Puisi dan Kesehatan Mental
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Makna kata poeta menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan. Puisi merupakan salah satu karya sastra yang mengandung fungsi estetika dengan unsur-unsur puitisnya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama, dan gaya bahasa.
Puisi dapat dijadikan sebagai terapi untuk meningkatkan kesehatan mental yang telah diteliti sampai tingkat tertentu. Terapi puisi telah banyak digunakan di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Beberapa penelitian mengenai terapi puisi sebagai bagian dari rehabilitasi skizofrenia telah dilakukan di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang (Bembry et al. 2013)
Deskripsi komprehensif dalam penelitian yang dilakukan Shafi (2010) mengenai “Terapi Puisi dan Skizofrenia: Perspektif Klinis dan Neurologis” menunjukkan kegunaan terapeutik puisi untuk perkembangan kognitif, linguistik dan emosional pasien. Artikel tersebut meneliti cara terapi puisi dapat digunakan dalam konteks klinis, dasar neurologis pemrosesan metafora, dan implikasi klinisnya bagi penderita skizofrenia.
Efek terapeutik puisi pada pasien tidak hanya bergantung pada profil psikologis atau linguistik mereka, tetapi juga pada lokasi cedera atau anomali otak dan relevansinya dengan kondisi mereka. Oleh karena itu, mengetahui bagaimana otak membangun bahasa simbolik dapat membantu peneliti dan klinisi memahami mengapa terapi puisi mungkin cocok untuk orang-orang tertentu. Terapi puisi kemudian dapat diintegrasikan ke dalam penelitian pemrosesan metafora untuk studi ekspresi puitis pada orang dengan gangguan psikotik (Shafi, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Collins. dkk (2006) membahas kemungkinan terapi puisi bersama psikoterapi kognitif. Salah satu klien yang ditampilkan dalam artikel tersebut adalah seorang pria paruh baya yang didiagnosis menderita skizofrenia. Pria itu ditawari tugas menulis puisi yang melebih-lebihkan keyakinan irasionalnya sendiri, dengan tujuan membantunya memproses keyakinan ini dan mengubahnya dengan tepat. Terapis membimbing klien dalam mengenali pikiran stresnya dan mengekspresikannya dengan cara puitis. Dengan cara ini dia bisa memperkuat harga dirinya dan mengarahkan pikirannya ke arah yang lebih positif (Collins, et al, 2006). Namun, para penulis mendukung penggunaan obat-obatan untuk pengobatan delusi dan halusinasi, karena menurut mereka obat-obatan tersebut seringkali memiliki dasar biologis.
Terapi puisi dapat dipandang sebagai bentuk rehabilitasi yang komprehensif, yang melibatkan aspek kesejahteraan umum. Fitur khususnya adalah kualitas pengalaman yang kuat dan momen bermakna yang dihasilkan oleh kerja kolaboratif dan kreatif (Kähmi, 2015). Perbedaan paling penting antara terapi puisi dan psikoterapi tradisional adalah bahwa dalam terapi puisi, menulis dapat digunakan sebagai saluran komunikasi, dan bahasa metaforis menawarkan perlindungan tertentu yang memungkinkan berurusan dengan pengalaman dan pikiran yang menyakitkan. Aspek penting lainnya tampaknya adalah penulisan kelompok. Menulis kelompok mempromosikan perasaan bahwa seseorang dapat berbagi, didengar, dan melihat diri sendiri dari sudut pandang baru (Kähmi, 2015).
Ekspresi puitis memungkinkan interpretasi empatik. Terapi puisi cocok sebagai penunjang rehabilitasi kesehatan mental di samping terapi kreatif atau kognitif lainnya (Kähmi, 2015). Orang dapat mengambil manfaat darinya di rumah rehabilitasi dan pusat penitipan anak, misalnya. Itu juga bisa digunakan dalam terapi keluarga. Seseorang dapat terus menulis dan membaca secara individu setelah sesi kelompok berakhir, sehingga efek terapeutiknya dapat bertahan lama.