Antara Kepasrahan Total atau Kompensasi Rasa Kesal (Oleh: Luhur Pambudi)
Bagaimana bisa tega melihat seorang kiai mendadak berjalan dengan nyeker setelah keluar beberapa ratus meter dari batas suci emperan langgar Al-Muhajjirin siang itu. Beberapa santri dan para jemaatnya, mengira itu adalah kadar kualitatif marifatullah dari kiai yang terlampau tinggi hingga dinalarpun sulit, jika diteruskan menalarnya tak mustahil gila. Seakan sudah menganggap alas kaki sebagai entitas material yang katanya menindas keterbutuhan manusia menjadi ketergantungan, lantas menganggap mbah kiai adalah model prototipe dari waliyullah yang wajib ditiru, digugu, dan jangan diguyu tingkah lakunya.
Sepertinya bukan beberapa orang yang mengira demikian, sepanjang bertapak tilas kiai dari langgar pulang ke rumah tak beralaskan sendal, sembari menjawab uluksalam dari setiap orang, entah jemaat, santri atau tetangganya yang bermaksud bertegur sapa, padahal sedikit banyak ingin meluapkan rasa prihatin dan kebingunganyan, “loh si mbah kok gak pakai sendal dari masjid. Jangan-jangan,” kata mereka didalam hati, yang berassalamualaikum dihadapan kiai. Ada yang mengawali kegundahan mereka siang hari itu dengan tetap berassalamualaikum, tapi tetap didalam hatinya bergumam “subhannallah si mbah ternyata.”
Para tetangga yang berfikir demikian sebenarnya tak bisa dikatakan murni mendadak berfikir dengan corak yang lebih halus tanpa memfitnah bahwa mbah kiai sudah mulai agak sedeng dengan menganggap, “waduh, mbah kiai sudah mulai sepuh makin pikun ini rupanya.” Ada kemungkinan berfikir dengan corak yang begitu rupa, tak mustahil pula, bahkan lebih kejam dari yang kita pikirkan, “nah, makin tua makin tak tau diri ya kayak gini nih.” Tapi sepertinya tak sampai kesana beberapa santri yang bertawadu’ dengna berjalan dibelakang mengekor mbah kiai membisik lirih di dekat telinga para tetangga yang telah menyapa mbah kiai dengan menyebarkan informasi bahwa, ”subhannallah lahaulla walakuwatailla billah mbah kyai tengah mengajarkan kita untuk hidup sederhana tanpa harus berfikir macam-macam soal hidup. Lihat saja kaki beliau tanpa sandal kan? Ini sudah tingkat tinggi ibadahnya gak cuma syariat, thariqat atau sekedar hakikat.”
Akhirnya para tetangga yang baru saja dibisikki informasi demikian, mendadak urung menfitnah kiai dengan argumen yang berlandaskan epistemologi dari kondisi umur, kepikunan, dan sindrom-sindrom penyakit yang lazim mendera orang lanjut usia (lansia). Dengan menggeser sekelebat corak befikir dikepalanya dengan ucapan, “subhannallah subhannallah subhannallah.”
Sebuah pembahasaan ulang dari sebuah gejala seorang manusia lansia yang beridentitaskan status sosial yang didapat dari masyarakat desa, sebagai seorang kiai, bukan sekedar didapat karena surat keterangan (SK) lembaga negara tingkat desa sebagai tukang dakwah, di siang bolong agak berawan tapi tetap panas, mendadak pulang dari langgar desa tanpa beralaskan sendal di kedua kakinya. Menjadi tanda baru yang sepertinya akan menjadi simbol baru pula yang patut sesegera mungkin diberi istilah oleh para santrinya yang tiap hari nderes kitab kuning ba’dha isyaan berjamaah bersama mbah kiai. Gejalanya adalah seorang mbah kiai pulang tanpa alas sendal, tandanya adalah perilaku seorang waliyullah dan istilah dari tanda itu bernama wujud nyata kematangan spiritualitas-kerohanian yang teraksentuasi pada akhlakul karimah yang super nyeleneh. Pembahasaan ini akan cukup mudah oleh para santri tangkap untuk pahami tanpa harus berfikir hipotetik, atau macam-macam atas perilaku mbah kiai. Tapi yang jadi masalah adalah, para tetangga atau jemaat yang kadang-kadang istiqomah hadir untuk nderes, kadang-kadang istiqomah pula untuk absen nderes-nya karena kecapekkan menuntaskan tugas mengabdi diri pada negara sebagai pegawai negeri atau karena serangan masuk angin akibat terlalu lama duduk diruang ber-AC kantor, itu biasanya tak tahu menau tentang pembahasaan dari gejala, tanda, istilah dari mbah kiai yang rumahnya bertetangga dengan mereka.
