Tukang ‘Damprat’ Konstitusi (Oleh: Luhur Pambudi)
Dari bilik keremangan dan tirai ketidakpastian, seorang berkelakar dengan nada yang tak mampu diidentifikasi apakah sedang menginterupsi, konfrontasi haha-hihi atau menawarkan solusi. “Lihatlah nduk di sekelilingmu? Masa gak bisa lihat sih. Itu namanya ankonstitusional.” Sambil menggebrak meja hingga kopi pahit pesenannya yang baru disruput dua dan tiga kali ngguling ke arah berlainan dari tempat di mana telapak tangannya mendamprat meja.
Neng Sri kaget, barang sedetik hingga tiga detik aktivitas kora-kora cangkir, lepek, gelas dan nggodog wedang uwuh berhenti total tanpa ada pemaknaan berkelanjutan. Dikira ada tukang bakso lagi ditabrak seorang mahasiswi yang mengendarai motor honda beat ngebut di tengah kerumunan komplek kosan mahasiswa. Langsung mendamprat balik, “Saya kira kecelakaan lagi. Ternyata cuma orang iseng aja yang berlagak sok idealis, sok mematuhi konstitusi dan sok berwibawa dengan teorema-teorema yang ia lontarkan di tengah hiruk-pikuk mahasiswa yang gak doyan beli apalagi baca buku.” Kecipak yang menghentakkan air cucian kora-kora pertanda Neng Sri sedang kesal, buka karena gayanya mahasiswa setiap hari godain anaknya nomor, yang kebetulan menggantikannya jaga warung, atau ngutang mendadak sembari melencing kabur. Tapi karena bejibun mahasiswa yang cangkruk nyruput es teh dan kopi di warungnya, cuma sekedar menghabiskan waktu penat menunggu jam kuliah, bukan malah menyelesaikan solusi kebangsaan.
“Katanya Neng Sri nuduh saya sok idealis. Nah, jenengan sendiri terlalu idealis ngunu?”
“Saya tahu apa itu idealis karena saya juga seorang idealis. Mau tau idealisme saya apa?
“Mboh, Neng gak paham.”
“Ya idealisme soal nyuguhi kopi pahit bagi yang pesan, pakai gelas paling imut-imut biar orang yang cangkruk dan mesen kopi gak terlalu berlama-lama di warung saya dengan dalih kopi belum habis.” Seorang si pendobrak meja yang duduk disamping seorang yang bercakap-cakap geli dengan Neng Sri berdiri sembari tangan kanannya merogoh tas ransel kecil yang diselempangkan pada bahu kirinya. Tersembul secarik uang lima ribuan kondisi lungset, seorang itu meletakkannya dibawah cangkir kopi miliknya yang baru saja ngguling itu, tanpa pamit dan beruluk salam pada Neng Sri yang sebenarnya tak pernah perduli dengan ucapan abang-abang lambe, orang itu sepertinya tesinggung dengan percakan lepas di warung kopi siang itu.
Konstitusi memang selarik aturan yang sah karena dihadiri orang-orang tingkat tinggi untuk merumuskannya. Selarik aturan itu kini berubah menjadi hukum setelah cap stempel tanda diresmikannya surat itu diunggah via instagram milik parlemen tertinggi dengan hastag, “cie aturan baru nih!” seorang mendamprat meja dengan entah apa maksudnya,mengedarkan ide tentang orang-orang yang berkeringat dingin selama menjabat untuk menegakan konstitusi, dituduh melalui forum warung kopi sedang merobohkan konstitusi. Maksudnya apa ini.
Tentu baik, niatnya seorang diluar diri kita sedang bercengkrama memperbincangkan apa yang kita (orang-orang didalam rumah parlemen) sedang lakukan. Dalihnya sebuah intuisi sikap peduli tehadap bendera. Alhamdulillah, minimal ia masih peduli. padahal setelah di Surat Keputusan (SK) oleh parlemen di tingkat paling pusat turun melegalkan keputusan struktru baru anggota, batang hidung dan seisi upilnya tak pernah nongol untuk berembuk tentang baiknya, seharusnya, progresifitasnya, idealnya loyalitasnya rumah tempat ia dulu pernah belajar.
