Buka (Buku) Bersama: Berbagi dan Diskusi Ngabuburit Literasi

Bagikan

Ngabuburit dan Buka Bersama telah menjadi sebuah agenda yang membudaya di bulan Ramadhan. Masih dalam suasana Ramadhan, Jumat (9/6) LPM Solidaritas memanfaatkan momen ini dengan mengadakan ngabuburit sambil bedah buku sekaligus buka puasa bersama yang dikemas dalam acara Buka (Buku) Bersama.

alamtarapersma.com – Kesadaran akan pentingnya membaca menjadi hal yang penting, terutama dikalangan mahasiswa yang mana berperan sebagai agent of change sebuah negara. Di era globalisasi sendiri minat membaca buku ilmu pengetahuan intelegensi maupun karya sastra literasi bersaing dengan berbagai macam hiburan media sosial masa kini. Di UIN Sunan Ampel misalnya, dari hasil kuisioner google form yang diadakan oleh LPM Solidaritas beberapa waktu lalu menyatakan bahwa rata-rata minat membaca buku mahasiswa UIN Sunan Ampel hanya bekisar 1 sampai 2 jam saja, sedangankan rata-rata  aktif di sosial media sekitar 5 sampai 6 jam.

“Kebetulan kami kemarin membuat polling tentang minta baca mahasiswa dan bersosial media, meski menurut saya sendiri yang mengisi polling belum cukup merepresentasikan seluruh mahasiswa UINSA, cuman sementara kami dapatkan mahasiswa UINSA lebih lama bersosial media 5-6 jam daripada membaca buku yang mana hanya 1-2 jam saja,” Ungkap Iqbal, Pimpinan Umum LPM Solidaritas yang dihubungi kru LPM Alam Tara pada Sabtu (10/6) melalui WhatsApp.

Dilansir dari antaraNews.com bahwa Kota Surabaya telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagai Kota Literasi pada tahun 2014 silam. LPM Solidaritas yang merupakan Pers Kampus UIN Sunan Ampel Surabaya pun ikut andil dalam mengembangkan literasi Surabaya dalam ranah kampus dengan menggelar acara Bedah Buku sekaligus ngabuburit Jumat (9/6) silam di samping selatan Sport Center UIN Sunan Ampel.

Event bedah buku pertama LPM Solidaritas ini sengaja diadakan dalam rangka menggiatkan lagi kesadaran para pemuda Surabaya untuk melek literasi. Dihadiri oleh sekitar 30 mahasiswa dan mendatangkan langsung penulis dari buku yang akan dibedah, yaitu Buyung Pambudi. Ia menulis novel based on true story dengan judul “Cinta di Kaki Bukit Baiyun” yang berceritra tentang kisah perjalanan perjuangan seorang suami dalam menemani sang istri (almarhumah) melawan penyakit kankernya. Baiyun sendiri berarti ‘awan putih’. Nama Baiyun diambil dari nama bukit yang mana di lembahnya terdapat rumah sakit tempat almarhumah istri penulis sempat berobat.

Buku ini tidak membicarakan cinta sebagai cinta yang dikenal remaja pada umumnya, namun cinta secara lebih luas. Hal ini berangkat dari pengalaman Cak Buyung yang juga ia goreskan dalam bukunya mengenai cinta seorang dokter kepada pasiennya dan perawat kepada pasiennya sehingga pelayanan yang diberikan benar-benar membekas di hati Cak Buyung. Bagi Cak Buyung sendiri, melalui buku ini ia sekaligus memberi kritik terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia yang menurutnya sangat berbeda dengan pelayanan kesehatan di Goangzhou, China, tempat almarhumah istrinya di rawat. “Di Indonesia, saya belum pernah melihat seorang dokter menangis untuk pasiennya. Itu kan betapa cintanya seorang dokter terhadap pasiennya.” Tutur Cak Buyung.

Selain mengkritisi pelayanan kesehatan di Indonesia, buku yang awalnya ditulis Cak Buyung hanya untuk dokumentasi pribadi ini juga menceritakan tentang pengalaman menetap di Goangzhou untuk pengobatan almarhumah sang istri dan kenangan pribadi Cak Buyung dengan almarhumah. Buku ini terbit berkat desakan teman-teman Cak Buyung. “Awalnya saya menulis ini, saya print, sebagai warisan untuk anak saya, bukti kalau ayahnya mencintai ibunya.” Kisah pria yang merupakan demisioner LPM Solidaritas itu.

Alasan mengusung buku ini di bedah buku pertama LPM Solidaritas ini pun karena ingin mengedukasi dan memberikan pola pemahaman baru dimana ketika kita sedang dalam kondisi paling down pun kita masih bisa bermanfaat buat orang lain dengan membagikan pengalaman kita lewat menulis. Dengan menulis kenangan yang berhargapun kita jadi menghargai arti sebuah pengalaman sesungguhnya.

“Sehingga kami ingin menunjukan kepada civitas akademika UINSA secara khusus jika kita bisa membagi pengalaman kita tentang suatu hal dengan menulis, meski dalam keadaan yang sangat genting, namun kita bisa mengabadikan momen tersebut sebagai sebuah pelajaran untuk diri sendiri dan orang lain dan abadi,” Terang mahasiswa Prodi Sastra Inggris semester enam tersebut.

Acara ini juga diramaikan oleh Cak Dewo, editor sekaligus teman dekat Cak Buyung. Dengan pembawaannya yang khas, Cak Dewo memberi tips pemasaran buku kepada forum. Menurutnya, karya yang membawa pembaca kepada emosi sedih akan cenderung lebih laris di pasaran karena menarik empati pembaca. “Kalau mau bukunya laku, jangan tulis cerita bahagia. Tulis cerita yang sedih.” Selorohnya.

Walaupun hanya dihadiri oleh persentase kecil mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, Iqbal tetap optimis dapat bangkitkan minat literasi di dalam kampus. “Meski ada beberapa yang tidak hadir, namun saya cukup optimis di bedah buku pertama ini. Nantinya mungkin bisa bangkitkan literasi di UINSA bersama pers se-kampus,” tambahnya.

Acara buka bersama yang dikemas dengan diberi tambahan bedah buku ini pun memberikan kesan unik tersendiri. Ngabuburit ditambah kajian keilmuan seperti ini harus sering dilakukan, agar acara-acara tidak hanya sekedar dihabiskan tanpa ada tujuan yang jelas, hal ini juga dirasakan oleh Hamam sebagai salah satu peserta acara Bedah (Buku) Bersama.

“Kalo menurut saya acara kemarin bagus ya. Disamping mendapat ilmu kepenulisan langsung dari seorang penulis, juga bisa merekatkan kebersamaan lewat bukbernya. Acaranya juga dikemas santai, jadi lebih enjoy dan menikmati jalannya acara.” Tandasnya.

Memang semua hal dapat dibagikan dengan sharing, dan salah satunya ialah dengan menulis. Semoga dengan menulis sendiri kita dapat saling menginspirasi dan memberi energi baik satu sama lain. (cc,oni)

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.