Tudung Kapur (Oleh: Luhur Pambudi)
Saya melihat ada kesamaan dalam khotbah Dhuhur di masjid kampus siang itu. Tidak banyak hal yang saya dapati sebagai sesuatu yang mirip, hanya saja ada pada kemiripan wajah dari seorang yang berkhotbah ketika itu, dan isi khotbah yang disampaikan.
Prof. Ali Aziz, saya tidak terlalu mengenal beliau sebagai sosok yang tenar, seorang penulis buku khazanah Islam yang produktif, atau sebagai mubaligh yang tersohor dengan gaya dakwahnya yang gamblang, atau sebagai mantan dekan sekalipun. Saya lebih mengenal beliau, dan begitu merasa dekat, sebagai seorang guru atau lebih tepatnya dosen Ilmu Komunikasi di Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya, atau salah satu orang pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Wonocolo yang tak pernah sekalipun saya tegur ketika berpapasan langsung di pelataran parkir depan fakultas. Ataukah memang beliau yang terlalu cepat jalannya.
Dalam khotbah yang tak lebih lama dari menunggu nyala lampu hijau di persimpangan sebelah selatan pusat perbelanjaan Giant Jalan Margorejo. Beliau sepertinya tengah memperjelas kerumitan-kerumitan hidup manusia, yang sebenarnya begitu dekat dengan kita, atau para tetangga kita, melalui sekelumit pengalaman beliau ketika memeriksakan kesehatan giginya di salah satu rumah sakit militer di Surabaya. Yang menjadi pokok penting pembahasan dalam khotbah siang itu, dan mungkin sebagai pekerjaan rumah kita sebagai individu-individu, ketika hidup seorang manusia di muka bumi tidak lebih sebatas pertaruhan keberanian semata. Keberanian untuk jujur mengakui segala sesuatu yang ada dan menjadi milik kita, sekaligus keberanian atas hal yang sebaliknya, yaitu keberanian untuk jujur mengakui segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada, dan memang benar-benar bukan milik kita.
Ini menarik, bagi saya pribadi. Terkadang kita terlalu sibuk meladeni apa yang bukan menjadi keinginan atau kebutuhan diri sendiri. Mengikuti selera teman sejawat, mengiyakan perintah dari atasan, atau merelakan diri untuk terlentang pada peraturan, lalu terhimpit disela-sela dinding norma-norma dan nilai-nilai kelompok. Disaat itulah kiranya kita benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kita hadapi, dan payahnya lagi kita harus bergumul dengan hal-hal semacam itu mulai dari bangun pagi hingga tertidur di dini hari. Pada saat itu pula, sebenarnya kita benar-benar tidak tau dan sungguh-sungguh tak memahami dengan apa yang menjadi kemauan mendasar dari dalam diri sendiri. Dikarenakan ketidaktauan tersebut, pada akhirnya kita merelakan diri kita untuk mengiyakan, lantas meladeni setiap tuntutan realitas yang bersebaran di mana-mana dan muncul dari siapa saja, dari subjek-subjek atau individu-individu di dekat kita tanpa sekalipun pernah atau berani mempertanyakan kembali apa yang ada itu, bagaimana yang ada itu bisa muncul dan kemudian ada. Benar saja jika Bambang Sugiharto mengakui betul bagaimana pentingnya untuk tau dan memahami filsafat sebagai ilmu pengetahuan, atau sebagai sebongkah alat bantu berfikir, karena di sanalah muara segala sesuatu dari apa yang tengah ada di hadapan kita atau yang beberapa detik yang lalu ada di hadapan kita persis dan kita setiap saat terlewati, akan diinterpretasi sebagaimana mestinya. Karena kita sebenarnya, rentan dan tengah, hidup dalam anggapan-anggapan orang lain.
Pada saatnya kita harus mengakui bahwa memang benar jika kita sebenarnya tengah hidup diantara anggapan-anggapan orang atau individu di luar kita. Menjadikan keberanian yang dimaksudkan untuk mampu berkata jujur atas apa yang ada dan tidak ada, menjadi sebuah tantangan tersendiri. Karena memang tidak banyak dari kita yang mampu menyanggupi. Lagipula beresiko besar pula. Maka memang benar berkata jujur dan polos untuk sekedar mengakui mana yang berwarna hitam dan putih atau sekedar mengakui dengan mengatakan sanggup dan tidak sanggup seperti dalam khotbah siang itu, menjadi kerumitan tersendiri yang menggelikan jika kita berani sejenak saja melepaskan jaket ideologi kelompok, urusan kantor, laporan keuangan yang menumpuk, lobi politik buntu, revisi tugas kuliah, untuk melihat apa yang tengah kita kerjakan saat ini.
