Ihwal tuduhan Sesat Berpikir yang Berakhir Sesat Berpikir Pula
Terjadi tindakan represi oleh beberapa oknum HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unidra kepada Jurnalis LPM Progress karena tulisan yang dibuat ARM (Jurnalis LPM Progress), Jumat (21/3).
Dalam kronologi yang temaktub di laman persma.org menjelaskan bahwa pihak LPM Progress sudah menawarkan Hak Jawab dengan memberikan ruang kepada HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra untuk dapat membantah tulisannya dengan tulisan yang bisa diterbitkan di website LPM Progress. Namun tawaran ini tidak diindahkan, salah seorang Oknum Kader HMI Komisariat Persiapan FTMIPA malah melayangkan pukulan dari belakang pada ARM yang kemudian disusul pengeroyokan oleh rekan oknum tersebut kepada ARM dkk.
Jika menggunakan pernyataan “mata dibalas mata”, maka seharusnya argumen narasi pun dibalas dengan argumen narasi. Profesionalitas mestinya dijunjung tinggi. Kejadian yang seperti ini sangat kekanak-kanakan dan tidak intelek serta bisa berdampak meresahkan masyarakat.
Oknum Kader HMI Komisariat Persiapan FTMIPA melakukan represi berupa pemukulan, pengeroyokan, dan ancaman pembunuhan. Perbuatan ini mencederai kebebasan beropini yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 E Ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Bukan bebas untuk memukuli, mengeroyok, dan mengancam orang yang berpendapat.
Hak kebebasan berpendapat, berupa narasi ataupun deklarasi sudah diatur sedemikian rupa dan dilindungi oleh konstitusi negara. Hal itu bertujuan untuk menciptakan kehidupan demokratis dalam kenegaraan. Namun apa yang telah dilakukan oleh Oknum Kader telah melanggar peraturan negara, yang bahkan bisa saya sebut mencederai kehidupan demokrasi negara ini.
Sedikit menanggapi narasi kreatif yang dimuat dengan judul “Buntut Tulisan Omnibus Law, HMI Unindra PGRI dan LPM Progress Sebaiknya Berdamai”. Narasi tersebut menyatakan bahwa isi pikiran ARM mengalami kesesatan berpikir, yaitu fallacy of dramatic instance, yaitu kecenderungan menggunakan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau khusus, dan menyatakan “Pikiran ARM ini jelas keliru dan harus diluruskan”.
Menurut saya, pernyataan itu malah mengalami the fallacy fallacy (kesesatan perihal kesesatan). Dengan kata lain, sesatlah penyimpulan dari fakta bahwa bila suatu argumen mengadung kesesatan, maka simpulannya tidak benar. Argumen yang diajukan ARM tersebut logis dan bisa jadi menunjukan bahwa apa yang dicurigakan ARM benar. Jadi, belum tentu apa yang dinyatakan bahwa pikiran ARM itu jelas keliru dan harus diluruskan. Bisa jadi fakta menunjukkan bahwa simpulan argumen ARM adalah benar, mengingat sekarang adalah masa propaganda pengesahan Omnibus Law.
Selain itu, penulis dari artikel berjudul “Buntut Tulisan Omnibus Law, HMI Unindra PGRI dan LPM Progress Sebaiknya Berdamai” sepertinya juga salah memaknai pernyataan ARM. Dalam narasi ARM yang berjudul “Sesat Berpikir Kanda HMI dalam Menyikapi Omnibus Law” menyatakan keraguannya atas kredibilitas portal berita inisiatifnews.com karena sikap skeptis ARM atas kepemilikan dari portal berita tersebut, dan bukan menyatakan legal tidaknya, “Portal berita inisiatifnews.com, setelah saya cek ternyata tidak terdaftar sebagai media terverifikasi di Dewan Pers. Di samping itu, pemiliknya adalah Masduki Baidlowi, Ia merupakan staff khusus wakil presiden.” Tetapi, artikel Suryadi seperti menyalahkan peryataan ARM sekali lagi, dengan tulisan “… sangat jelas bahwa portal media milik Masduki Baidowi itu sah dan legal secara hukum.” Bukan legal atau tidak yang dipermasalahkan oleh ARM, tapi kredibilitas dan fungsi dari dewan PERS, di mana salah satunya melakukan verifikasi atas portal tersebut. Hal ini karena publik membutuhkan media yang terverifikasi. Seperti isi dalam opini dalam laman dewanpers.or.id yang berjudul “Publik Perlu Media Terverifikasi“.
Tendensi penulis terlihat sekali dalam narasi berjudul “Buntut Tulisan Omnibus Law, HMI Unindra PGRI dan LPM Progress Sebaiknya Berdamai”. Jika dilihat sekilas, nampak seperti penengah. Namun apabila ditelisik lebih jauh, nampaklah kejanggalan-kejanggalan tersebut. Penting bagi kita untuk menelisik lebih jauh perihal kebenaran yang ada. Jangan hanya karena terdapat asumsi kesesatan berpikir pada narasi, kita menolak untuk mempertimbangkan kebenarannya lebih lanjut. Bagaimanpun, profesionalitas harus dijunjung tinggi. Apalagi mahasiswa, yang merupakan kawah intelektual dan tempat adu argumentasi, bukan adu emosi. Sekali lagi, mari berbuat adil semenjak dari pikiran. Kejadian yang sudah berlalu biarlah berlalu, marilah saling memaafkan dan jangan lupa mengambil pelajaran. Jangan sampai kejadian memalukan seperti ini terjadi di kemudian hari.
Penulis : Fawwaz Syafril Dirana
Editor : Hanif Firdaus & Safira Kusnaini