Lisbethalic
Seorang suami berlari kencang menuju rumah seorang dukun bayi. Tampaknya, istrinya akan segera melahirkan. Sesampainya di rumah dukun bayi tersebut, ia lalu mengetuk pintu rumah sang dukun dengan keras. Sang dukun bayi keluar, bertanya ada apa gerangan datang kemari. Sang suami tersebut lalu menyampaikan maksud kedatangannya kemari. Ia berkata kepada dukun bayi tersebut, bahwa istrinya akan segera melahirkan. Tanpa pikir panjang, dukun bayi tersebut segera pergi ke rumah seorang suami, tempat sang istri berada. Sesampainya di rumah suami tersebut, terlihat sang istri ditemani seorang perempuan yang mana ia adalah kakak dari sang istri tersebut. Sang istri mengerang kesakitan. Suami itu lalu memegang tangan istrinya, sementara si dukun bayi menyiapkan proses persalinan. Tak memakan waktu lama, sang bayi terlahir. “Syukur, Tuhan memberkati kalian dengan anak laki – laki,” ujar si dukun bayi. Si suami sedikit terkejut karena ini berbeda dengan dugaannya.
Setelah dibersihkan, ayah dari si bayi lalu menggendong anaknya tersebut. Sang dukun bayi bertanya, “Akan kamu namakan apa, bayi itu?” Sang ayah menjawab, “Awalnya kukira anakku terlahir sebagai perempuan dan akan kunamai Elizabeth, namun ia terlahir sebagai laki-laki. Oleh karena itu, aku menamainya Zabeth, Zabeth Lisbethal. Ya, Zabeth Lisbethal, itulah namanya.”
Zabeth Lisbethal lahir di keluarga yang biasa – biasa saja. Ayahnya seorang pemilik toko daging di ibukota kerajaan, Seraphine. Sementara sang ibu bekerja sebagai penjaga perpustakaan kerajaan. Seperti anak – anak yang seumurannya, Zabeth juga suka bermain bersama dengan teman – temannya. Namun, Zabeth memiliki kebiasaan unik, di umurnya yang masih belia, ia sangat menyukai membaca buku. Kebiasaan ini ia dapatkan karena ia sering dibawa oleh sang ibu ke perpustakaan. Ia biasa membaca buku untuk menghindari kebosanan saat ibunya tengah bekerja. Saat sudah menginjak taman kanak – kanak ia juga tergolong anak yang cerdas di usianya, karena mampu baca tulis hitung dengan lancar. Kemampuannya itu tak lain karena sang ibu sering mengajarkan baca tulis hitung saat senggang dan kebiasaannya yang suka membaca buku.
Zabeth juga termasuk orang yang pede dan punya rasa ingin tahu yang tinggi. Ia juga punya kecenderungan memimpin saat menginjak bangku sekolah. Namun, walau begitu ia tidak memiliki seorang teman. Kecenderungannya untuk memimpin dan sikap terlalu percaya diri, membuatnya dijauhi oleh teman – temannya. Bahkan ia mengalami kekerasan saat menginjak bangku sekolah menengah atas.
Suatu hari, ia pernah melaporkan siswa – siswa yang mencorat – coret dinding toilet sekolah kepada seorang guru. Siswa – siswa tersebut ditindak, namun sebagai akibatnya selepas pulang sekolah ia dipukuli hingga babak belur. Selepas dipukuli, ia lalu pulang ke rumah. Dalam perjalanannya ke rumah, ia duduk sebentar di sebuah tepian sungai. Ia lalu duduk memeluk lututnya. Ia bertanya – tanya, mengapa orang yang benar selalu dihadapkan dengan kekerasan. Kenapa? Apa yang membuat hal itu terjadi? Sampai seorang wanita yang sebaya dengannya, menjulurkan sebuah sapu tangan.
Wanita itu bernama Delilah Jouhanous (dibaca: DI-LAY-LAH-YU-HA-NUS). Ia memiliki perawakan rambut ikal berwarna pirang yang diikat, dengan kacamata bulat. Badannya ramping dan tingginya hanya sepundak Zabeth. “Ini, tolong basuh lukamu terlebih dahulu,” ujar Delila sembari menjulurkan sapu tangan. “Kamu pasti menjalani hari yang berat ya. Tidak apa, hari yang cerah akan segera datang kok,” ujar Delilah sambil tersenyum. “Kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu kira aku akan bunuh diri disini?” ujar Zabeth. “He-he ehm… tidak bukan begi-“ Zabeth tertawa kencang. “Tidak perlu khawatir. Aku tidak akan mati hanya karena ini.”