Mempercakapkan tentang pendidikan yang gaya santri pesantrenan yang tak sengaja digunakaan secara substansial dalam managemen ketakmiran langgar Al-Muhajirin, karena langgar tersebut bukanlah pesantren, para jemaat yang telah lama nderes berjibaku mengais ilmu dari kealiman seorang kiai, mendadak hatinya tergetar dengan gemuruh nada denyutan yang menyempaikan pesan bahwa, “saya kok merasakan diri saya mirip santri.” Yang tentunya wajib beramarmakruf dan tentunya nahi mungkar secara sosiologi lingkungan masyarakat desa, paska ilmu dari nderes kitab ditransformasikan setiap malam dengna kontinuitas ikhtiar, konsistensi tinggi, dan presisi. “Model pendidikan macam apa ini? Gak kenal Saya,” tanya seorang berparadigma modern, yang tak melihat apakah disitu ada kurikulumnya, ada Satuan Acara Pendidikan (SAP-nya), silabusnya, jadwal pertemuan tiap harinya, ada absensinya, ada standar kompetensinya, ada ujian tiap semesternya, ada iuran tiap bulannya, ada rapot tiap awal dan akhir semesternya.
Tidak ada yang bisa membantah untuk sekedar menjawab argumen itu, biar si penanya kenyang dianggap kritis, dianggap aktif dan dianggap progresif bagi semua peserta diskusi. Karena toh apapun jawabannya, si penanya tak pernah mau berendahhati untuk menerima argumen-argumen irrasional yang ia sering hujat itu. bahwa cara belajar pesantren tak membutuhkan itu semua, pada akhirnya. Karena argumen itu bersumber dari paradigma yang menempatkan alat indera sebagai penentu ilmu pengetahuan yang mutlak dan sah masuk ke dalam diri manusia itu sendiri. Artinya, prasyarat ilmu adalah dapat dilihat, dirasakan, diraba, didengar, dan dihirup aromanya berdasarkan tugas pokok alat indera manusia. Tanpa itu, akhirnya tindak-tanduk dari seorang santri yang mengenyam hidup dan belajar di pesantren tak terkecuali tindak-tanduk dari mbah kiai di siang bolong itu menjadi kudapan hangat oleh mereka yang bermaterialisme cara befikirnya, dimaknai sebagai perilaku yang irrasional untuk dikuliti atas dasar pemaknaan, kebaikan dan kebenarannya.
Namun apakah kita pernah berfikir jika cara befikir materialisme itu syarat akan kecacatan metodis? Apakah tak pernah befikir jika cara berfikir materialisme itu sarat akan kekeliruan penafsiran? Bagaimana jika cara befikir materialisme digunakan menjembatani pembahasaan kita akan perilaku yang kalian sebut aneh dari mbah kiai. Betapa tak lagi penting sandal, alas kaki, pelindung sikil dan hal ihwal penangkal kotoran yang cara pakainya dibuntel ditelapak kaki. Kok bisa-bisanya kiai menanggalkannya untuk suatu alasan yang tak pernah kita ketahui kejelasannya. Jawaban dari cara berfikir demikian adalah gejala dari seorang kiai yang demikian aneh perilakunya tergolong sebagai abnormalitas sosial jika dilihat berdasarkan status ontologi kesehatan mental manusia. Atau dalam penafsiran yang cukup arogan, paradigma materialisme akhirnya terjebak pada hipotesis dari gejala kiai yang nyeker sebagai seorang gila yang tak ada bedanya dengan mereka yang korup, mereka yang sakti mengganda uang, ataa mereka yang ahli perbendaan pusaka-pusaka yagn sarat akan kekuatan metafisik di pinggiran kota Banyuwangi atau Lamongan.
Materialisme tak ubahnya sesuatu hal yang memberatkan kita dikemudian hari mengakibatkan manusia menjadi gampang tersedak atau angop dibuatnya. Kalau tidak percaya, buktikan saja! Betapa sering meterialisme membuat kita tersedak karena ketergantungan dan angop me-manunggaling-kan benda-benda menjadi ghirroh self esteem dalam diri manusia belakangan ini.
Di abad modern yang nyaris tak mungkin kita pisahkan batas post dan most modernnya, unsur kebendaan yang mampu disetubui oleh panca indera adalah ukuran dari segala sesuatunya, akhirnya menjadikan, jika tidak demikian, apa yang jenengan perbincangkan dimeja diskusi, warung kopi atau dimeja perlemen, adalah bernilai mitos, kabur, berandai-andai, pada tingkat keparahan paling akut dianggap sebagai kegilaan semata.
