Ilmu Pengetahuan Ini, Akan Kau Bawa Ke Mana? (Oleh: Luhur Pambudi)

Bagikan

Jika ditanya, “Bagaimana keterkaitan ilmu psikologi yang anda dapatkan di kampus, ketika diterapkan di ranah profesi tempat magang?” Saya akan menjawab, “Sejak saya mencari dan memilih tempat magang, hingga saya memasuki pintu kantor tempat di mana saya magang untuk pertama kali, ilmu psikologi ikut mengalir bersamaan dengan eritrosit di pembulu darah saya.”

Sontak pertanyaan itu mengejutkan kita. Seakan-akan ilmu psikologi adalah ilmu yang sama dengan keilmuan profesi tukang bangunan atau tukang pangkas rambut. Hanya akan dibutuhkan ketika situasi menghendaki; ketika hendak merenovasi rumah atau ketika hendak menata rambut. Prosesi magang ketika kita menempuh pendidikan strata satu di perguruan tinggi merupakan instrumen penguji kontestasi keilmuan yang telah kita dapat dengan dunia nyata (profesi). Dari sini kita dapat melihat sejauh mana tingkat keberhasilan, diri kita dalam menuntut ilmu dan tingkat keberhasilan perguruan tinggi dalam memfasilitasi mahasiswanya masuk ke dunia profesi. Mungkin saya tidak akan mengabiskan waktu saya untuk mengevaluasi keterkaitan perguruan tinggi dengan ranah profesi saya. Karena kita tahu jika masih banyak yang harus dibenahi dalam penerapan sistem magang yang diterapkan pihak kampus, terutama dalam penyediaan dan prosedur kerja sama antara perguruan tinggi dan institusi tempat magang.

Sedikit saya sampaikan mungkin, perguruan tinggi masih kurang, dalam pernyataan paling ekstrem, perguruan tinggi tidak benar-benar memiliki kapasitas link atau jaringan yang presisi dengan institusi profesional di tingkat swasta atau negara. Hal ini dibuktikan dari, mahasiswa ketika mulai memasuki masa magang justru harus mencari sendiri tempat magang apa yang cocok dengan fokus ilmu psikologi yang ia pilih. Misalkan, psikologi sosial yang harus memilih dinas atau instansi swasta yang bergerak pada pendampingan masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau badan sosial milik negara.

Untuk psikologi industri dan organisasi, mahasiswanya harus mencari perusahaan apa yang sekiranya ilmu psikologi bisa diterakan di sana, entah dalam segi pengembangan para karyawan atau perbaikan sistem kinerja perusahaan. Kemudian psikologi klinis, mahasiswa pada penjurusan ilmu ini berupaya mencari instansi yang lebih menitikberatkan penanganan gejala kejiwaan yang dialami oleh masyarakat seperti instansi pemerintah; rumah sakit jiwa. Kemudian psikologi pendidikan, mahasiswa mencari instansi pendidikan formal seperti sekolah. Selanjutnya, psikologi perkembangan, di sini para mahasiswa yang magang dituntut untuk mencari instansi pada ranah perkembangan dan kesehatan anak yang itu dimobilisasi oleh institusi pemerintah dalam koridor kesehatan masyarakat.

Dari sini kita dapat menilai jika mahasiswa psikologi memiliki prospek yang beragam ketika sudah masuk pada ranah profesi. Namun sayangnya, beberapa masalah kita temukan, yang ini memperjelas bahwa pihak kampus atau pihak dekanat tidak sama sekali memiliki sistem baku yang mengatur secara jelas harus ke mana mahasiswa psikologi nanti magang. Bukan hanya perkara link yang sempit. Dan ini jelas mengindikasikan pihak kampus tidak terlalu peduli juga untuk mahasiswa selepas lulus be-title-kan sarjana. Masalah tersebut kita ketahui dari, mahasiswa harus mencari sendiri secara aktif tempat magang yang ia akan masuki. Sebenarnya ini bagus dan cukup relevan sebagai upaya pembelajaran mandiri mahasiswa. Tapi ini sebenarnya, jika kita perlahan-lahan melihat, adalah suatu bentuk kegagalan dari pihak kampus dan dekanat dalam memfasilitasi mahasiswa atau dalam upaya kerja sama insitusi pendidikan tinggi dan institusi profesional di tingkat negara atau swasta. Akhirnya, mahasiswa mencari sendiri tempat ia harus magang dan bertemu langsung dengan pimpinan tempat magang untuk melakukan perjanjian magang yang sifatnya ini prosedural dan profesional.

