RAHASIA BIRU
“Hai, how’s life?”
Satu pesan yang berhasil kukirim kepada salah satu wanita bumi yang ingin sekali kuajak bicara. Sudah lama aku tidak mendengar kabarnya sejak waktu memaksa kita berdua untuk berpisah. Hari ini, setelah proses berpikir yang membuat teman-temanku menatap penuh prihatin, akhirnya kuputukan untuk mengirim pesan itu.
Sangat lama aku menunggu balasan darinya. Aku menatap pantulan wajahku di cermin dan tidak kutemukan ekspresi lain selain raut wajah yang tidak tenang.
“Sebulan yang lalu, ibuku pergi”
Pesan pertama darinya yang berhasil membuatku terdiam.
“Kalau saja aku tidak egois dan mendengar orang-orang yang menyuruhku untuk pulang, mungkinkah beliau masih ada? Kalau saja aku tahu dari awal tentang sakit yang beliau derita, apakah hari ini aku masih bisa memeluknya?”
Jeda lama sekali. Sementara aku masih belum menemukan kalimat yang tepat untuk membalas dua pesannya.
“Tidak perlu dijawab, aku sudah tahu jawabannya. Aku tahu tidak akan ada yang berubah kan? Beliau akan tetap pergi menghadap Nya. Sekuat apapun aku menolak, kenyataan itu selalu datang menghampiri dan menghantui”.
Terhitung sudah tiga pesan darinya dan aku masih tidak tahu harus membalas apa. Aku kira Ia akan menceritakan banyak hal, namun ternyata tidak. Tanda online di bawah nama manisnya kini sudah hilang. Aku menimbang-nimbang untuk melakukan panggilan telepon kepadanya, tetapi ternyata ponselnya sudah tidak aktif.
Aku tahu tidak akan ada yang berubah. Setahun yang lalu, cinta pertamanya pergi dan hari ini baru kuketahui bahwa ibunya juga ikut meninggalkannya. Aku tidak dapat membayangkan akan jadi seperti apa diriku ketika berada di posisinya. Walau hubungan dengan ibunya seperti akur-tak akur, ibu selalu menjadi rumah baginya. Aku juga tahu bahwa Ia hampir menyerah, merutuki takdir yang rasanya tak adil, ketakutan, dan kebingungan. Ia mencari pelampiasan yang sebenarnya tak mampu mengurangi kepahitannya.
Biru, hidup berat sekali, ya?
Penulis: PA
Editor: Dewi Sri
