Dan Sastra Yang Menjawab (Oleh: Luhur Pambudi)
Membiasakan diri dengan cara-cara yang tak lazim dalam memaknai, merupakan sebuah pertaruhan penting dari aktivitas berkehidupan manusia. Nampaknya hanya dengan begitu upaya memaknai hidup menjadi benar-benar bermakna. Dalam dunia seni misalnya, Umar Kayam, saya tak pernah kenal dan tahu betul dengan beliau, hanya sebatas hasil membaca di internet sebagai seorang Dosen Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang pernah bermain peran di film Karmila. Hanya saja yang paling saya ingat mengenai sosok Umar Kayam, dalam sebuah diskusi Maiyah yang direktori oleh Emha Ainun Nadjid (Cak Nun) sedikit mengisahkan tentang Pak Umar Kayam dengan sedikit pula aroma kritik yang berbalut satire sebagai seorang yang hanya sepeda-sepeda’an, karena ia berangkat ke kantor ketika itu kebetulan menaiki sepeda ontel, yang hanya ia genjot berjarak belasan meter saja mendadak diekspos media nasional besar-bearan esok harinya, dengan tajuk; Umar Kayam ke kantor dengan bersepeda ontel. Atas segala hasil interpretasi dari pembaca media tersebut, yang sebenarnya memiliki konstruk pemaknaan, agar Umar Kayam dimaknai oleh pembaca sebagai seorang yang low profile, proletar dan merakyat. Cak Nun menganggap aktivitas ngontel Umar Kayam tak lebih dari sebuah pencitraan yang tak benar-benar sungguhan mewakili kebenaran. Bahwa Umar Kayam tidak benar-benar ngontel, hanya sekedar ngontel-ngontelan.
Pertanda busuk itu akhirnya kita endus setelah Cak Nun melanjutkan ceritanya yang berhasil membuat para mahasiswa Universitas Maiyah Nusantara terpingkal-pingkal, seorang benama Arjo yang belakangan adalah tukang kebun di rumah Umar Kayam ternyata telah lebih dari 35 tahun ngontel dari rumahnya ke rumah Umar Kayam, untuk merawat rumput dan koleksi kembang majikannya. Nyatanya tak pernah sekalipun pers nasional pernah memberitakan tentang aktivitas bersepeda ontelnya, yang benar-benar ngontel. Jika kita berani mengadu antara Pak Arjo dan majikannya Pak Umar Kayam, kita akan tahu, mana yang sebenar-benarnya ngontel dan ngontel-ngontelan.
Yang pasti bukan hanya itu inti dari cerita lucu Cak Nun mengisahkan sosok Pak Umar Kayam dan Pak Arjo. Namun kehidupan, nyatanya memang kerap kali kita ketahui demikian, ada yang benar-benar ngontel karena telah terbukanya kesadaran tentang pentingnya hal ikhwal yang substansial. Daripada yang sekedar formalitas seperti orang yang ngontel-ngontelan.
Perkenalan saya dengan Pak Umar Kayam hanya sebatas itu, sebagai seorang pelajar yang masih hidup di tahun 2017. Umar Kayam adalah sebuah nama dari seorang yang rajin menulis, kaya imajinasi, berani unjuk kritik, luas cakrawala ilmu, dan yang pernah berpengaruh pemikirannya di media tahun awal kemerdekaan hingga tahun 80-an, bahkan hingga sekarang bagi kalangan sebagian kecil orang yang mengikuti sejarah. Entah apakah di tahun 2017 sekarang para penulis-penulis muda yang berjibun banyaknya, dan menjamur popularitasnya, akibat mudahnya mencetak buku pakai uang pribadi dan murahnya mendaftarkan nomor ISBN di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenalnya? Atau mengetahui karya tulis dan segala bentuk warisan intelektualnya? Atau hanya sebatas mengenal Umar Kayam sebagai penulis di zaman tua, jadul dan tak perlu diingat-ingat lagi karena sudah begitu lama bukunya dicetak dan disebarluaskan ke khalayak. Ah, betapa benar zaman hanya sebatas perahu yang mengantarkan penulis sebagai nelayannya untuk berangkat melaut ke arah ufuk dan menepi di pesisir pantai. Mengantarkan mereka yang berangkat melaut dikarenakan usia yang muda, wajah tampan, rupawan, energik, baru, dan trending topic, hingga pada akhirnya mereka (yang kita sebut muda) memaksa mereka yang lainnya (para generasi tua) harus menepi karena renta, tua, usang, norak, dan tak diminati lagi. Umar Kayam adalah mereka yang perahunya (hendak) menepi, atau yang ditepikan oleh zaman. Dan para penulis muda di tahun 2017, yang simposium bukunya menjamur dihelat di auditorium kampus-kampus terkemuka, adalah mereka yang perahunya tengah berangkat melaut.
