SEANDAINYA TAKDIR DAPAT DIPILIH
Author : Novia Putri Ramadhan
“Mengapa aku harus dilahirkan di dunia? Rasanya tidak adil. Mengapa aku tidak bisa memilih takdir?” kalimat yang saat ini menjadi beban di pikiran Dena. Sambil duduk di tempat belajar dekat jendela kamarnya yang terbuka, Dena menatap langit yang gelap. Di suasana yang sunyi dan dingin, Ia meluapkan semua kesedihan yang menjadi beban pikirannya dengan tangisan sampai membuatnya sesak dan tertidur di tempat belajarnya.
Keesokan harinya, Dena terbangun karena udara dingin yang terkena kulitnya. Ia menjalani aktivitasnya seperti biasa. Pukul 06.30 Dena sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Sesampainya di SMA Pelita Harapan, Dena sangat terkejut ketika ia membuka pintu untuk masuk ke kelasnya. “Happy Birthday, Dena! Semoga di umur yang ke 17 tahun kamu semakin dewasa dan semoga semua hal baik selalu menyertaimu” sorak dari teman-teman kelas Dena yang memberikan kejutan ulang tahunnya. Saat itu, Dena sangat bersemangat menjalani seluruh aktivitasnya di sekolah sampai sore hari. “Aku baru ingat kalau hari ini aku ulang tahun, mengapa waktu berjalan begitu cepat? Bukankah menjadi dewasa itu tidak menyenangkan?” ucap Dena ketika hendak sampai ke rumahnya selepas pulang sekolah.
“Kamu itu kapan sih bisa mengerti beratnya aku menjadi seorang ibu!” teriak seorang wanita sambil menangis. “Memangnya kamu sanggup bekerja siang malam seperti aku!” balas seorang lelaki dengan nada tinggi. Dena yang tengah berdiri dibalik pintu, menghela nafasnya seperti sudah tidak asing mendengarkan dialog itu. Perlahan Dena membuka pintu dan masuk ke rumah sambil melewati ruang tamu yang ternyata ada ibunya yang tengah menangis sambil mendekapkan dirinya di sofa ruang tamu. “Tuhan, kenapa aku harus lahir di dunia? Tidakkah cukup engkau memberiku ujian selama sembilan tahun? Aku sudah lelah dengan semua ini” tangis Dena yang pecah karena kejadian yang ia alami selama ini, sambil melemparkan tas yang dibawanya ke lantai. “Tidakkah engkau izinkan aku bahagia di hari ini Tuhan? Ini harusnya menjadi hari bahagiaku karena tepat tujuh belas tahun yang lalu aku lahir di dunia ini” ucap Dena.
Dena yang merasa kepalanya sakit seperti dihantam, Ia langsung lari ke kamar tanpa menghiraukan orang tuanya. “Nak… tolong buka pintunya maafkan mama dan papa, ini semua bukan salahmu nak, ini salah keegoisan kami. Maafkan kami nak jika belum bisa memberikan yang terbaik untukmu, selamat ulang tahun anakku” ucap ibu Dena dibalik pintu kamar Dena. “Dena ingin sendiri, Ma” balas singkat Dena. Bagaikan cuaca cerah yang disambar petir, seperti itulah perasaan Dena di hari itu. Perasaan bahagia dan kecewa bercampur menjadi satu. Dena yang merasa ia tidak memiliki tempat untuk bercerita, ia mengambil buku diary di meja belajarnya dan mulai mencurahkan seluruh isi hatinya dibuku tersebut. Hari semakin larut malam, sakit kepala yang dirasakan Dena-pun tak kunjung hilang. “Mengapa tidak seperti biasanya sakit kepala ini? Mungkin besok aku perlu ke dokter untuk menanyakan mengapa sakit kepala ini sering sekali muncul tiba-tiba” gumam Dena.
Malam berganti pagi, Dena terbangun dari tempat tidurnya karena cahaya mentari samarsamar masuk dari sela-sela jendela kamarnya. Sesuai rencananya, Dena bersiap untuk menemui dokter di salah satu rumah sakit dekat rumahnya. Sebelum berangkat, Ia mengecek handphone karena ada bunyi pesan masuk.