Bukan hendak menilai hitam putih orang melalui selasar pungungnya. Yang bisa Kita lakukan hanya melihat latar belakang sejarah dulu ia pernah hidup, unutk melacak arah dan itikad paling murni di hatinya. Ah, cara ini lumayanlah? Ketimbang emosi karena celetukan (mu itu) yang, “mentolo tak idoni lan tak pisui.”
Berkelebatan dua aras pemikiran, yang satu rasa syukur karena sahabat kita masih peduli terhadap kondisi rumah belajarnya, dengan kadar yang ia timbang-timbang sendiri. Ia memilih peduli dengan cara mengkritik dan menghasut dari luar rumah, dari pada ikut gegap-gempita berkeringat dingin (dengan sahabat-sahabat lainnya yang berjibaku ngeramut orang seisi rumah), ngoyo tenogo lan fikiran ngeramut kader atau adik-adik kesayangan kita yang butuh sentuhan hangat agar semangat belajarnya kian tambah.
Yang satu lagi, rasa geram tentang, mbok ya sudah mengumpat orang-orang yang berjibaku didalam rumah, mereka sudah tahu salah dan kelirunya dimana, dan mereka juga sudah mengakui itu semua. Ayo kini tinggal nunggu cangkemmu untuk tandang gawe ditengah terik siang bolong hari sabtu itu, untuk memapah sekaligus mangku buwono adik-adik dan sahabat-sahabat yang tak lama lagi mewarisi dosa-dosa kita yang tak mampu kita lunasi selama menjabat dikepengurusan sebelumnya.
Problem konstitusi kita mengakui kerap kali membuat linglung hati kecil kita, bukan kepalanya, justru karena konstitusi tak pernah utopis diruang ide, ia selalu logis, hanya menunggu itikad baik untuk direduksi menjadi definisi operasional dalam skala-skala kuantitatif itu sudah pantas untuk diimplementasi kedalam urat nadi kehidupan kita berorganisasi. Tapi utopis yang kita sebut itu, teryata bersarang dihati kecil kita, betapa sulitnya hal-hal konkret ini, untuk dimplementasi dengan itikad bersama-sama saling belajar, dan saling mengingatkan. Hingga pada akhinya, karena ketidakmampuan menyelesaikan problem utopis itu, efek negatif merembes ke tulang, sendi-sendi dan tulang tubuh rumah kita. Saling sikut karena berebut ini, saling ludah karena berkepentingan itu, saling damprat kerena takut gak memperoleh ini dan itu.
Kita mengaku salah dengan segala pertimbangan sejarah bahwa konstitui akhirnya pantas dinomorduakan mengingat problem paling fundamental di rumah organisasi kita (seakan-akan sekarat karena terlalu ribet dan beratnya menegakkan pondasi organik itu). Konstitusi dalam situasi kita kini, seakan-akan menjadi pemberat timbangan untuk bisa seimbang menjalankan tugas belajar dan mengemban tanggungjawab. Sungguh rumit bukan, tapi sebenarnya hal itu dilatarbelakangi dengan kondisi kesehatan rumah organsiasi kita juga mengalami sakit dan rasa cemas (mengingat jaman yang semakin menghasut kita untuk lebih mementingkan diri sendiri ketimbang kepentingan komunal). Kita berharap anda, tertuju seorang yang tukang damprat itu, juga memahami problem kita semua yang tinggal di dalam rumah.