Saya sendiri termasuk salah seorang yang pantas digolongkan sebagai orang-orang generasi muda di tahun 2017, meskipun saya bukan penulis yang punya banyak tulisan hingga dijadikan buku, karena saya benar-benar tak punya karangan buku pribadi, nomor ISBN, atau penggemar bahkan. Dan saya benar tak mengenal Umar Kayam hingga pada suatu sore saya menjumpai sebuah buku tipis, dengan kertas berwarna kuning kecoklatan terkesan usang, cover buku itu berwarna merah merona, ada semacam motif gambar yang benar-benar tak lagi jelas bergambar apa karena memudar dan telah copot dari isi bukunya, dengan judul Tifa Budaya di tumpukan buku kantor redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ara Aita. Mendadak buku itu menjadi penting bagi saya pribadi lantaran, saya melihat ada nama Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya, Nurcholish Madjid yang disapa akrab dengan Cak Nur, dan Umar Kayam tertulis di halaman-halaman depan hingga ke daftar isi. Itulah awal perkenalan saya dengan Umar Kayam, secara akrab melalui satu saja karangan esainya.
Sejenak benak saya menjadi sesak, mereka adalah penulis, pemikir, pengamat sosial, kritikus segala aspek kehidupan bangsa, perancang budaya, tukang kebun kebudayaan bangsa, dan orang-orang yang turut mencerahkan bangsa di periode awal kemerdekaan, yang tentunya bagi kita generasi di tahun 2017 tak banyak kenal dan tahu mereka itu siapa. Bagi kalangan mahasiswa penggerak kesenian teater di kampus-kampusnya, akan sangat familiar dengan nama Putu Wijaya sebagai seorang yang menginspirasi tentang bagaimana tata letak sebuah setting pementasan yang sederhana dan mengena bagi para penikmat, skenario dan penulisan naskah yang sederhana nan lugas untuk sebuah penampilan teater, mahasiswa yang bergerak di ruang kesenian kampus entah dari angkatan 66 hingga angkatan 2017 mustahil tak mengenal beliau. Juga, Sapardi Djoko Damono, cukup dikenal dan berpengaruh bagi anak-anak sanggar teater, tentang bagaimana sajak-sajak harus ditulis dengan cara yang bijaksana dan tentunya bertanggungjawab sebelum dibaca orang. Sapardi Djoko Damono juga cukup eksis dan masih mampu untuk berwajah modern dan segar untuk generasi tahun 2017. Bagi dikalangan para penulis-penulis newbie, “Eyang Sapardi” (seorang sahabat diskusi saya sering menyebut demikian) dikenal karena kerancakan puisi dan sajak-sajak yang menggetarkan jiwa-jiwa muda yang rentan kasmaran.
Kemudian Cak Nur seorang yang dikenal seringkali dikafir-kafirkan oleh orang-orang dari kelompok Islam ekstrem kanan yang kita sebut takfiri, karena pemikirannya diklaim terlalu liberal untuk memisahkan perkara-perkara agama dan hajat-hajat penting negara. Di dalam buku yang jelas usang itu, karena terbit di tahun 1981, ia menulis yang saya suka sebut sebagai esai bagaimana etika memimpin dan kepemimpinan itu harus berjalan ditengah-tengah masyarakat. Perspektif budaya pemikiran filsafat modern dalam melihat kepemimpinan yang berintegritas oleh Cak Nur, hendak reduksikan dengan kebutuhan gelas budaya Indonesia yang telah disimbolkan menjadi Negara Pancasila. Dan Umar Kayam baru saya kenal dari pembacaan saya atas tulisan beliau di dalam Tifa Budaya, tentang seorang seniman yang tak mungkin akar rumputnya tercerabut, kendati dalam proses penciptaan karya seni itu sendiri, seorang seniman harus senantiasa dapat menjadi dinamis menghadapi tuntutan pemesan.