Mungkin pihak dekanat dapat berdalih dengan, “Yang penting kita telah membuat surat resmi pernyataan kerjasama dengan bentuk magang di institusi itu?” Tapi cara ini masih dinilai arogan bahkan kurang ajar dan tidak bertata krama, ketika kita menggunakan perspektif; etika dua insittusi yang hendak menjalin hubungan kerja. Saya sangat tercengang dengan pernyataan salah seorang senior, dalam sebuah diskusi hangat di warung kopi, beliau sekarang menjadi pimpinan tertinggi di salah satu media cetak asuhan Jawa Pos Group; Tabloid mingguan Nurani, menyatakan secara terang jika perguruan tinggi yang terbilang cukup tidak beretika dalam upaya menjalin kerja sama profesi di bidang magang media cetak adalah perguruan tinggi UIN Sunan Ampel Surabaya. Bagaimana bisa? Itu pertanyaaan saya. Beliau menuturkan jika kampus itu terbilang tidak serius dalam menjalin kerja sama kelembagaan dengan insitusi saya karena, karena ketika prosedur penandatanganan kontrak kerja sama yang datang cuma mahasiswanya saja, tidak didampingi oleh seorang dosen atau perwakilan dari insitusi kampus yang bersangkutan.

Fungsi dari penandatanganan kontrak kerja sama harus didampingi langsung oleh pihak kampus dan bukan hanya mahasiswanya saja, adalah ketika nanti ada sesuatu hal sifatnya insidentil terkait kinerja, progresivitas mahasiswa magang atau bahkan menyangkut keselamatan mahasiswa magang di tempat kerja. Inilah yang tidak dipahami oleh pihak kampus, kata senior saya. Kalau dalam etika penerapan kerjasamanya saja pihak kampus nampak tidak serius, bagaimana dengan mahasiswanya yang datang ke sini untuk magang secara profesional. Dan ternyata memang terbukti, bahwa mahasiswa yang akhirnya magang di Kantor Nurani kebanyakan tidak memiliki kecakapan yang mumpuni dalam hal penerbitan media cetak, yang ini menandakan jikalau proses belajar mereka tidak selesai di dalam kampus, alias gagal.

Dari sekelumit cerita di atas, menunjukkan bahwa problem serius dalam sistem pendidikan perguruan tinggi UIN Sunan Ampel Surabaya masih banyak yang harus diperbaiki. Di Fakultas Psikologi dan Kesehatan saja, penerapan magang juga terbilang sama kasusnya dengan cerita di atas. Mahasiswa berusaha mencari sendiri dan datang sendiri untuk menyodorkan kontrak kerja sama dengan institusi tempat magang. Ada sekelumit cerita baru yang cukup riskan dari sahabat-sahabat saya yang berada di penjurusan psikologi industri dan organisasi, ketika hari di mana penjadwalan proses magang itu harus sudah telaksana, ketika saya tak sengaja berkelebatan di ruang bagian keuangan fakultas, dua sahabat saya ketika saya konfirmasi ternyata belum juga mendapat tempat magang. Saya bertanya, “Apa masalah ini sudah didiskusikan dengan dosen bersangkutan di penjuruan atau dengan pihak program studi di dekanat?” Mereka menjawab, “Sudah, dan dosen (yang bersangkutan) masih berusaha mencarikan perusahaan apa yang masih bisa, dan kita juga hingga sore hari ini berusaha mencari sendiri.” Lanjut saya menanyakan, “Bukankah kalian mencari tempat magang juga sama-sama dengan teman yang lainnya, bagaimana mungkin hanya kalian berdua saja yang masih belum juga mendapat kejelasan tempat magang?” mereka menandaskan, “Iya benar, tapi semua perusahaan yang sudah kami taruh surat kontrak permohonan kerjasama magang tidak merespon sama sekali hingga hari ini.

