa nyaman.
Kognisi menjadi grand narative yang menciptakan sistem besar dan mempengaruhi tindak-tanduk dari manusia. Manusia akan berfikir bagaimana baiknya dia hidup didunia, lantas apa yang harus dipersiapkannya, kognisi di otak bekerja keras dalam merumuskannya. Sistem besar pemikiran manusia ini sebenarnya dalam rangka untuk mencapai pemenuhan atas dorongan, gejolak, atau fitrah dari dalam diri manusia, yang sudah terlebih dahulu ada tanpa keterlibatan rasio. Atas dasar adanya dorongan dan fitrah itu, yang menuntut untuk segera direalisasikan secara nyata, dengan bantuan pertimbangan rasio proses kognisi di otak. Maka perilaku yang terbentuk dari manusia sebenarnya dalam rangka untuk mewujudkan rasa nyaman yang diinginkan.
Artinya, seseorang yang cenderung menghindari pengalaman yang bersifat buruk dan tak mengenakkan dihidupnya, akan dengan sadar menciptakan gambaran mental secara besar, sempurna, dan ideal tentang bagaimana baiknya hidup sesuai dengan keinginan murni yang dikehendakinya. Lalu ia simpan itu dibenaknya, hingga terinternalisasi kedalam unconsiousness struktur berpikirnya. Ketika kita coba sadur dengan konteks perbincangan ini mengenai berita hoax. Pada suatu momentum khusus, ketika muncul suatu bentuk pemberitaan yang berisi informasi tertentu, mendadak orang tersebut merepon dengan perilaku yang sering kali mengklaim dengan menyebut sebagai “berita hoax”, terlepas dari apakah berita itu benar-benar hoax secara jurnalistik atau bukan. Sebenarnya hal itu menunjukkan jika orang tersebut tidak mampu menerima kenyataan sesungguhnya yang disajikan oleh media berita yang bersumber dari realitas nyata. Jika kita singkap problem mental dalam dirinya yang paling mendasar, sebenarnya seseorang tersebut, menyadari bahwa berita itu mewakili “idealitas yang tak terwujud” didalam dirinya. Dalam bahasa lain, seseorang tersebut sebenarnya sangat tidak menginginkan realitas itu benar-benar menjadi nyata, apalagi dengan pembuktian adanya pemberitaan di media. Seseorang itu menganggap bahwa pemberitaan yang terekpose di media sebagai sesuatu hal yang mengancam. Karena perasaan terancam itulah defend mechanism memilih untuk mencari kompensasi dengan istilah kata hoax. Akhirnya disini kita ulas kembali pemahaman tentang kata “mengancam”. Mengancam atas dasar apa? Sudah kita terangkan diparagraf sebelumnya, bahwa mustahil jika mengancam pada konsep yang kedua, tapi mengancam pada kosep yang pertama. Yakni mengancam lantaran seseorang tersebut memilki motif, niat, kepentingan khusus terhadap realitas yang sedang diberitakan oleh media bersangkutan.
Akhirnya kita menjumpai kesimpulan sederhana, jika ada seseorang mengumpat suatu berita dengan sebutan hoax, telaah logisnya adalah karena seseorang tersebut dipastikan sedang merasa terancam, dan itu suatu kepastian, kendati bukan mutlak. Tapi mengancam yang dimaksud disini, muncul dikotomi baru yang membantu kita memahami perilaku suka menyebut berita sebagai hoax, yakni pertama bisa diartikan sebagai mengancam karena tidak mampu menerima kenyataan. Karena konsep idealitas yang dibuat manusia, mendadak berbanding terbalik dengan realitas yang nyata adanya. Kedua, karena mengancam lantaran adanya suatu bentuk misi, tujuan atau kepentingan yang mendadak akan menjadi gagal dilaksanakan karena muncul pemberitaan di media, hingga lantas seseorang itu menyebutnya hoax.
Jika hoax sebagai akhir dari berhentinya surplus kebenaran dari media dalam sebuah negara. Sepertinya sudah saatnya kita berhenti pula untuk mengupgradenalar akal sehat berwarganegara kita. Mengapa nalar berwarga negara? Buka nalar konstitusi?
Apa pentingnya jika nalar konstitusi hari-hari ini dipenuhi silang sengkarut usus besar korporasi. Kaum populis yang dompetnya tebal, pada akhirnya tak cuma membeli perusahan barang atau jasa untuk memperluas komoditasnya, tapi media sudah menjadi salah satu daftar perusahan yang wajib dibeli karena fungsinya yang strategis dan ampuh memperdaya nalar akal sehat publik atau warga negara menjadi nalar akal miring yang dikompensasikan kedalam bentuk statistik pemilu dan dana-dana bantuan.
Bukan berarti ini pesimisme yang penulis sedang edarkan, justru optimisme paling radikal dari penulis bersumber dari pesimisme yang mengakar dan muram dari kenampakkan realitas masyarakat hari-hari ini. Tentu kita lelah hanya berhenti pada pangkal yang tenyata bukan benar-benar pangkal dari penyelesaian masalah. Bahwa problem hoax bukan sekedar problem jurnalistik yang bodoh. Tapi inti dasar paradigma yang melatarbelakanginya yang menjadi penting untuk kita seksama kuliti; siapa orangnya? Apa maksudnya? Dan, bagaimana ia melakukannya? (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016