Psikoanalisis memang benar-benar berhasil menghsut kita dengan cerita-cerita tentang betapa hebatnya orang-orang atau senior-senior kita terdahulu menghidupkan atmosfer organisasi. Seakan menjadi jalan hidup mahasiswa yang tak boleh ditawar-tawar untuk menegakkannya. Karena pengalaman-pengalaman itu sering kali tersembul dan berkelebatan ditengah-tengah kita. Tapi sadari pula, dinamika jaman dengan segal kerumitan yang membuat proses kaderisai tak bersemangat, hingga membuat para kader malas membaca buku, para kader tak memiliki progresifitas dalam daya analisis dan ghiroh berfikir kritis karena dalih bahwa, “di dalam kelas perkuliahan kita tak butuh itu. Pokoknya sesuai silabus sudah lebih dari cukup.” Kata seorang dosen yang belakangan diketahui dulunya ketika S1 bukan seorang aktivis atau dari dapaur organisasi kampus. Behavioristik itulah yang akhirnya kita, yang hidup disisa-sisa zaman terpaksa berfikir ulang secara secara sehat dengan kognisi yang sistematis, stabil dan dialektis. Bahwa konstitusi, jika penerapannya membuat kita terseok-seok mengganggu cara berjalan kita, maka keputusan mengubah, membongkar dan memikirkan ulang adalah pilihan tepat.
Sabtu sore itu, adalah dimana konstitusi sedang kita dialektikakan dengen problem dan kerumitan organisasi yang kita mengakui sulit untuk mengobatinya. Berkompromi dengan konstitusi, cara kita untuk menjadi manusia yang dinamis dengan tidak menempatkan konstitusi tersebut dalam selubuh pemaknaan yang sempit atau terkesan memberatkan. Justru sabtu sore itu, kita sedang ditunjukkan entah oleh siapa,yang pasti adalah Tuhan, bahwa sistem sosiologi yang bernama kultural angkatan mampu menuntaskan perkara dan hambatan-hambatan yang ada.
Strukturasi sistem yang gerak mekanisnya secara kultural bukan berarti akan merusak atau memberi penyakit pada komponen ideal terukur dan baku dari sistem strukturasi yang telah menjadi hukum konstitusional. Kita hendaknya melihat kultural sebagai tata cara hidup yang memberikan celah pada keluasan berfikir tanpa harus mempertimbangkan perangkat nilai yang cenderung baku. Bukan malah memaknai cara kultural sebagai penyakit alay yang tak sopan mengacau sistem (pemikiran ini sering kita alami). Kultural adalah berupaya mengepung kebijakasanaan yang akhirnya sulit didapat karena upaya-upaya yang bersifat struktural. Cara-cara kultural adalah alternatif perekat dari ketidak seimbangan yang diakibatkan penerapan secara fundamental sistem struktural. Kultural adalah penyambung nyawa mereka yang hampir mati kelindas roda mekanisme sosio-struktural. Etika kultural berhasil menyelamatkan kita yang hidup di dalam rumah organisasi tapi dengan kecemasan-kecemasan yang cenderung kepada psikosomatis. Kapan saat-saat dimana kultural itu akhirnya harus kita gunakan untuk mengentaskan problema, adalah ketika sabtu sore dimana harapan dan umpatan punya peluang sama untuk bertengkar saling berebut tampuk kekuasaan. Hanya dengan bersyukur terhadap keajaiban sabtu sore hari itu, membuat kita (para pengurus demisioner) menjadi ringan hati, sehat fikirannya, dan tak segan meneteskan air mata karena haru setelah sekian lama belajar segala hal yang bagi mereka tak mungkin bisa dibuat pelajaran, ketika hendak berjalan keluar dari rumah dengan melambaikan tangan kepada para penghuni baru yang akan memilki tanggung jawab mulai menghidupi hal ihwal seisi rumah.
Konstitusi akhirnya dalam terminologi yang dialektis, sedang tidak kita hindari, apalagi dengan tendensi untuk merobohkannya. Tapi, yang terjadi pada sabtu sore, konstitusi sedang kita rawat agar senantiasa menjadi tanaman yang tumbuh menjulang, mekar merekah, dengan dedauan yang rindang untuk memayungi setiap entitas, orang-orang (adik-adik, sahabat-sahabat yang semangat belajar) sedang berteduh dibawahnya. (Luhur Pambudi)