Dan teman-teman yang lainnya bisa langsung magang di perusahaan yang mereka pilih bukan hanya lantaran mengandalkan surat secara administrasi saja, tapi mereka mengandalkan bantuan dari orang kenalannya atau orang dalam untuk memasukkan mereka.” Ia menambahkan. “Ya, ada memang salah seorang teman yang dibantu oleh salah satu dosen kita, ya gitulah? Tapi tidak dengan kita.” Dari sini kita dapat mengetahui jika pihak dekanat perlu mengadakan sebuah koreksi besar-besaran, tentang  nasib para mahasiswanya dalam proses magang. Tapi tunggu dulu, ini masih dalam prosedur magang, bagaimana jika mereka para mahasiswa paska lulusan dengan gelar sarjananya. Apakah perguruan tinggi telah menyiapkan telinga untuk mendengar jeritan sengau mereka, atau barangkali, berani membuka mata lebar-lebar melihat para sarjananya yang lulus hingga hari ini menganggur tak tahu bagaimana ia harus berjalan dengan ijazah dan gelar yang menggelayuti leher mereka.

Sepertinya saya harus bercerita ini pada kalian yang membaca, kalau, tiga hari yang lalu salah seorang senior saya yang baru lulus dan diwisuda pada bulan Februari tahun 2016 lalu, dengan gelar sarjana psikologi (S.Psi) menghubungi saya. Sebenarnya beliau hanya menanyakan kabar organisasi yang dulu ia pernah pegang, apakah dalam penerbitan jurnal paska ia demisioner masih tetap konsisten terbit. Saya cukup senang dengan pertanyaan itu, sepertinya senior saya itu setelah lulus masih tetap ingat dan peduli dengan tempat belajar organisasinya dulu. Tapi tak lama perbincangan kita beralih, tiba-tiba ia menanyakan tentang apakah ada lowongan pekerjaan yang masih memungkinkan bagi sarjana lulusan psikologi.

Dan saya menjawab, dengan sedikit melampirkan permohonan maaf bahwa saya kebetulan tidak memiliki kabar atau informasi tentang lowongan pekerjaan untuk sarjana. Namun saya menjanjikan jika nanti ada informasi tentanng lowongan pekerjaan untuk sarjana psikologi saya akan share, dan hanya itu yang bisa saya pastikan ke beliau. Jawaban itu sebenarnya cukup gundah saya haturkan, untuk  sebuah pertanyaaan yang nyinyir pula. Setelah percakapan singkat melalui media sosial itu, saya kembali bertanya dengan diri saya yang masih menjalani masa kuliah. Apakah itu adalah masa depan saya, ataukah itu adalah kenyataan paling benar tentang masa depan kita para mahasiswa yang masih menempuh proses kuliah? Tanda tanya itu kerap menjelma bak celurit yang melingkar merangkul leher saya, seakan hendak digoroknya.

Kalau hendak bicara tentang korelasi ilmu pengetahuan psikologi dalam dunia profesi, yang itu berangkat dari seseorang di luar diri kita yang bertanya tentang apa ketersambungan ilmu dan profesi di magang? Saya pikir itu pertanyaan primitif, jika kita hendak menilainya dengan paradigma berfikir kebermanfaatan ilmu bagi kehidupan nyata. Dan sebagaimana keterangan kita di awal, bahwa ilmu harus menjadi value dalam keseharian kita; sedari kita bangun tidur hingga kita tiba saatnya tak diperkenankan untuk membuka mata oleh Sang Pencipta. Dari sini sebenarnya, selesaikan dulu kebingungan anda dengan bertanya, “Letak ilmu ada dimana?”

Maksud hati yang hendak saya sampaikan di sini, kita tak perlu meragukan bagaimana ilmu itu kita tempatkan dalam kehidupan kita. Karena kita hidup saja sebenarnya ilmu pengetahuan itu tengah mengalir di urat nadi leher kita. Pertanyaannya, apakah kita menyadari itu? Ah, mungkin istilah tersebut beraroma metaforis, namun pertanyaan tentang, “Ada di mana Tuhan itu sebenarnya?” menunjukkan bahwa metafora itu adalah tanda tanya penting, dan diperjelas dalam Al-Quran. Dan seperti harus dijawab dengan kentus, bahwa, “Tuhan itu dekat, sedekat urat nadi mu.” Dari sini, apakah masih pantas kita bertanya dengan suku kata yang terlampir dalam pertanyaan demikian?