“Menurutmu, kenapa orang yang benar dan jujur menyampaikan sesuatu selalu menjadi bulan – bulanan bagi orang yang salah?” tanya Zabeth. “Entahlah. Beberapa orang ada yang takut akan perubahan karena akan merubah status kekuasaan mereka, namun beberapa lagi karena mereka bandel,” ujar Delilah. Setelah mendengar jawaban Delilah, Zabeth semakin yakin bahwa tindakannya selama ini tidak salah. Ia lalu berdiri, menepuk – nepuk bokongnya yang kotor terkena rerumputan. Zabeth lalu mengulurkan tangannya kepada Delilah untuk berdiri. “Sebagai ucapan terima kasih, izinkan aku mengantarmu pulang. Aku pikir, tidak baik bagi seorang perempuan pergi seorang diri saat menjelang malam.” Delilah mengiyakan tawaran Zabeth.
Semakin bertambahnya umur, Zabeth tidak pernah gentar untuk menyuarakan kebenaran. Pada usianya yang ke 20, ia diterima di Universitas Seraphinia, sebuah universitas paling terpandang di kepulauan Ekradia. Di sana ia mengambil jurusan hukum. Ia berharap, dengan belajar hukum ia dapat menyuarakan kebenaran sekaligus keadilan. Tak disangka, disana ia satu kelas dengan Pangeran Louconcious (dibaca: LU-KON-SI-US), seorang pewaris takhta tunggal Kerajaan Seraphinia. Pangeran Louconcious memiliki nama asli Ryan Wehmbert (dibaca: RI-YAN-WEM-BERT). Walaupun seorang pangeran, watak dan pribadi Louconcious jauh dari kata watak seorang bangsawan. Luoconcious adalah seorang yang penakut. Ia juga mudah untuk dikendalikan oleh orang lain.
Waktu itu, Zabeth melihat Louconcious tengah menulis catatan kuliah yang sangat banyak, saat ditanya kenapa ia menulis catatan sebanyak itu, pangeran itu berkata bahwa ia disuruh oleh orang untuk menulis ini. Mengetahui teman sekelasnya dimanfaatkan orang lain, Zabeth meminta si pangeran penakut itu untuk berhenti menulis dan ikut dengannya, sambil membawa catatan yang ditulisnya. Tak disangka, Zabeth membawanya ke hadapan pria yang menyuruh pangeran itu. Zabeth tanpa rasa takut sedikit pun langsung merobek kertas catatan itu lalu melemparnya ke muka orang itu. Tentu, orang tersebut marah dan perkelahian tidak dapat dihindarkan. Keduanya lalu dipisahkan, yang jelas baik Zabeth atau pria itu babak belur.
“Kenapa kamu mau disuruh – suruh orang lain,” ujar Zabeth sembari menghidupkan sebatang rokok.
“Itu … karena aku diancam,” ujar Louconcious
“Kamu ini bodoh ya!” Zabeth mengeraskan nada bicaranya. “Kamu itu seorang pangeran, tunjukkan harga dirimu sebagai seorang bangsawan!”
“Darimana kamu tahu aku seorang pangeran?”
“Nama belakangmu Wehmbert kan? Kamu kira aku orang luar yang tidak tau nama asli keluarga kerajaan?”
Zabeth lalu pergi meninggalkan sang pangeran seorang diri. Dari kejauhan, Louconcious mengucapkan terima kasih kepada Zabeth.
Nama Zabeth di kampus kian melejit. Ia sering mengikuti lomba pidato dan debat selama di kampus. Selain itu, ia juga menulis sebuah buku yang berjudul “Bagaimana Sebuah Hal Bisa Dikatakan Adil”. Berkat kepandaian dan prestasinya selama berkuliah, Zabeth akhirnya berhasil menyandang gelar sarjana hukum dalam waktu 3,5 tahun.
Tidak lama setelah Zabeth lulus, bencana ekonomi mulai melanda kerajaan. Dimulai dari kegagalan panen akibat musim dingin di Pegunungan Selatan. Selain itu, inflasi ekonomi terjadi dan menunjukkan angka tertinggi sepanjang sejarah kerajaan. Akibatnya, harga kebutuhan pokok naik sejadi – jadinya. Hal ini menyebabkan masyarakat biasa terlebih lagi masyarakat dengan ekonomi kebawah mengalami kelaparan. Akan tetapi, tidak ada upaya serius dari pejabat dan bangsawan kerajaan. Mereka bisa santai dan makan enak, sementara masyarakat biasa tengah kelaparan. Mirisnya lagi, keluarga kerajaan sering tertangkap membuang makanan sisa yang tidak dimakan di tengah kelaparan yang melanda kerajaan. Masyarakat tidak berani melawan, sebab bagi mereka raja adalah perwujudan dari dewa yang ada di bumi. Selain itu, orang – orang tidak berani mengkritik kerajaan karena taruhannya adalah nyawa.