Padahal begitu sederhana, namun mengapa ini begitu pelik. Ketidaktauan mengenai apa yang sedang kita lakukan, membuat kita pada saat yang sama, diakui atau tidak, begitu berat untuk mengkritisi ulang atau sekedar menanyakan kembali pada diri sendiri mengapa kita, saya, anda, kamu melakukan hal-hal semacam ini. Bukan bermaksud menunggu jawaban yang akan muncul setelah kita melontarkan pertanyaan itu, karena memang jawaban itu sudah ada tersedia. Hanya saja keengganan kita untuk mengakui keberadaan jawaban itu sendiri yang membuat kita begitu berat mengakui. Entahlah apa yang membuat kita enggan untuk sekedar mengakui dengan jujur dan polos, atau karena kita tau bahwa proses menanyakan kembali mengenai hal ikhwal yang kita lakukan ternyata menghasilkan sebuah jawaban yang mencengangkan, bahwa kita akhirnya tau dan sadar mengenai apa yang kita lakukan selama ini adalah berangkat dari ketidaktauan itu sendiri. Atau bisa kita simpulkan kita selama ini tidak mengetahui apa yang seharusnya kita harus ketahui. Pada titik inilah mungkin misteri dari kerumitan manusia itu terbukti benar adanya.
Adanya dimensi lain yang tidak bisa secara lugas dijabarkan mengenai nilai, rasa, atau sense. Hal inilah yang mungkin membuat seorang dosen yang menjalani sidang doktoralnya marah-marah karena tidak bisa menjawab pertanyaan para penguji dalam cerita Prof. Ali Aziz yang terselip di materi khotbahnya. Apa masalahnya, dosen tersebut harus marah karena tidak mampu menjawab pertanyaan dari para penguji. Kalau memang dosen tersebut marah karena tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya bukankah itu akan selesai dengan mudah hanya dengan mengakui bahwa, “saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu.” Atau mungkin ada aspek lain yang memang tidak bisa dijelaskan secara gamblang seperti ketidaktauan mengenai ketidaktahuan dia sendiri. Ataukah mungkin ada sesuatu hal (jabatan, nama baik, kroni) yang begitu memberatkan hati untuk mampu berbicara terus terang melalui perkataan.
Pendiri Komisariat Sunan Ampel PMII zaman Orde Baru itu tak habis pikir bagaimana seorang dosen bisa sebegitu marahnya karena tidak bisa menjawab pertanyaan kritik yang dilontarkan penguji. Disaat yang sama kita akhirnya begitu terheran-heran pula, bagaimana seorang manusia begitu sulit untuk berani melepaskan topeng besi yang sengaja dibuat untuk menghiasi wajahnya.
Jangan-jangan topeng besi itulah sesuatu yang selama ini membuat kita merasa begitu terganggu. Topeng besi yang dimaksud adalah nama baik, patriarki dari bapak atau ibu, jabatan, status sosial. Dan itulah yang akhirnya pantas untuk menamai itu sebagai topeng besi yang akhirnya jika melekat di wajah maka akan begitu berat untuk melepaskan atau sekedar meletakkan sejenak atau menghilangkannya.
Prof. Ali Aziz sebenarnya bukan bermaksud mengklasifikasikan mana hal yang dimaksudkan sebagai sikap yang takut untuk mengakui hitam dan putih. Namun lebih dari itu, ia bermaksud untuk mendefinisikan kembali apa yang sebenarnya tak patut kita anggap sebagai kepunyaan pribadi, kelompok atau golongan se-ideologi. Setelah itu terserah mau diklasifikasikan seperti apa.
Padahal diseberang daripada itu sebenarnya kita dalam wilayah pribadi tidak memiliki otoritas untuk mendefinisikan diri sebagai seorang manusia yang “memiliki” jabatan, pengaruh atau status sosial sekalipun. Apalagi hingga kita akhirnya merasa berat akan hal itu. Identifikasi haruslah muncul dari luar diri kita. Identifikasi dirumuskan bukan oleh kita, melainkan orang di luar diri kita. Jika tidak demikian, maka bisa dipastikan kesalahan berfikir telah merecoki logika akal sehat kita. Coba kita sadurkan beberapa identitas jika seumpama disematkan oleh diri sendiri dalam situasi tertentu, maka seorang pengajar akan tampak tabu ketika memarahi muridnya yang tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) dengan kalimat, “saya ini guru kamu! Pantas saja jika kamu saya marahi.”. Pada bagian yang tabu adalah pada kata “guru” mengapa harus muncul pada mulut pengajar tersebut. Perwujudan nilai dan identitas akan nampak aneh jika kita sendiri yang mengkondisikannya. Padahal jika seorang pengajar tersebut memang telah melakukan proses belajar mengajar dengan sebenar-benarnya proses belajar pada muridnya, maka tak akan sulit untuk mencapai sebuah identitas “guru”, lagipula muridnya berhak menyematkan identitas seperti, “dia adalah guru saya, karena dia yang membantu saya untuk menulis dengan baik.”. Kenapa demikian, bukankah, bisa saja kita gunakan susunan kalimat yang sama, “dia adalah pengajar saya, karena dia yang membantu saya untuk menulis dengan baik.”. Maka dari beberapa kalimat contoh tersebut kita seksama dapati bahwa identifikasi bukan berarti tidak sarat akan nilai. Identitas sebagai “guru” pada contoh tersebut, begitu sarat akan nilai bahwa ia adalah seorang manusia yang mengajari manusia-manusia yang lain, ia adalah seorang manusia yang membantu seorang manusia yang lain untuk belajar, ia adalah seorang manusia yang membantu seorang manusia lainnya untuk bisa menghafal, menulis, menggambar atau mengartikan sesuatu hal. Nilai akhirnya menentukan segalanya, menentukan kelayakan proses kebermulaan hingga akhiran. Dan nilai akhirnya menjadi pembebas dari upaya identifikasi yang rentan akan fitnah, ketidakpantasan, cemooh, dan ketidakpercayaan.