Menjabarkan sekelumit aforisme dari seorang esais, Susan Sontag dalam Tifa Budaya terbitan Leppenas (1981), tentang sebuah karya seni, entah apapun bentuknya, hendaknya oleh pembaca atau para penikmat untuk dibiarkan saja berbicara dengan tata krama, gramatika, metodologi, kosakata, unggah-ungguh karya seni itu sendiri. Tanpa perlu ada interpretasi pemaknaan berlebihan. Jika karya itu berupa tulisan atau bahasa yang akhirnya kita sebut sastra, maka biarkan kalimat sastra itu bercakap-cakap ala kadarnya tanpa harus ada maksud menyampaikan pesan kebenaran dari si penulis. Jika karya itu adalah lukisan, maka biarkan kanvas dengan segala silang sengkarut cat minyak warna-warni menggoreskan garis-garis simbol yang ala kadar maknanya. Jika karya itu adalah musik, maka dentingan, gesekan, tabuhan dan lengkingan biarkan saling berkelindan merecoki telinga para pendengar. Namun, satu esensi dasar dari karya itu, kata D. H. Lawrence, “biarlah cerita itu bercerita sendiri.”
Sepertinya kita tengah diingatkan bahwa pemaknaan, dalam dunia seni sekalipun, akhirnya terletak pada bagaimana simbol yang menjelma dalam karya (seni) buah karsa seorang seniman itu, dapat ditangkap oleh seorang penikmat menggunakan simbol itu sendiri. Si empunya atau si pembuatnya tak perlu lagi menjabarkan tetek bengek segala maksud dan kebenaran dari substansi karya yang ia ciptakan. Apalagi membuat seminar nasional di kampus-kampus untuk membahasakan kembali maksud produk tulisannya dengan cara ceramah yang tanpa diskusi. Namun, tentunya pandangan demikian sangat tergantung sekali, sebuah karya seni hasil kasa seniman, dipahami maksud dan substansi pesan yang mengendap didalamnya, berdasarkan kualitatif pemikiran, paradigma, perspektif dan sudut pandang isi kepala si penikmat. Akhirnya si narasumber di sebuah seminar nasional yang dihadiri oleh para mahasiswa baru berkata, “karya saya terserah mau dimaknai bagaimanapun bentuknya, terserah penikmat, bebas.”
Dalam pertimbangan tertentu, tepatnya menggunakan prinsip dasar kebebasan, akan menjadi sah-sah saja dan tak masalah. Karena hasil cipta, rasa dan karsa dari seorang seniman, ketika sudah terbakukan menjadi sebuah produk karya seni, apapun itu jenisnya, ketika telah ada sepasang mata dari pengunjung pameran menangkap menggunakan indera penglihatan hingga nanti akan dihantarkan melalui sistem saraf, oleh jejaring dendrit, akson, beserta mekanisme lengkap neuron, impuls listrik tersebut secara simultan akan menuju reseptor memori sensori di otak. Maka dari situ segala bentuk gagasan, interpretasi, dan pemaknaan adalah sepenuhnya menjadi milik penikmat. Proses neurosains-kognitif ini menandai secara de facto bahwa seorang seniman, si pencipta karya, tidak lagi memiliki hak atas karya yang telah ia ciptakan. Bagaimana mungkin.
Pandangan filosofis akan membantu kita untuk memaknai bahwa kepemilikan ide, gagasan, dan pemikiran status legal formalnya hanya berada di wilayah pribadi dari self si pembuat (seniman), wilayah tersebut merupakan wilayah yuridis pribadi dari si pembuat (seniman) tanpa ada orang lain perlu merecoki. Tentunya proses penemuan ide gagasan dan pemikiran tersebut, hingga pada akhirnya terciptanya seni adalah proses batiniah, rohaniah, dan psikologis dari diri si pembuat dengan Tuhannya. Dalam penjelasan lain, dimensi sosiologis tidak sedang berlaku untuk memperbincangkan tahapan pembuatan sebuah karya, yang itu membutuhkan tirakat yang mesra sifatnya. Gus Mus pernah tercengang dengan proses kreatif dari Budidarma yang ternyata, proses pembuatan berlembar-lembar tulisan untuk kemudian menjadi buku karangannya, tidak lebih dari aktivitas tak sadarkan diri dari otaknya yang otomatis memerintah kedua tangannya untuk mengetik tulisan. Bagaimana bisa ia menulis dengan begitu rancak, konsisten, istiqomah dan substansial seperti itu, ia menjawab, “tidak tahu. Saya juga bingung dan sulit menjelaskan, pokoknya saya tiba-tiba nulis saja gitu.”