Zabeth sekalipun tak merasa gentar dengan ancaman tersebut. Ia lalu menuju alun – alun dan mulai berorasi.
“Saudara – saudaraku yang budiman, baik yang tua, yang muda, yang kenyang, atau yang lapar, kemari dan dengarlah!” Seketika orang – orang berkumpul mengelilingi Zabeth. “Kemari dan dengarlah. Saya berbicara disini bukan untuk merayakan wisuda saya. Saya berdiri disini untuk menyuarakan ketidakadilan yang dilakukan bangsawan kerajaan yang sudah lama kita rasakan. Para bangsawan yang tinggal di istana itu hidup bermewah – mewahan! sementara kita saudara, hidup menderita. Perut mereka setiap hari bisa terisi 3 kali saudara, coba lihat kita, sehari mungkin hanya makan sekali dua kali, bahkan banyak yang perutnya 1 hari tidak terisi sama sekali. Ya, saya tahu ini karena bencana gagal panen di Pegunungan Jauh Selatan, tapi kenapa para bangsawan istana kerajaan tidak terlihat tidak peduli, tidak melakukan apapun untuk mengatasi situasi ini saudara.” Zabeth berorasi dengan berapi – api.
“Sudah saatnya kita bertindak saudara! Sampai kapan lagi kita mau dibuat menderita seperti ini. Cukup! Kita tidak akan mentolerir ketidakadilan ini. Apa saudara ingin mati secara perlahan karena kelaparan?! Apa saudara ingin mendengar anak cucu kita yang menangis karena lapar?! Apa saudara ingin kembali merasa kenyang?! Oleh karena itu saudara, ayo kita bersatu padu! Mari kita sisihkan perbedaan yang ada pada diri kita dan bersatu melawan musuh yang sama. Selalu ingat saudara, kekuatan rakyat yang bersatu tidak akan pernah dapat dibendung. Dengan bersatu kita akan melawan ketidakadilan dari para bangsawan dan akan kita gulingkan cecunguk kotor itu dari kekuasaannya. Hidup Rakyat! Hidup Perlawanan! Hidup Seraphinia”
Orasi dari Zabeth berhasil memantik semangat rakyat. Mereka tidak henti – hentinya bertepuk tangan kepada “Sang Revolusionis”. Namun, tak berselang lama polisi datang dan membubarkan keramaian massa tersebut. Zabeth ditangkap, dan ditahan di penjara kota. Di penjara, ia juga tidak berhenti untuk berbicara tentang ketidakadilan penguasa. Bahkan, akibat terlalu banyak bicara, ia mendapat “salam olahraga” dari para penjaga. Setelah lumayan dibuat babak belur, Zabeth dibawa ke ruang medis. Disana, ia kembali bertemu dengan Delilah, yang menjadi dokter di sana. “Kamu Zabeth?” tanya Delilah. “Tentu saja, kamu Delilah kan? Aku sudah mengenalmu dari rambut keriting pirang milikmu itu.” Delilah memalingkan wajahnya, tersipu.
“Dipukuli lagi?” tanya Delilah ketika melihat luka Zabeth.
“Ya, seperti itu lah.”
“Kamu ini, kenapa kamu senang sekali dipukuli? Tolong sesekali hindari bahaya,” ujar Delilah sembari melakukan penanganan terhadap luka Zabeth.
“Selama perut rakyat Seraphinia belum kenyang, maka selama itulah diriku mendatangi bahaya.” Zabeth menjawab dengan nada tegas.
Zabeth pun kembali ke selnya. Tak berselang lama, Pangeran Louconcious datang di penjara. Tentu, kehadirannya membuat seisi penjara terkejut dengan kehadiran sang putra mahkota secara tiba – tiba. Ia mendatangi sel penjara milik Zabeth, berkata kepadanya, “Kamu saya bebaskan.” Diluar, Zabeth menemui sang pangeran. Ia berterima kasih karena telah membebaskannya, lalu pergi.
“Aku mendukung segala tindakanmu.” Ucapan Louconcious membuat Zabeth menoleh ke belakang.
“Apakah kamu sungguh mengatakan itu?” Zabeth seolah tak percaya mengatakan itu.