[2 pesan masuk]
“Papa hari ini berangkat ke luar kota selama 2 hari nak untuk menyelesaikan pekerjaan, setelah papa pulang mari kita rayakan ulang tahunmu. Kita berlibur untuk merayakan ulang tahunmu bersama-sama. Jaga diri baik baik nak”
“Dena sayang, mama sudah siapkan masakan kesukaan kamu, maaf mama tidak bisa menemani kamu makan karena mama ada meeting mendadak. I love you nak…”
Tanpa membalas dua pesan tersebut Dena memasang raut wajah lesu dan langsung bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Dena bertemu dengan dokter dan dokter mulai melakukan medical check up secara menyeluruh. “Sebenarnya apa sih dok yang saya alami? Saya sering merasakan sakit kepala seperti dihantam” tanya Dena kepada dokter. “Sepertinya kamu memiliki gangguan kecemasan yang disebabkan stress berlebihan dan membuat kamu migrain, akan saya berikan obat dan minum obat itu jika migrain itu kambuh” jawab dokter. Setelah bertemu dengan dokter, Dena pulang dengan wajah bingung. Di kepalanya penuh dengan pertanyaan sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya. Sesampainya dirumah Dena kembali bergelut dengan buku buku yang ada di tempat belajarnya.
Hari berganti, 2 hari yang dijanjikan oleh papa Dena pun tiba. “Aku sudah siap Pa, Ma. Ayo kita berangkat!” seru Dena karena ia dapat berlibur bersama keluarganya. “Sayang, apa yang kamu inginkan untuk liburan kali ini?” tanya mama Dena yang berada di kursi depan mobil. “Emm… Dena tidak menginginkan apa-apa lagi ma, pa. Dena hanya ingin hidup dikeluarga yang harmonis dan bahagia”. Mendengar kalimat itu membuat mama dan papa Dena memasang muka sedih dengan mata yang berkaca kaca. “Tin… Tin… Tin…” terdengar suara klakson dari belakang mobil yang membuat papa Dena kehilangan fokus mengemudi. “Tolong… tolong…” rintihan laki laki yang berada disamping kanan mobil. Pengendara lain yang melihat kejadian tersebut sontak bergegas untuk menelpon ambulace untuk segera membawa keluarga tersebut ke rumah sakit terdekat. Dena yang sudah berhasil dikeluarkan dari mobil, samar-samar mendengar suara ramai yang berada disekelilingnya. “Papa… Mama… kepala Dena sakit sekali, bantu Dena pa, ma…” lirihan Dena yang kesakitan, tak lama setelah itu Dena sudah tidak sadarkan diri.
“Dena sayang… bangun nak, sampai kapan kamu akan memejamkan mata? Bangun nak huhuhu… sudah seminggu kamu tidak sadarkan diri, tolong bangun anakku”. Dena yang tak asing dengan suara wanita menangis itu, sontak membuka matanya secara perlahan. “Mama, mengapa ruangan ini gelap? Aku dimana mama? Mengapa aku tidak bisa melihat?” teriak Dena yang bingung akan apa yang Ia rasakan. “Dokter, suster, tolong segera kemari!” teriak laki-laki dengan keras memanggil petugas medis. “Papa apa yang terjadi, apakah dunia sudah berakhir sehingga semuanya gelap?” teriak dena yang semakin histeris. Papa dan mama Dena yang juga terkejut dengan kejadian yang dialami putrinya, mereka turut menangis histeris. “Suster tolong ambilkan suntikan penenang untuk pasien” “Baik, dok” ucap dokter yang kemudian dijawab oleh suster sambil menyiapkan suntikan yang dimaksud. Tak lama setelah disuntik cairan penenang Dena tidak sadarkan diri.
Selang beberapa waktu Dena terbangun karena mendengar suara tangisan yang lirih disampingnya. “Mama, apakah itu suaramu? Tolong aku mama, aku tidak bisa melihat apapun” ucap Dena sambil menangis. “Nak… maafkan mama dan papa yang membuatmu seperti ini, kami sangat menyesal nak. Jika saja kita tidak pergi pasti kecelakaan itu tidak akan terjadi” sahut papa Dena dengan nada yang sedih. “Pa… apakah Dena buta akibat kecelakaan itu?” balas Dena, “Ya, nak. Maafkan papa dan mama yang tidak bisa menolongmu setelah kecelakaan itu, papa dan mama waktu itu juga tidak sadarkan diri. Tolong nak maafkan kami” sahut papa Dena dengan memasang raut muka menyesal. Dena yang mendengar itu menangis rintih dan berkata kepada kedua orang tuanya “Pa… ma… Dena terima kondisi Dena saat ini meskipun dengan berat hati, maafkan Dena ya semakin membuat beban kalian jadi bertambah”. Papa dan mama Dena yang mendengar itu langsung memeluk erat Dena.
