Aklamasi menjadi solusi atau demokrasi kita sedang dilucuti?

Bagikan
Sumber: Pinterest

Demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang menempatkan kedaulatan sepenuhnya di
tangan rakyat. Meskipun telah berjalan selama lebih dari dua dekade sejak jaman reformasi,
tahun 1998 namun kini demokrasi dihadapkan dengan tantangan serius, yakni menurunnya
partisipasi generasi muda dalam dunia politik dan meningkatnya praktik aklamasi dalam
pemilihan kepemimpinan, baik di tingkat organisasi maupun dalam kontestasi politik yang
lebih luas. Di tengah situasi ini, muncul pertanyaan penting: apakah aklamasi adalah solusi
efektif untuk mempercepat proses politik, atau justru melucuti esensi demokrasi yang sejatinya
mengutamakan keterbukaan dan partisipasi publik?


Generasi muda merupakan kunci keberlanjutan demokrasi, namun data menunjukkan bahwa
minat mereka terhadap politik kian menurun. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Cyrus
Network pada tahun 2022, hanya sekitar 17,8% anak muda Indonesia yang menunjukkan
ketertarikan pada politik. Angka ini sangat kontras dengan besarnya proporsi generasi muda
dalam populasi Indonesia yang mencapai lebih dari 60 juta orang. Fenomena ini menunjukkan
adanya kesenjangan antara generasi muda dan sistem politik yang ada saat ini. Salah satu alasan
utama penurunan ini adalah, generasi muda menganggap dunia politik di Indonesia penuh
dengan intrik dan korupsi, sehingga tidak relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Generasi muda lebih tertarik pada isu-isu sosial yang lebih praktis, seperti lingkungan,
pendidikan dan ekonomi digital. Survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2021 juga
memperlihatkan bahwa 78% anak muda menganggap politisi tidak mewakili kepentingan
mereka, hal ini memperkuat persepsi bahwa dunia politik penuh dengan kepentingan elite
semata.


Kondisi ini diperparah dengan citra negatif politisi yang sering terjerat kasus korupsi atau
memiliki integritas yang sedang dipertanyakan. Data dari Transparency International
menunjukkan bahwa persepsi korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, di mana Indonesia
berada di tingkat 96 dari 180 negara pada Corruption Perception Index (CPI) 2022. Hal ini
semakin menambah ketidakpercayaan generasi muda terhadap politik. Selain itu kurangnya
program pendidikan politik yang mampu mengedukasi mereka tentang pentingnya partisipasi
politik. Sebagai contoh, program pengenalan politik di sekolah-sekolah masih minim dan tidak
terintegrasi dengan baik dalam kurikulum nasional. Akibatnya, anak muda merasa asing
dengan dunia politik dan dalam proses pengambilan keputusan.


Dalam menghadapi situasi di mana minat generasi muda terhadap politik menurun, muncul
praktik aklamasi sebagai salah satu cara untuk memilih pemimpin tanpa melalui proses
pemilihan terbuka. Aklamasi, dalam pengertiannya merupakan penetapan seorang kandidat
atau pemimpin tanpa perlawanan atau tanpa adanya pemilihan yang sebenarnya. Meskipun
secara teori, aklamasi bisa menjadi salah satu cara untuk menghindari konflik dan mempercepat
proses pengambilan keputusan, praktik ini berpotensi merusak esensi demokrasi itu sendiri. Di
Indonesia, aklamasi sering digunakan dalam pemilihan internal organisasi atau partai politik
ketika calon yang ada dianggap tidak memiliki saingan yang kuat. Namun, praktik ini
menimbulkan pertanyaan: apakah aklamasi ini benar-benar mencerminkan kehendak rakyat ataukah justru hasil dari monopoli elite politik yang menghalangi partisipasi politik yang lebih
luas?


Meskipun aklamasi memiliki manfaat dalam situasi tertentu, akan tetapi dapat dianggap
melucuti prinsip dasar demokrasi, dimana demokrasi adalah tentang pilihan, dan tanpa pilihan
yang sebenarnya, kedaulatan rakyat tidak dihargai. Praktik ini juga membatasi regenerasi
politik, karena hanya orang-orang tertentu yang terus menerus menduduki posisi kekuasaan
tanpa tantangan yang berarti. Dalam jangka panjang, jika aklamasi terus menjadi norma dalam
pemilihan pemimpin, baik di organisasi maupun politik nasional, demokrasi akan kehilangan
salah satu elemen terpenting nya, yakni tentang persaingan ide yang sehat dan representasi yang
adil.


Untuk menyelamatkan demokrasi dari cengkraman aklamasi dan apatisme, perlu ada langkah
nyata untuk mengembalikan kepercayaan generasi muda terhadap politik. Salah satu solusi
utama adalah pendidikan politik yang inklusif dan relevan. Pendidikan politik harus
memperkenalkan bagaimana konsep-konsep dasar demokrasi, pentingnya partisipasi, dan
bagaimana generasi muda bisa mempengaruhi kebijakan yang relevan dengan kehidupan
mereka. Selain itu, partai politik harus membuka diri terhadap regenerasi kepemimpinan dan
memberikan ruang bagi anak muda untuk berperan lebih besar. Dengan adanya ruang yang
lebih terbuka, anak muda akan merasa memiliki kepentingan dalam proses politik dan lebih
terdorong untuk terlibat. Meskipun aklamasi dalam beberapa situasi mungkin terlihat sebagai
solusi jangka pendek, akan tetapi hal ini tidak boleh menjadi norma dalam proses demokrasi
kita. Demokrasi yang sehat membutuhkan kompetisi yang terbuka, partisipasi yang luas, dan
keterlibatan semua lapisan masyarakat, termasuk generasi muda.


Aklamasi bukanlah solusi jangka panjang bagi tantangan demokrasi kita. Sebaliknya aklamasi
dapat menjadi ancaman serius yang melucuti esensi demokrasi itu sendiri. Dengan minimnya
partisipasi generasi muda dalam politik, disertai maraknya praktik aklamasi, masa depan
demokrasi kita berada di ujung tanduk. Untuk mencegah hal ini, kita perlu mengembalikan
nilai-nilai demokrasi yang terbuka, inklusif, dan kompetitif, sehingga suara rakyat, terutama
generasi muda, tetap menjadi pusat dalam proses pengambilan keputusan politik.

Penulis: Irine Winda Agustin

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.