Namun jika kita berani mengulas ulang, sebenarnya kita tidak butuh akan status sosial, jabatan, atau gelar-gelar tersebut, atau hadiah akumulasi nilai yang diberi dari orang lain. Atau identitas yang disematkan dari orang lain yang mengagumi kita, yang hormat pada kita, atau yang menghargai upaya kita. Karena hal terpenting, yang mungkin menjadi sebuah hadiah yang layak, disatu sisi bebas akan nilai, tapi disisi yang lain begitu sarat akan nilai adalah keikhlasan hati untuk memulai proses dan keridhoan semesta atas segala bentuk pencapaian saat mengakhirinya. Cukup sederhana, kita hanya cukup membayangkan, apakah para pahlawan dan pejuang kemerdekaan yang gugur di medan perang, mempermasalahkan gelar kepahlawanannya paska ia gugur, atau sebelum ia gugur atau sebelum ia mulai berangkat perang. Apakah para pejuang-pejuang itu sampai pada kalkulasi jika ia nanti berangkat perang melawan penjajah, dan kemudian mati tertembak, apakah ada yang akan mengingatnya dan mengenangnya sebagai seorang yang berjasa besar. Kemungkinan kecil. Bahkan tidak.
Saya pikir memang demikian, apa pentingnya kita mencari identifikasi itu atau merekayasa hal itu, kalau toh akhirnya akan begitu tragis seperti yang dialami Abraham Lincoln saat menikmati pertunjukkan teater ditengah kota pada tanggal 14 April 1965. Timah panas yang diletupkan revolver milik John Wilkes Booth, yang bersarang di bagian belakang tengkorak Abe. Dalam keadaan sekarat, perdebatan muncul dari kalangan perdana menteri yang ketika itu tengah gopoh saat mengangkat tubuh Abe. Harus dibaringkan kemana dulu tubuh pimpinannya itu, untuk mendapatkan pertolongan pertama. Ada seroang yang tak begitu nampak jelas wajahnya dari belakang kerumunan para perwira dan jenderal angkatan perang Amerika yang berwajah harap-harap cemas dengan cucuran keringat yang deras dari ubun-ubunnya, menyarankan untuk menbaringkan sejenak tubuh Abe di The Saloon. Namun tak lama sebuah nada menolak yang kecut terlontar dari salah satu perdana menteri lainnya. “Apakah kau mau presiden kita diingat dalam sejarah pernah berada dalam rumah itu.”. Usut punya usut The Saloon adalah sebuah tempat pelacuran yang ada di kota itu yang letakkan hanya beberapa rumah saja di depan gedung pementasan teater tempat Abe terkapar.
Dari hal itu kita akhirnya tau bahwa ukuran nilai ternyata tak tau diri, muncul diberbagai situasi, tempat dan kondisi. Disaat yang genting sekalipun, nama baik dari seorang presiden atau kepala negara menjadi prioritas nomor wahid hingga menghalahkan perkara nyawa sekalipun. Tapi itu tak menjadi masalah karena saya pikir Abraham Lincolnpun jika saja masih bisa hidup dan menceritakan pengalamannya sekarat ketika itu, mungkin tak akan mempermasalahkan hal sepele itu, soal pantas tidaknya tubuh jakungnya harus dibaringkan di rumah pelacuran atau kandang sapi sekalipun. Karena Abe tau yang merepotkan hal ikhwal soal nama baiknya bukan dirinya secara pribadi, tapi orang-orang lain disekitarnya yang merasa kehilangan sosok yang pantas diperjuangkan. Entahlah karena penghargaan atas apa? Atas pemikirannya, atas ketegasannya atau karena rasa cinta yang tak pernah sekalipun ia rumuskan lewat perkataaan di setiap pidatonya.
Delapan belas menit saya mengernyitkan dahi sembari menahan haus untuk sekedar mendengar khotbah ringan di Bulan Ramadhan itu, setelah ini pilihan yang tepat harus saya ambil adalah segera kembali ke bangku kuliah dan menyelesaikan laporan penelitian yang mangkrak tak terurus karena haus. Sesuatu hal yang mirip yang saya tangkap, adalah saya seperti melihat langsung sosok tegap dengan raut wajah sayu dan tua dari Abraham Lincoln yang mungkin tak salah jika saya sekedar mencocokkannya dengan wajah Prof. Ali Aziz. (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016