RELEVANSI PANCASILA DENGAN USHUL FIQH KENEGARAAN

Bagikan

Oleh: Naufal Hanif F.

Pembahasan terkait pancasila dan keislaman memang tak ada habisnya, beberapa kelompok ekstrimis anti pancasila masih hadir ditengah masyarakat. Tujuan mereka beragam, mulai dari keinginan untuk menjadikan indonesia sebagai negara islam hingga dilekatkannya kata makar terhadap sejumlah kelompok atau organisasi berbasis islam di nusantara.

Kita ketahui bersama bahwa organisasi-organisasi tersebut sangat ingin mengganti ideologi pancasila dengan ideologi islam yang kaffah atau total. Hal tersebut membuat geram mayoritas elemen masyarakat yang merasa Pancasila sebagai ideologi dasar sudah sangat cocok dengan negara Indonesia. Kegeraman tersebut berujung pada di bekukannya kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Ansurut Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia (Mujahid) dan Front Pembela Islam (FPI) oleh negara.

Mengingat kejadian tersebut, penulis memiliki sebuah pertanyaan besar yang sering digaungkan ditengah masyarakat tentang “Masih relevankah pancasila sebagai dasar negara? Dengan mayoritas masyarakat yang penganut agama islam di Indonesia”.

Titik balik pertanyaan tersebut dimulai pada sebuah buku yang ditulis oleh Kia As`ad Said Ali yang berjudul “Islam, Pancasila dan Kerukunan Berbangsa” yang menjawab semua keragu penulis tentang pancasila dengan islam dengan perspektif yang menarik. Dalam buku tersebut Kiai as`ad memiliki argumentasi terkait keselarasan islam dan pancasila melalui metode fiqih.

Pertama meletakan pancasila ke wilayah hukum, karena pancasila merupakan sumber dari semua hukum negara. Pada ranah hukum Islam, letak Pancasila berada di ranah filsafat hukum (ushul fiqh) yang nantinya melahirkan kaidah hukum (qawa’idul fiqh). Mengapa? Karena Pancasila merupakan dasar atau filsafat hukum, dalam konteks ini pengkajianya juga harus melalui filsafat hukum Islam.

Dalam konteks ushul fiqh, pengkajian Pancasila masuk pada wilayah ijtihad penerapan hukum (ijtihad tathbiqi). Penerapan ini hasil dari penafsiran atas Al-Qur’an dan hadist, lalu ijma’ dan qiyas, disempurnakan dengan penggunaan prinsip kemaslahatan (al-maslahah), kebaikan (istihsan) dan tradisi (‘urf). Artinya selain mengacu pada Al-Qur’an dan hadist, penerapan syariah wajib menjunjung prinsip kemaslahatan serta kebaikan semua masyarakat.

Lalu yang ke dua, mengenai persoalan pancasila dalam ranah hukum ijtihadi atau hasil pemikiran dalam rumpun hukum praktis kenegaraan, bukan rukun hukum pasti yang berisi prinsip-prinsip teologis seperti termaktub dalam Rukun Iman. Jadi, membandingkan pancasila dengan fiqih atau keislaman sengatlah tidak sepadan. Kedua hal tersebut menjadi perantara hukum yang berbeda, karena sistem kenegaraan merupakan wilayah terbuka yang dapat dieksplorasi melalui nalar maupun rasionalitas oleh ajaran islam itu sendiri. Dalam konteks ini, Islam hanya menetapkan prinsip-prinsip politiknya saja seperti; kesetaraan (al-musawah), keadilan (al-‘adalah), musyawarah (al-syura), kebebasan (al-hurriyyah) dan pengawasan rakyat (riqabah al-ummah).

Gus Dur sebagai Presiden indonesia keempat, di dalam buku “Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara” beliau pernah mengutarakan bahwa hubungan agama atau hukum islam dengan hukum negara terjadi dalam beberapa tipologi.

Pertama, tipologi integral yang mana antara hukum Islam dan negara menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Dalam sejarahnya, tipe Negara ini tumbuh berkembang pada masa kerajaan-kerajaan Islam dari kampung-kampung kecil seperti Perelak, Samudera Pasai di Aceh. Dalam wilayah itu komunitas agama yang ada hanyalah agama Islam dan hukum adat tidak diakui.

Hukum negara adalah hukum agama, karena hukum negara berasal dari hukum-hukum agama, maka tidak ada konflik antara hukum agama dengan hukum adat.

Kedua, tipologi konflik antara hukum agama dengan hukum adat terjadi ketegangan dan saling menafikan sebagaimana pengalaman sejarah terjadi di Sumatera Barat. Para pemuka agama menginginkan pelaksanaan syariat agama dalam hukum negara, sedang masyarakat setempat menolak pelaksanaan hukum agama tersebut. Dari adanya pertetangan tersebut menyebabkan terjadinya perang Paderi. Perang tersebut terus berlangsung hingga datangnya kolonial Belanda yang kemudian melerainya. Dari peristiwa itu lahir konsepsi ”Adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah” yang berarti bahwa eksistensi hukum adat diakui selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat agama Islam.

Ketiga, tipologi dinamis-dialektis yang merupakan tipe hubungan harmonis antara hukum agama dengan hukum Negara. Hukum -hukum agama diberlakukan secara bertahap dalam kehidupan kenegaraan, seperti pola kerajaan Goa yang kemudian dilanjutkan oleh Kesultanan Malaysia.

Keempat, tipologi sekuler-ritualistik yang menjelaskan tipe hubungan yang hanya terjadi pada acara ritual seremoni keagamaan dan pemerintah terlibat dalam kegiatan tersebut sebagai simbol pengayoman kepada warganya, seperti tradisi Jawa yang mana seorang Raja biasanya melaksanakan ibadah keagamaan ke masjid selama dua kali dalam satu tahun, yaitu pada waktu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Dalam hal ini pemerintah memberikan kebebasan kepada umat beragama dalam melaksanakan hukum agama, tetapi mereka tetap berkewajiban taat kepada pemerintah yang sah.

Dari penjelasan tersebut, pembenturan antara Islam dan Pancasila menjadi luntur karena bukan tidak ketemu tetapi karena Pancasila merupakan pilihan terbaik bagi nilai-nilai Islam. Bangsa Indonesia memang ditakdirkan sebagai bangsa dengan corak masyarakat yang plural (pluralistic society). Pluralitas masyarakat Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya ikatan-ikatan sosial yang didasarkan pada perbedaan suku bangsa, agama, serta adat istiadat. Kemajemukan ini sejak dahulu telah dipersepsikan dan dikonsepsikan oleh para founding fathers sebagai kekuatan, sehingga bukan sebagai sebuah kebetulan semboyan negara yang dipilih adalah “Bhineka Tunggal Ika”. Semboyan ini sengaja dijadikan pilihan untuk menyadarkan kita bahwa pluralitas merupakan modal besar mewujudkan cita-cita, yakni menjadi bangsa yang besar dan kuat di atas kemajemukan.

Oleh karena itu sebagai generasi muda yang diberi Allah kecerdasan dalam berfikir serta diberi karunia untuk dapat menimba ilmu dengan baik di Perguruan tinggi, harus memanfaatkan kesempatan tersebut sebagai sarana untuk meningkatkan kapabilitas dan keimanan dan pengetahuan diri bukan dengan mengikuti kelompok ekstrimis dengan dasar keidealisanya dan argumentasi yang dianggap paling benar, tetapi mari kita mengulas dulu membaca lebih dalam terkait makna pancasila dan islam ini yang sangat memiliki argumentasi yang tepat sebagai dasar Negara.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.