Setelah 10 hari menjalani perawatan di rumah sakit Dena diizinkan pulang oleh dokter. Sesampainya di rumah, Dena diantarkan ke kamar oleh mamanya. “Mama, bolehkan aku minta tolong untuk ambilkan diaryku di atas meja? Aku ingin menyimpannya meskipun saat ini aku tidak bisa melihat” ucap permintaan Dena. “Tunggu ya nak mama cari dulu, sepertinya diarymu tertumpuk di antara buku sekolahmu” balas mama Dena. Tak lama, mama Dena menemukan diary yang dimaksud Dena, Ia tak sengaja menjatuhkan diary itu dan terbuka satu halaman yang membuat mama Dena penasaran dan ingin membacanya. Kemudian mama Dena mengambil buku itu, ia mulai membaca apa yang ditulis oleh Dena
[Diary Dena]
Aku mengira menjadi dewasa itu menyenangkan, ternyata tidak. Dewasa seperti apa ini? Di ulang tahunku yang ke 17 justru aku melihat kedua orang tuaku masih saja bertengkar akibat keegoisan mereka. Aku tidak ingin orang tuaku berpisah, tapi aku juga tidak tahan jika melihat mereka perang dingin setiap hari. Tuhan… aku lelah dengan semua ini. Andai aku bisa memilih takdir, aku tidak ingin lahir di keluarga yang seperti ini. Mengapa engkau tidak membiarkan aku memilih takdirku, Tuhan?
“Mama, apakah diaryku sudah ditemukan?” ucap Dena yang membuat mamanya terkejut dan mama Dena segera memberikan diary itu ke Dena. “Mama tinggal dulu ya nak, kalau butuh apa apa kamu panggil mama” ucap mama Dena yang ingin membiarkan Dena istirahat di kamarnya. Sambil merenung, Dena merasakan setiap hembusan udara yang mengenai kulitnya. “Apa yang bisa ku harapkan lagi Tuhan? Kini aku sudah buta. Mengapa engkau beri cobaan berturut turut? Kini siapa yang bisa kujadikan tempat bercerita? Aku sudah tidak dapat melihat dan menulis di diaryku. Apakah ini akhir di ceritaku? Mengapa tidak engkau tuliskan kisah yang berakhir indah di takdirku? Mungkin dengan berjalannya waktu aku akan bisa menerima kondisiku, tapi bisakah engkau memberikan aku kasih sayang yang lebih? Kurasa, selama ini aku hidup dengan kekurangan kasih sayang dari orang tuaku. Tolong Tuhan, berikan sedikit kisah indah di takdirku. Dengan begitu, aku bisa menerima takdir jika aku saat ini buta” kata yang keluar dari mulut Dena dengan suara tangisan rintih. “Anakku… maafkan kami” teriak mama dan papa Dena yang terdengar dari arah pintu. “Kami berjanji akan selalu berusaha memberikanmu kasih sayang terbaik, kami juga berjanji akan menjagamu, akan menjadi mata baru di kehidupanmu. Kami benar-benar menyesal nak karena keegoisan kami”. Setelah itu, mama dan papa Dena memeluk erat anaknya sambil menangis, Dena yang mendengar ucap kedua orang tuanya juga ikut menangis tersedu-sedu.
Setelah dua bulan dari tragedi kecelakaan yang menimpa keluarga Dena, Ia kembali disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah khusus. Kini, Dena merasa orang tuanya lebih memperhatikan apa yang Ia butuhkan. Dena yang merasakan suasana harmonis di keluarganya, kini ia kembali menjadi gadis yang ceria. “Mungkin masa laluku banyak sekali kisah sedih yang sudah aku lalui, tapi aku yakin Tuhan itu adil. Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang berat di luar kuasa hambanya. Terima kasih Tuhan, kini aku ikhlas menerima kondisiku. Tak apa aku begini asalkan keluargaku bisa kembali utuh dan harmonis dibanding dulu” ucap Dena dari dalam hati.