Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Ormawa FPK: Kembali Berakhir Aklamasi


Sumber: Pinterest
Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Ormawa FPK Kembali Berakhir Aklamasi: Demokrasi atau Kurangnya Partisipasi?
Pemilihan ketua dan wakil ketua organisasi mahasiswa (ormawa) Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK) kembali dilakukan secara aklamasi untuk ketiga kalinya secara berturut-turut. Keputusan ini bukan tanpa alasan, melainkan karena setiap organisasi hanya memiliki satu pasangan calon (paslon) yang mendaftar, sehingga tidak ada kompetitor lain yang bisa menyaingi mereka. Ketua Komisi Pemilihan Raya (Kopurwa), selaku penyelenggara, menjelaskan bahwa mereka telah berusaha maksimal untuk membuka kesempatan seluas-luasnya bagi mahasiswa yang ingin mencalonkan diri. Sosialisasi telah dilakukan melalui media sosial, koordinasi langsung dengan perwakilan kelas, hingga perpanjangan waktu pendaftaran. Namun, hasilnya tetap sama: hanya satu pasangan calon yang maju di setiap ormawa. Dengan kondisi ini, pemilihan secara voting tidak memungkinkan dilakukan, dan aklamasi pun menjadi satu-satunya opsi yang tersedia.
Ketua Himpunan Mahasiswa (Hima) Psikologi menambahkan bahwa sistem aklamasi bukanlah hasil keputusan sepihak, melainkan karena memang tidak ada lawan yang maju untuk bersaing. Menurutnya, Kopurwa sudah membuka kesempatan yang sama bagi seluruh mahasiswa FPK untuk mencalonkan diri, dan semua syarat serta ketentuan telah dipublikasikan secara jelas di akun media sosial resmi Kopurwa. Namun, kenyataannya, minat mahasiswa untuk mencalonkan diri sangat rendah. Jika tren ini terus berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan sistem aklamasi akan terus diterapkan di periode mendatang. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada aturan yang membatasi mahasiswa untuk maju, sehingga semua kembali kepada kesadaran dan partisipasi mahasiswa itu sendiri.
Di sisi lain, seorang anggota ormawa yang telah menjabat selama beberapa periode mengungkapkan bahwa ada beberapa kendala yang membuat sulitnya mencari kandidat lain. Salah satunya adalah persyaratan yang cukup ketat, yang membuat tidak banyak mahasiswa yang memenuhi syarat atau bersedia maju sebagai calon pemimpin organisasi. Selain itu, ia menilai bahwa meskipun aklamasi dianggap sebagai solusi praktis untuk memastikan keberlangsungan organisasi, sistem voting sebenarnya lebih efektif karena bisa menunjukkan apakah kandidat tersebut benar-benar mendapat dukungan dari mahasiswa. Jika pemilihan dilakukan melalui voting, maka mahasiswa bisa lebih terlibat dalam menentukan pemimpin mereka, bukan sekadar menerima hasil aklamasi tanpa adanya pilihan lain.
Pendapat berbeda datang dari mahasiswa di luar ormawa. Sebagian dari mereka mengaku mengetahui bahwa pemilihan selalu dilakukan dengan aklamasi, tetapi merasa bahwa sistem ini kurang mencerminkan demokrasi yang sebenarnya. Mereka menilai bahwa pemilihan yang lebih kompetitif akan lebih menarik dan lebih mencerminkan suara mahasiswa secara keseluruhan. Beberapa mahasiswa menyarankan agar diadakan sosialisasi yang lebih luas dan sistem pemilihan yang lebih interaktif agar mahasiswa tertarik untuk ikut serta. Namun, ada juga mahasiswa yang merasa bahwa aklamasi tetap merupakan bagian dari demokrasi, karena jika memang hanya ada satu pasangan calon, maka pemilihan suara tidak diperlukan.
Menanggapi berbagai sudut pandang ini, Kopurwa mengakui bahwa sistem aklamasi dalam pemilihan ormawa memang perlu dievaluasi agar partisipasi mahasiswa meningkat di masa mendatang. Mereka juga membuka ruang untuk kritik dan saran agar sistem pemilihan di tahun berikutnya bisa berjalan lebih baik. Dengan tren yang terjadi selama tiga periode terakhir, pertanyaan besar pun muncul: apakah p ormawa di FPK akan terus berlangsung secara aklamasi , atau akan ada perubahan yang lebih demokratis untuk melibatkan lebih banyak mahasiswa dalam menentukan pemimpin organisasi mereka? Jawabannya bergantung pada kesadaran dan partisipasi mahasiswa itu sendiri.
Penulis: Zendy Indah p.