Kembali dengan pertanyaan di awal. Tentang bagaimana korelasi ilmu pengetahuan, yang konteksnya ini adalah ilmu psikologi, dengan ranah profesi, ketika di magang. Sungguh, saya justru menarik dengan apa yang melatarbelakangi seseorang yang mengutarakan pertanyaaan itu. Seakan ilmu psikologi dikatakan berhasil ketika dalam penerapannya mampu diterima di dalam dunia profesi atau pekerjaan. Dari sini sebenarnya kita bisa saksikan secara seksama jika, orang yang bertanya demikian menggunakan cara berfikir yang melihat secara khusus “ilmu untuk kerja” secara harfiah demikian, tapi tak lama kita akan disudutkan dengan bentuk lain cara berfikir yang sama variannya yaitu “ilmu untuk uang”. Kenyataan ini memang cukup mencengangkan, untuk sebuah kemurnian ilmu pengetahuan. Yang akhirnya teredusir dalam corak kehidupan paling sempit, absurd, dangkal atau senonoh yaitu profesi, kerja dan uang.

Kita dapat ikuti alur paradigma yang membentuk konstruk pemikiran seseorang yang bertanya itu, melihat apa yang mereka tanyakan. Seakan ilmu pengetahuan hanya akan berlaku saat dimulainya jam kantor pukul 08.00 WIB pagi hingga pukul 15.00 WiB sore di perusahaan, sekolah, kampus, institusi, instansi pemerintah atau lainnya. Ilmu pengetahuan seakan-akan tidak lagi dipercaya sebagai sesuatu hal yang menyelamatkan, mencerahkan, dan menyegarkan, jika belum menghasilkan uang. Pada akhirnya cara berpikir falasi ini menyudutkan kita sebagai seorang mahasiswa, jika selama empat tahun kuliah dengan gelar sarjananya tidak dapat menghasilkan uang yang nyata dalam bentuk gaji, akan dinyatakan sebagai manusia yang gagal. Apa ini? Cara berpikir macam apa ini? Cukup membuat kecewa memang, jika ternyata pertanyaan itu muncul dari mulut mereka yang memberikan ilmu dalam meja perkuliahan di ruang-ruang kelas.

Kendati demikian, sepertinya tidak pantas bagi kita untuk sakit hati terhadap mereka (prinsip tawadu’ harus kita terapkan diberbagai macam situasi), dan mengapa harus sakit hati? Wong kita tahu kalau orang-orang itu (manusia yang bertanggung jawab atas pintar tidaknya ‘kita’ mahasiswa di ruang perkuliahan) mengalamai kekeliruan berfikir akut, hingga mereka tak sadar memunculkan pertanyaan-pertanyaan demikian di hadapan ilmu pengetahuan.

Ilmu adalah ketika niat untuk menyebarluaskan kebaikan yang terlampir dalam kalimat yang terucap sewaktu perkuliahan, mampu merubah manusia-manusia yang mendengar menjadi tahu tentang apa yang baik dan apa yang benar. Prinsip ilmu akhirnya menjadikan manusia dalam tingkatan paling ma’rifat; mengubah perilaku manusia menjadi lebih baik esok hari dari pada hari ini. Dan ilmu itu ada sekalipun manusia yang mendengarnya tidak akan mengubris, barang satu kata. Dan ilmu itu adalah ketika seorang mahasiswa bertanya tentang hal yang ia tidak mengerti, melalui media sosial atau SMS pukul 21.00 WIB malam di hari libur (weekend), seorang dosen itu tetap menjawabnya, tanpa memungkiri atau menolak, dengan dalih family time.

Rasa-rasanya kita tahu apa yang membuat orang itu beradab. Bukan karena bakat mementaskan dramanya, atau menulis naskah dan skenarionya, atau bakat seni lainnya, yang akhirnya membuat budaya itu ada. Bukan itu, sepertinya. Manusia akhirnya dikatakan beradab ketika ilmu pengetahuannya menjadikan dirinya lain dari yang tak pernah tahu apa-apa. Bukan tentang orang yang lulus dengan gelar “apa”. Tapi, ia telah berbuat apa setelahnya. “Berbuat apa setelahnya?”, artinya setelah kita dapat ilmu pengetahuan baru lantas apa yang kita akan lakukan. Jelas dari sini kita tak memiliki pilihan lain selain mempraktikkannya untuk diri kita, syukur-syukur bermanfaat bagi orang lain.

Akhirnya saya tahu kalau sebenarnya kita ini sama saja. Tidak memiliki apa-apa. Tidak pantas bangga dengan yang ada, kita tak pernah ada pembeda, bahkan tak pantas membeda. Karena Socrates terang menandaskan, “Kita sebenarnya tidak pernah tahu apa-apa?” (Luhur Pambudi)

Penulis adalah Mahasiswa Semester 8 Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya 
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.