Pertautan batiniah dan rohaniah yang konstelasinya berada dalam sistem besar transendental manusia dengan Tuhannya juga menjadi landasan fundamenal aktivitas berkesenian. Keterlibatan Tuhan tidak perlu lagi disangsikan, apalagi harus repot-repot menyeretnya secara epistemologi sains yang sekuleristik. Cukup pahami saja bahwa gambar, lagu, kata yang (kau) sengaja ciptakan bukan berarti murni dirimu sendiri yang mencipta, tapi ada hal lain yang sangat mempengaruhi, “hal lain” itu akhirnya, di lima abad sebelum masuk masehi para pemikir sebut sebagai the other.
Karena pandangan dari D. H. Lawrence itu akhir-akhir ini saya harus menyempatkan diri untuk memikirkan ulang, sepertinya (agak) keliru juga, ketika seorang cerpenis sekaligus penyair perempuan yang sudah saya anggap sebagai sahabat saya dalam bertukartambah perspektif, dengan sengaja saya ajak untuk memperbincangkan; apa, isi, pesan dan maksud dari sajak-sajak yang ia buat dan dipamerkannya di profil whatsapp media sosialnya. Dengan berangkat dari aras pemikiran yang berlainan dari D. H. Lawrence, bahwa sastra kendati dalam pemahamannya bukanlah upaya mengutak-atik bahasa, harus mampu mewakili dengan sungguh-sungguh maksud, isi, dan pesan dari si penulis. Perempuan (sahabat saya) itu sampai pada suatu pernyataan, “sebegitunya ya arti dari sajak yang saya buat.” Akhirnya saya sadar dalam satu pandangan tertentu, sebenarnya tidaklah penting saya harus mendedes dengan se-begitu lebay-nya, dengan bertanya, “apa itu maksud dari sajak yang kamu buat? Apakah benar seperti itu pesannya? Kok bisa begitu artinya?” Setelah membaca sajak ciptaannya (perempuan, sahabat saya itu). Karena sudah cukup jelas, bahwa interpretasi, makna, pesan sekaligus kebaikan dari sebuah karya seni adalah hak prerogatif dari seorang penikmat, setelah membacanya. Seharusnya saya menyadari bahwa interpretasi dan pemaknaan yang telah saya dapat dari membaca sajaknya sudah sangat cukup bagi saya untuk tak lagi bertanya-tanya tentang maksud sesungguhnya dari sajak yang ia tulis. Betapapun itu pemaknaan yang dapat si pembaca tangkap, kurang lebih adalah kebenaran yang sesungguhnya ingin benar-benar si penulis haturkan. Mungkin akibat ketidaksempurnaan bahasa, sajak yang mestinya harus lugas, tandas dan sesuai dengan sasarannya (mewakili makna yang hendak disampaikan), tak akan menjadi masalah selama rohaniah, asa dan rasa tengah bersetubuh untuk melakukan tadabbur pemaknaan yang diinginkan si penulis kepada si pembaca.
Bahkan cukup naif saya pikir, jika saya mengingat diskusi waktu itu, seakan menjadi kegundahan dalam diri saya pribadi. Seakan ada yang bertutur kata lugas dibenak saya, “cukuplah kau nikmati untaian kalimat-kalimat yang ia pungut dari perca-perca vokabulari perbendahaan bahasa di hemisfer kiri otaknya. Toh, kalaupun jelek, apa iya kamu mau mengumat pada si penulis (sahabat saya) dengan serentetan kosakata dan gramatika penduduk pribumi kebun binatang Surabaya. Kan tidak?”
Sastra tak ada ukuran keliru, baik, buruk, jelek, naif, jorok. Bahkan kata Putu Wijaya, “ Bosan atau betah. Mengerti atau tidak mengerti. Ketawa atau mengumpat-umpat.” Seni adalah pergumulan secara utuh, jernih, fundamental, substansial, primitif, telanjang, holistik, murni dan kemenyeluruhan dengan kehidupan. Hanya dengan seni kita dapat mengetahui seorang seniman apakah telah bermanunggaling dengan Tuhan, lingkungan sosiologis tempat ia tinggal dan manifestasi batiniah psikologis di dalam dirinya. Mirip, sebagaimana Umar Kayam berkisah tentang Mandra seorang pelukis tradisional dengan gaya lukisan Klungkung dari Kamasan, daerah Klungkung-Bali, yang dikenal sebagai seorang biasa yang semrawung dengan orang sedesa, dan dikenal sebagai pelukis dengan karya, yang bukan ekspresionis tapi menggugah, oleh pejabat sekelas Presiden Direktur Bank di Swiss. (Luhur Pambudi)