Keadilan Tak Merata, Di Tanah yang Telah Merdeka
Judul: Bumi Manusia;
Penulis: Pramoedya Ananta Toer;
Penerbit: Lentera Dipantara;
Tahun terbit: September 2005;
Kategori: Roman;
Jumlah halaman: 535 Halaman;
ISBN: 979-97312-3-2;
Peresensi: Deasy Meirendah Chikita.
Minke merupakan pemuda priyayi yang beruntung. Di zamannya, hanya orang-orang terpilih saja yang dapat bersekolah sampai tingkat tinggi setara-SMA-di H.B.S sekolah khusus anak belanda. Di usia yang masih muda, Minke sudah memiliki pendidikan setingkat anak-anak Eropa. Meski dari keluarga kerajaan jawa asli, pemikiran dan cara pandang Minke sudah tidak njaweni lagi. Ia menjunjung tinggi ilmu pengetahuan pasti yang telah diajarkan guru-gurunya yang didatangkan dari berbagai belahan bumi Eropa ini.
Malah justru, Minke cenderung tidak menyukai budaya-budaya pribumi yang pada waktu itu sangat membatasi pemikiran-pemikiran bebas dan merdeka. Dan memang pada saat itu kedudukan pribumi ialah yang paling rendah dalam kehidupan sosial di Hindia Belanda―Indonesia. Suatu ketika Robert Suurhof―teman sekolah Minke―mengajak Minke untuk ikut menemaninya ke rumah Robert Mellema―seorang teman Indo―yang memiliki perusahaan pertanian.
Disinilah kisah sesungguhnya dimulai. Robert yang sengaja mengajak Minke guna memamerkan keagungannya sebagai seorang anak Belanda, malah dibuatnya kalah telak. Pasalnya, Suurhof yang datang guna memikat hati Annelis―adik Robert Mellema―yang mana hatinya justru didapatkan oleh Minke. Annelis yang merupakan Indo―lahir dari seorang Ibu Pribumi dan Ayah asli Belanda―lebih suka menyebut dirinya asli pribumi. Hal itu yang membuatnya memiliki kesan pertama baik terhadap Minke.
Pertama, karena memang tidak pernah ada tamu datang berkunjung ke rumah Tuan Mellema kecuali mitra kerja. Kedua, tamu yang datang berasal dari orang pribumi, sama seperti ibunya. Minke, yang awalnya ketakutan setengah mati akan diusir secara tidak humanis dari istana itu―rumah yang keterlaluan bagusnya sampai layak disebut istana―malah disambut hangat oleh Nyai Ontosoroh dan gadis cantik peranakan pribumi belanda itu, ya meskipun tatapan dari sang kakak nampak sinis dan acuh.
Mulanya, Minke merasa takut berurusan dengan keluarga Nyai-nyai. Paradigma di masyarakat mengenai kehiduapn seorang nyai sangatlah negatif. Namun, Nyai Ontosoroh berbeda jauh dengan apa yang di-stereotip-kan masyarakat sekitar. Ia begitu anggun, cerdas dan berwibawa―meskipun sama sekali tak pernah mengenyam pendidikan formal. Romansa Minke-Annelies penuh dengan cerita melankoli yang haru biru. Dimulai dengan gundahnya Minke sebagai pemuda pribumi, apakah mungkin memperistri anak seorang Nyai, belum lagi ia dari keluarga priyayi yang ayahanda hendak menjadi Bupati.
Kemudian di H.B.S pun begitu pula, semua mulai terasa beda. Ketika itu Minke telah dirumorkan menjadi simpanan nyai-nyai dan berita memang sengaja disebarkan oleh teman Minke sendiri―Suurhof―lantaran cemburu cintanya pada Annelies yang kecantikannya melebihi Sri Ratu Wilheim bertepuk sebelah tangan. Sampai kisah Minke dikejar-kejar si Gendut―pembunuh bayaran Robert Mellema―perkara takut harta warisan akan melimpah kepadanya. Lagi-lagi karena masalah keluarga Mellema. Iya, Tuan Mellema sudah lagi tak waras, dan semua perusahaan yang menghandle adalah Nyai Ontosoroh.
Awal mula keluarga ini terbentuk pun cukup tidak wajar. Nyai Ontosoroh dahulu merupakan anak seorang pribumi pegawai negeri yang ingin naik jabatan ke menteri keuangan. Sampai hati ayahandanya sendiri rela menjualnya ke Totok guna menaikkan pangkat ayah sebagai seorang menteri keuangan. Sejak saat itu Nyai bertekad tidak akan bertemu dengan keluarganya lagi yang tega menjualnya. Ia diajari banyak hal oleh Tuan Mellema, mulai baca-tulis sampai mengurusi perusahaan.