Juga menjadi mustahil jika kita mau membantah, kalau bendanya saja tak mungkin bisa kita pegang, kita lihat atau kita jilat asam garam rasanya, mustahil mau berkata pakai klausul horizon pengetahuan mana untuk mencari penjelasan, pengertian, pemahaman dan pemaknaan. Hanya seorang santri yang mampu menjembatani cara befikir tentang marifatullah dari kiainya itu, hingga ditularkannya kepada para tetangga, para jemaat atau para pendatang yang tak tahu apa-apa perihal kiainya itu. Cara befikir santri merupakan cara befikir holistik yang merangkap segala unsur dialektika kecenderungan befikir dari pembagian karakter berfikir ala barat; berfikir khas orang awam, befikir khas filosofi, berfikir khas akademis yang serba empiris. Nah, santri adalah ketiga-tiganya mampu menyerap, mengelaborasi, mengabstraksi hingga membakukannya menjadi model-model dasar, besar,lugas, dan sederhana yang bisa dirangkainya menjadi sebuah file microsoft office power point. Tentu akhirnya kita tak lagi ragu jika, seorang tetangga yang tak tau menau logika dasar sinau gaya pesantren pada akhirnya tak menolak atau tak menegasi penjelasan seorang santri tentang kelakuan aneh dari mbah kiai.
Cukup dengan mentadabburii gejala itu hingga berbuah pemaknaan baik, tanpa harus berpangkal pada konstelasi baku dan awam tentang hal yang disebut “benar”, yang penting menambah iman. Perilaku mbah kiai yang aneh itu, tak berlama-lama menjadi buah bibir hingga ke seberang desa. Atau seberang kecamata. Kalau bisa jangan sampai terlalu jauh di tingkat kabupaten atau di tingkat provinsi. Yang menjadi katakutan para santri jika tidak sesegera mungkin pers realise yang berisikan penjelasan positif bahwa perilaku kiainya adalah perilaku lumrah, dan tak ada sangkut pautnya dengan kesaktian atau keampuhan doa, untuk disebar secepatnya. Bisa-bisa mendadak kiainya itu ramai didatangi para pejabat eselon 4, menteri, staf birokrasi, ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa DEMA, ketua partai politik untuk nyuwun suwuk kesuksesan perkara-perkara dunia.
Makrifat adalah hal yang tak mungkin bisa dinalar oleh para pegawai negeri ipil (PNS), guru sekolah dasar SD, pedagang sayur, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), karyawan pabrik yang tinggal bertetangga dengan mbah kiai. Melihat mbah kiai yang tak beralaskan sendal setelah pulang sholat jumat, terpeliharalah cara berfikir alim dari para tetangga melalui pengetahuan yang diselipkan melalui pers realise santri-santri beliau. Tadabbur menjadi pertaruhan paling fundamental dan tak kalah murni dan suci kata Cak Nun untuk mencari kebaikan dari setiap hal tindak tanduk dunia dan peradaban yang dianggap tidak baik bagi ukuran rasionalitas materialisme. Padahal para tetangga, jemaat bahkan santri dari mbah kiai sedang salah sangka. Memaknai perilaku mbah kiai yang terlampau jauh sampai membentur langit-langit hirarki spiritualitas manusia yang beragama.
Bukan itu maksud dari mbah kiai, jikalau memang ada sebuah ungkapan bahwa seorang kiai juga gemar sekali menggoda para santri-santrinya dengan perilaku aneh-aneh nyaris gila, sekalipun didalamnya termuat substansial pendidikan karater kehidupan yang arif dan bijak, andaikan mampu mentadabburi. Tapi lebih kepada kepasrahan total untuk memaknai keadaan bukan sebatas konstruksi dunia yang bayangannya nyata, tapi sebenarnya fana.
Sendal mbah kiai ternyata hilang disinyalir dicuri orang, kendati ada hak prerogatif yang super resmi untuk dirinya sebagai si empunya sendal untuk misuh-misuh, atau dengan cara lain mencari kompensasi sendal pengganti mumpung masih belum terlanjur sepi langgarnya. Tapi mbah kiai tak memilih itu semua. Ia memilih untuk memberikan pembelajaran bagi siapapun saja yang kebetulan melihatnya yang sebenarnya tengah terkaget-kaget, tapi direduksi dalam uluksalam kepada dirinya yang pulang tanpa sendal, bahwa kepasrahan total itu yang paling penting dalam kehidupan. (Luhur Pambudi) Penulis adalah Mahasiswa Semester 8 Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya