Mahasiswa, Wasit Negara (Oleh: Luhur Pambudi)
Lebih tepatnya, mahasiswa itu diibaratkan seperti seorang wasit yang mengatur jalannya pertandingan, di mana negara adalah lapangannya, sedangkan birokrasi adalah model pertandingannya. Entah itu pertandingan sepak bola, atau apa, yang jelas wasit selalu ada di setiap pertandingan, guna mengatur jalannya pertandingan. Begitu juga mahasiswa, mengapa bisa diibaratkan sebagai wasit, yang mengatur jalannya mekanisme kenegaraan di negeri ini. Ini jelas sama, keputusan mutlak berada pada kita mahasiswa selaku wasit negara, memutuskan untuk menjatuhi hukuman macam apa yang cocok untuk tindak-tanduk menyimpang atau merugikan pihak lain yang menjadi bagian dari sistem kenegaraan.
Tanyakan kembali mengenai pleidoi ini ketika kembali ke kampus, mereka-mereka yang sok dengan attitude seniornya, dan mereka yang sok dengan attitude organisasi berideologinya, tanyakan kembali tugas mereka itu seperti apa, ketika dihadapkan dengan tatanan baru kehidupan yang lebih mencengangkan. Kita pahami betul tugas seorang wasit sebagai penentu keputusan, terselip kartu merah dan kuning di saku celananya. Kapan ditunjukan dan untuk siapa ditujukan, tergantung bentuk pelanggaran dan siapa pelakunya. Mahasiswa seharusnya paham mekanisme tersebut, tinggal ditransfomasikan melalui trias politica ke dalam koridor kehidupan bernegara di kampus, selesai sudah. Bahwa kita ini adalah wasit, yang menjadi penentu keputusan sekaligus pengawas. Apakah ada pelanggaran atau tidak, apakah ada penyalahgunaan atau tidak. Ketika nyatanya memang pelanggaran dan penyalahgunaan terjadi seketika pertandingan ini alias birokrasi negara ini berlangsung. Maka keputusan kita sebagai mahasiswa untuk mengalamatkan kartu merah atau kuning, di situ letaknya. Entah itu melakukan aksi turun ke jalan menyusuri trotoar sembari berkoar membawa pesan-pesan kebenaran.
Nyatanya, kita hanya bisa mengembalikan mentah-mentah pada hukum kausalitas yang bergema lantang di udara, dengan mempertanyakan apakah tubuh mahasiswa kita saat ini memahami arti almamater yang dikenakannya, apakah tubuh mahasiswa kini tahu apa yang harus dimiliki oleh seorang wasit, yang tak hanya bermodal peluit atau megaphone digenggamannya. Ada yang lebih penting tentang yang seharunya dimiliki, tapi lagi-lagi ini yang nyatanya tidak dimiliki oleh mahasiswa sebagai wasit negara.
Adalah konstruk pemikiran yang dewasa, dan tahu arah mana kehidupan yang berbalut anekdot berkepentingan ini berlangsung, terlepas dari psikologis perkembangannya. Kami, berbicara lantang kepada anda yang berideologi arogan, yang kerap kali berbicara lantang tanpa muatan, menyalahkan mereka yang bergerak tanpa tendensi golongan, lantas apa yang kan kalian dapatkan ketika nantinya berebut semacam nama baik dan kekuasaan. Negara ini bukan mirip kandang, kaitannya dengan wadah dan isinya, kambing dan pagar bambunya. Negara ini adalah tempat atau wadah dari segala bentuk macam lingsang kerakyatan, semua kembali kepada rakyat, dengan tujuan yang sama dengan keutamaan moral dan intelektual, menjadikan list atau daftar sebagaimana idealnya negara demokrasi ini berlanjut. Apakah kalian mahasiswa organisasi berideologi pernah memikirkannya? (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016