Keluarga sudah begitu tenangnya, perusahaan lancar, namun tiba-tiba muncul konflik baru. Seorang pria perawakan khas eropa datang ke rumah dan mengaku anak dari Tuan Mellema. Ia menuntut hak-haknya sebagai anak yang sah dimata hukum. Dan situlah titik tolak balik Tuan Mellema sudah tidak lagi waras, Robert pun tampak tak peduli pada perusahaan dan ibunya. Ia benci menjadi pribumi, sampai hati tak akui ibunya sendiri. Satu-satunya yang bisa diajak berkerja tuk melanjutkan usaha pertanian ini hanyalah Annelies semata. Ia dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Meskipun dapat diandalkan, akhirnya kepribadian Annelies rikuh dan kekanak-kanakan. Ia begitu manja dan bergantung pada Minke, sampai jatuh sakit ketika Minke tak kunjung pulang ke Wonokromo―rumah mereka.
Belum sampai disitu, ada masalah lagi dengan polisi mengenai, ayahanda Annelies yang mati dengan luka dimana-mana di rumah plesiran tetangga yang juga menyeret Minke dan Darsam―juru pukul keluarga Mellema―yang mendapati mayat itu tergeletak pertama kali. Robert yang juga tidak tahu pergi kemana tidak kunjung muncul dan ia juga Babah Ah Tjong―pemilik plesiran―menjadi terdakwa kasus matinya Tuan Mellema. Minke akhirnya dikeluarkan dari sekolah, ayahanda sudah tak mau mengakuinya lagi karena sudah terlibat dengan polisi, dimana posisinya saat itu adalah bapak bupati. Sampai pada akhirnya sekolah mau menerima Minke kembali akibat tulisan kritisnya mengenai Totok, Indo, Pribumi, dengan syarat ia berada di tempat yang berbeda dengan kawan seusianya.
Setelah lulus H.B.S Minke bertekad untuk menikahi Annelies. Ia mengundang teman-teman di sekolah juga gurunya. Magda Petters―gurunya, Asisten Residen kota B dan banyak orang menaruh harap pada Minke, untuk dapat mengubah nasib bangsanya sendiri. Karena saat ini hanya ia satu-satunya yang bisa dan pantas menjadi contoh bagi kaum jawa kelak, sebagai tonggak perubahan. Bahwa pribumi juga bisa maju. Pribumi juga bisa mendapat hak yang sama sebagaimana kaum totok dan indo di negeri sendiri.
Setelah menikah pun masih ada saja halangannya, Annelis diambil paksa oleh kakak tirinya-dengan bantuan hukum yang sah tentunya-, dengan alasan ia menjadi hak milik keluarga sah Tuan Mellema, begitu juga dengan seluruh warisan dan harta kekayaan yang ada di Wonokromo, Surabaya. Semua usaha Nyai dan Mellema selama ini diambil begitu saja secara tidak adil oleh mereka kaum yang dianggap terpelajar dan beradab, namun kenyataannya sama sekali tidak berperi kemanusiaan.
Minke dan nyai tidak berhasil memenangkan pengasuhan Annelies di persidangan, Annelies pun akhirnya dibopong ke Belanda. Semua hukum serasa kebal pada mereka para kaum Eropa dan Belanda tapi begitu tajam pada kaum pribumi ini yang dianggap fana. Lantas dimana letak keberadaban mereka, ketika memperlakukan manusia sahaja masih tidak bisa sama rata di zaman yang–katanya―sudah hilang perbudakannya.
***
Kisah ini diambil dengan setting waktu akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, dikemas tragis namun tidak terlalu melankolis. Minke sebagai tokoh utama dalam novel Bumi Manusia karya Pram, yang ditulis dalam sudut pandang orang pertama menambah kesan magis tersendiri, seolah-olah para pembaca didongengi langsung oleh sang empunya kisah kasih dua sejoli ini. Persoalan-persoalan kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, hingga masalah diskriminasi yang dialami oleh manusia pribumi seperti Minke, tak terkecuali Nyai Ontosoroh pun di ulas menarik menggambarkan kondisi sesungguhnya nusantara kala itu.
Kebudayaan jawa yang masih kental, dimana sebagai anak dilarang membantah, harus menyembah leluhur tua dan merasa rendah diri diantara kamu Belanda namun sangat bangga akan gelar kerajaan ditengah-tengah kaum milik mereka, diilustrasikan dengan baik oleh Pram pembaca menyelesaikan roman ini. Untuk mendapatkan hak yang setara rasa-rasanya tidak mungkin didayaguna. Sebab semua hukum sah hanya dapat diberlalukan bagi kaum-kaum Belanda dan Eropa. Pribumi sama sekali tidak mendapatkan haknya sebagai manusia bebas di Hindia Belanda, hal ini tergambar jelas ketika sang pribumi direndahkan oleh mereka-mereka yang dengan bangganya mengaku punya nama keluarga.
Lagi-lagi pribumi hanya menjadi budak pemuas keinginan mereka. Dilarang menikah dengan sah secara hukum, dilarang berpendapat dengan bebas, dilarang melawan hukum yang kata-katanya demi kemaslahatan bersama. Masih terdapat penjajahan meski tanpa darah menyeruak. Penjajahan itu penjajahan batiniyah, yang memang tidak nampak namun terasa sampai ke aliran darah.