Konspirasi Sosial & Humanisme dalam “Novel Cinta”

Bagikan

Judul: Konspirasi Alam Semesta;

Pengarang: Fiersa Besari;

Peresensi: Qanita Zulkarnain;

Penerbit: mediakita;

Terbit: 2017;

Halaman: vi + 238 Halaman;

Ukuran: 13×19 cm;

ISBN: 978-979-794-535-0.

“Seperti apakah warna cinta? Apakah merah muda mewakili rekahannya, ataukah kelabu mewakili pecahannya?”

Konspirasi Alam Semesta, yang disingkat “Kolase”, merupakan anak kedua dari Fiersa Besari yang akrab disapa “Bung” setelah kelahiran buku best-seller­nya, Garis Waktu, pada tahun sebelumnya. Isi buku yang dikemas dalam kisah cinta dewasa awal dalam bentuk novel ini memberi banyak kejutan. Pada halaman-halaman awal buku, Bung menghanyutkan pembaca dalam kekacauan semesta dalam diri Juang, sang tokoh utama, saat bertemu pujaan hatinya untuk pertama kalinya. Dikemas dengan bahasa puitis yang menyenggol perasaaan pembaca, buku ini nyaris terasa seperti novel cinta remaja di deretan rak buku elektronik di situs baca-tulis online.

Meskipun begitu, jika dicermati lebih dalam, Bung sudah memberi sinyal kekuatan karakter Juang dari awal kisah. Juang bukan sekedar pria pencari jati diri yang kelimpungan disana-sini. Dalam ulasan mengenai latar belakang keluarga Juang di bab menuju pertengahan kisah, Bung menjabarkan sejarah dan pemikiran serta pesan-pesan mengenai kejadian kurang menyenangkan yang terjadi selama masa kecil Juang yang merupakan dampak dari sisi kejamnya Orde Baru, dimana Ayah Juang adalah seseorang yang dicap “kiri”, sehingga masa kecil Juang penuh dengan cibiran masyarakat mengenai diri dan keluarganya. Juang kemudian tumbuh menjadi seorang berandal demi menyelamatkan harga diri keluarganya karena Ayahnya yang tergolong keras hanya mengambil sikap diam saat diinjak masyarakat. Nyaris karena pengalaman masa kecil yang tak menyenangkan, nyaris karena urusan masa lalu yang tak selesai antara keluarganya dan masyarakat, Juang menjadi seseorang yang keras dan kritis menilai kehidupan dengan segala trauma yang ia alami.

Pikiran kritis Juang juga terdeskripsikan dengan apik saat ia mengambil pilihan untuk mendokumentasikan Sejarah Papua, yang nantinya berujung pada kerumitan intrik politik dan prinsip warga negara yang tak mengakui kewarganegaraannya. Penggambaran Bung mengenai Papua tergolong jelas dan detail, sehingga pembaca dapat merasakan menyusuri indah sekaligus ironinya daerah di wilayah timur Indonesia tersebut. Selain memperkenalkan daerah yang jarang disebut-sebut namanya, Bung juga menggambarkan betapa terkadang stigma bisa menjadi kejam, ketika menyangkut penilaian baik dan benar berdasarkan generalisasi tanpa pandang bulu. Dalam bagian yang sama, Bung juga menyelipkan pesan bahwa pertemanan bahkan persaudaraan dapat tercipta dimana saja dan bagi siapa saja. Bukan tentang latar manusia – tapi seperti apa masing-masing manusia itu. Tujuh milyar manusia di muka bumi dan tak ada yang sama.

Berlatar profesi jurnalis yang memiliki arah hidup menuju abstraksi, Juang yang merupakan seseorang yang menolak rutinitas dan normalitas tetap memiliki sisi melankolis dalam dirinya yang terlihat sekeras batu. Di saat ibunya harus mengalami masa sulit, Juang yang pertahanan dirinya setinggi langit menjadi runtuh tak bersisa. Di bagian ini Bung berusaha merasuki pembaca untuk merenungkan eksistensi kedua manusia yang menjadi perantara adanya kita di dunia dan memaknainya sedemikian rupa.

Mengenai kisah cintanya, kisah Juang tak hanya sekedar penerimaan dan pertahanan komitmen kedua insan, namun juga tentang penerimaan diri masing-masing Juang dan Ana – sang pujaan hati. Tentang Juang yang hidup dalam semesta yang ia cipta, sedangkan Ana mencari semesta untuk tinggal menghabiskan usia. Tentang bagaimana diri menjadi diri ketika melawan arus demi mempertahankan pemikiran dan prinsip. Tentang membuat keputusan dalam waktu sulit mengenai pergi atau tinggal, mengenai melupakan atau bertahan, mengenai pilihan dan keputusan.

Konspirasi Alam Semesta pada awalnya adalah sebuah album musik yang lahir pada 2015 dan dilahirkan kembali pada April tahun ini dengan menggandeng sebuah kisah yang diberi judul yang sama. Walaupun karya tulis berbentuk buku yang kedua ini berbeda dari yang pertama, Garis Waktu yang merupakan catatan perjalanan Bung selama beberapa tahun, esensi permasalahan sosial, humanisme dan filosofi yang diselipkan tetap dapat diperoleh dalam rangkaian kata dalam bahasa yang ringan.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.