“Benar. Tapi, jangan harap aku akan menjadi bagian dari pengikutmu. Aku mungkin akan membantu mendanai segala tindakanmu, tapi tidak akan menjadi pengikutmu,” ujar Sang Pangeran.
“Mungkin aku beri sedikit keringanan. Bila kamu mampu mengumpulkan massa dari seluruh kerajaan untuk melawan ketidakadilan para bangsawan penguasa, aku secara sukarela akan bergabung menjadi pengikutmu,” lanjut Pangeran.
Zabeth tahu, bahwa dukungan dari Pangeran akan membawa dampak yang besar bagi perjuangannya. Apalagi Louconcious adalah seorang pewaris takhta kerajaan, jadi sudah pasti apabila Sang Pangeran bergabung kedalam faksinya, simpati rakyat pun akan dengan mudah didapatkan. Zabeth lalu pergi ke setiap daerah di kerajaan untuk berorasi dan menggalang simpati. Setiap kota, setiap desa, ia masuki untuk menggalang simpati rakyat melawan penindasan. Sedikit demi sedikit galangan dukungan rakyat kepada Zabeth semakin banyak. Orang – orang yang berkumpul dan mendukung perjuangan Zabeth ini menamakan diri mereka, “Lisbethalic”, yang berarti pengikut Lisbethal (Zabeth Lisbethal).
Setelah 3 minggu berorasi, ia berhasil mendapat simpati sebanyak 100 ribu rakyat. Selain itu, ia juga menikahi Delilah yang pernah merawat luka – lukanya. Dengan dukungan rakyat sebanyak itu, ia mulai membuat petisi yang nantinya akan disampaikan kepada Raja Lucius melalui Pangeran Louconcious. Petisi yang ia buat memiliki 3 permintaan. Permintaan itu antara lain kebebasan berpendapat bagi setiap warga, kesetaraan bagi warga biasa dan bangsawan, terakhir adalah kestabilan bahan pokok.
Waktu telah berjalan 5 bulan, namun tiada kejelasan yang dilakukan kerajaan. Kerajaan seakan tutup mata akan masalah ini. Mengetahui hal itu, Zabeth berencana melakukan long march menuju istana kerajaan. Sebanyak 3000 partisipan Lisbethalic hadir dan berkumpul terlebih dahulu di gereja St. Bernatious, tempat basis Lisbethalic berada. Ketika hendak akan berangkat long march, Pangeran Louconcious datang. Tentu kedatangannya membuat partisipan terkejut sekaligus bingung. Mereka bertanya – tanya, ada apa gerangan sang Putra Mahkota datang kemari. Zabeth mencoba melihat apa yang terjadi. Ia lalu keluar dari lautan manusia tersebut. Louconcious melepaskan topi dan jas hitam mewahnya. Ia juga menyingsingkan lengan bajunya. Ia mengangkat tangan kiri sambil mengepalkan tangannya. Ia berteriak dengan lantang. “Hidup Seraphinia!” Orang – orang yang ada disana pun melakukan hal yang sama. Zabeth yang melihat itu benar – benar tidak percaya. Ia tak menyangka, Pangeran itu akan menepati janjinya. Ia mengira Louconcious sama seperti bangsawan lainnya. “Kau menepati janjimu,” ujar Zabeth seolah tak percaya. “Tentu saja, aku adalah rekanmu,” jawab Louconcious singkat
Long march pun dilakukan. Zabeth dan Louconcious berada di paling depan. Para partisipan merapatkan barisan, sembari menggandeng tangan orang yang ada di sebelahnya. Seketika, arus lalu lintas berhenti. Pemandangan long march itu menjadi tontonan warga kota Seraphine. Tidak ada yang bisa membubarkan long march tersebut. Tak berselang lama, istana yang megah itu mulai terlihat semakin dekat. Gerbang pagar depannya pun sudah nampak dekat, beserta pula para tentara yang berjaga di sekitarnya. Para tentara yang menjaga mulai memperingati mereka untuk jangan mendekat. Namun, Zabeth dan Lisbethalic yang lain mengacuhkan peringatan tersebut. Bagi mereka lebih baik mati sekarang daripada mati perlahan karena lapar. Tentara yang menjaga itu mulai memberi peringatan kedua. Sekali lagi, peringatan itu diacuhkan. Ketika jarak partisipan dengan tentara penjaga kira – kira berjarak 30 meter, sebuah hal yang mengerikan terjadi. Para tentara tak segan memberondong para Lisbethalic dengan peluru. Seketika belasan Lisbethalic tewas di tempat. Keadaan menjadi chaos, tentara tak henti – hentinya menembakkan senapan mereka. Setelah menembak, tentara – tentara ini lalu berlari menuju para Lisbethalic yang lari berhamburan menyelamatkan diri. Beberapa dari mereka ditangkap. Sialnya, Zabeth pun ikut ditangkap karena menyelamatkan seorang pria yang kakinya terluka.
Ia lalu dibawa ke kantor polisi. Disana, ia dipukuli habis – habisan karena dianggap biang kerok dari masalah ini. Tak lama ia dijebloskan ke penjara dan esoknya ia dibawa ke pengadilan. Putusan pengadilan menyatakan bahwa Zabeth, esok harus dihukum mati, karena ia terbukti berencana memberontak melawan raja. Tanpa bisa membantah, Zabeth segera dibawa ke sel khusus terpidana mati. Di hadapan pers yang meliput, ia berkata ia sama sekali tidak melawan raja. Ia hanya melawan ketidakadilan yang dilakukan bangsawan dan raja. Disana, ia merenung. “Tak sangka, aku akan mati muda,” ujarnya. Delilah, istrinya tiba untuk melihat dan berkomunikasi. Sesampainya disana, Delilah menangis, ia tak menyangka suaminya akan berakhir seperti ini. Zabeth mengelus kepala istrinya. Ia berkata, yang mati hanyalah ragaku, namun jiwaku akan selalu hidup. Zabeth terpaksa harus meninggalkan dunia ini lebih awal ketika istrinya hamil muda.
Paginya, setelah menghabiskan sarapan terakhir, Zabeth segera dibawa ke ruang eksekusi. Matanya ditutup, tangannya diikat. Seorang pendeta datang, berkata bahwasannya yang dilakukan Zabeth sudah sangat baik, dan biarlah Tuhan yang mengadili keputusan ini. Seorang komandan berkata apa kata – kata terakhirmu. Zabeth dengan kepercayaan dirinya berkata, “Raga saya mungkin sudah mati. Namun jiwa saya masih hidup. Ingatlah namaku akan tercium harum di seluruh Pulau Ekradia.” Para algojo mengarahkan senapannya ke arah Zabeth. Dengan aba – aba dari komandan itu, sebuah peluru dilesakkan ke arah tubuh Lisbethal, seketika membuatnya langsung meregang nyawa. Kematian Zabeth menimbulkan duka yang mendalam bagi rakyat Seraphinia. Kematiannya juga semakin memantik amarah masyarakat.
Dimana Louconcious? Ia tengah bersembunyi sembari menggalang strategi untuk menciptakan perlawanan. Keberuntungan di depan mata, keadaan ibukota Seraphine kacau balau sehari setelah kematian Zabeth. Hal tersebut untuk dimanfaatkan Louconcious dan Lisbethalic untuk semakin memantik kemarahan masyarakat. Seraphine benar – benar kacau. Suasananya hampir mirip dengan perang. Perlawanan semakin berkobar ketika rakyat Seraphine berkumpul dan hendak merangsek masuk istana. Para partisipan perlawanan tidak hanya berasal dari Lisbethalic dan warga saja, namun aparat keamanan juga banyak yang menentang karena sudah muak dengan kebijakan raja yang absolut.
Sang Pangeran mulai berorasi di radio. Ia berkata kepada para khalayak untuk semangat dan mengobarkan perlawanan melawan ketidakadilan. Kerusuhan semakin berlanjut dan intens. Akibatnya, Raja Lucius melarikan diri beserta kroni – kroninya ke Pulau Kuning. Terjadi kekosongan pemerintahan, sehingga Dewan Kehormatan Raja mengangkat Louconcious menjadi seorang raja yang baru. Segera, ia mulai mengambil harta foya – foya milik bangsawan untuk kestabilan harga pangan. Selain itu, ia mulai mendirikan Dewan Rakyat, serta penghapusan undang – undang keabsolutan raja. Kini raja tidak bisa bertindak seenaknya karena segala keputusan raja harus melalui Dewan Rakyat. Terakhir, ia membersihkan nama Zabeth, rekannya. Ia berkata kepada media, bahwa Zabeth adalah revolusionis sejati yang menentang segala tindak otoriter dan ketidakadilan. Revolusi juga menyebar ke pulau – pulau Ekradia yang lain. Pemikirannya dijadikan ideologi, bahwa derajat manusia di hadapan manusia yang lain adalah setara. Idenya menginspirasi tokoh – tokoh lain untuk memulai revolusi. Seiring berjalannya waktu, namanya semakin harum, persis seperti yang ia ucapkan.
Oleh: Arlen Chandra S.W