Peraih Mimpi di Tengah Diskriminasi
Judul Film: The Chorus;
Peresensi: Deasy Meirendah Chikita;
Genre: Drama, Musik, Pendidikan;
Durasi: 98 menit;
Produser: Christophe Barratier;
Penulis Naskah: Christophe Barratier dan Philippe Lopes-Curval;
Negara: Prancis;
Bahasa: Prancis;
“Ketika harapan yang selama ini kita kira akan pupus di persimpangan, ketika cita-cita yang selama ini kita bayang menghilang melayang-layang, dan ketika kita menyangka semua telah sampai pada akhir, disitulah sebenarnya arti kata ‘ilmu yang bermanfaat’ menjadi nyata. Sama seperti kisah film The Chorus, dimana cita-cita seorang guru, yang dulunya ingin menjadi seorang kondektur handal, akhirnya malah mendapatkan lebih, menjadi seorang pelatih kondektur handal,”
Film yang berasal dari negara Perancis ini mengambil alur flashback. Scene pertama yang ditayangkan dalam film The Chorus adalah potret landscape dari banyaknya penghargaan seorang konduktor musik klasik yang bernama Pierre Morhange, yang kemudian disusul dengan datangnya orang asing yang mengaku sebagai salah satu sahabatnya di asrama masa kecilnya, Fond de l’Étang. Sebuah asrama yang hanya berisikan laki-laki yang dianggap bermasalah bagi orang-orang sekitar.
Di awal cerita kita akan diajak kembali ke masa 1949, masa dimana Pieree Morhange untuk pertama kalinya bertemu dengan sosok yang mengubahnya menjadi orang yang seperti saat ini. Ia bernama Clément Mathieu, kepala asrama baru yang juga merangkap sebagai seorang guru. Sebelum menjadi seorang guru, Mathieu dulunya adalah seorang musisi dan karena beberapa alasan, Mr. Mathieu sudah tidak ingin mengorek-orek masalalunya, terutama masalah musik.
Di hari pertama masuk ke asrama, Mr. Mathieu sudah disuguhi beberapa contoh sikap para murid yang bisa dibilang usil, seperti kelakuan jebakan kaca di ruang kebun milik Chabery – penjaga asrama, sampai mengambil tas kerjanya di hari pertama kerjanya.
Namun, Mr. Mathieu memiliki cara mendidik yang berbeda dengan kebisaan sekolah ini mendidik. Ia memiliki cara tersendiri untuk mengatasi mereka, yaitu bukan dengan aksi-reaksi yang diterapkan oleh Mr. Rachin, kepala sekolah yang memiliki tipe cara mendidik semacam terapi behavioral milik B.F Skinner atau Pavlov.
Mr. Mathieu lebih menerapkan sistem pendidikan karakter yang dicetuskan Noddings, seperti yang ada di dalam scene pertengahan dimana Morhpange memberi jebakan di kebun milik Chabert yang sampai membuatnya harus menjalani perawatan dari dokter agar matanya tidak cedera, malah diselamatkan oleh Mr. Mathieu dengan tidak melaporkannya pada Mr. Rachin, dan lagi si bijak Mathieu memilih menyelamatkannya, namun dengan tegas juga tetap meminta pertanggung jawaban atas sikap Morphange dengan menyuruhnya merawat Chabert sampai sembuh.
Perlahan tapi pasti, metode pembelajaran karakter ini terus diterapkannya, sampai akhirnya cita-citanya menjadi seorang kondekturpun tercapai. Mathieu merangkul mereka, memberikan contoh mengenai pembelajaran yang tegas dan bersahabat dalam waktu bersamaan. Ia yang dari dulu ingin karyanya dimainkan, akhirnya berhasil membuat paduan suaranya sendiri dengan para murid-murid yang dianggap bermasalah itu.
Bahkan, semenjak hadirnya Mr. Mathieu mereka menjadi anak-anak lebih bisa diatur. Morphange yang awalnya dicap sebagai anak berwajah polos namun paling bandel, ternyata memiliki bakat terpendam dalam dunia tarik suara, dan akhirnya menjadi penyanyi solo di paduan suara Fond de l’Étang. Itulah titik awal dalam kehidupan Morphange yang dapat membawanya seperti sekarang.
Di akhir cerita, film ini menampilkan scene dimana seorang guru yang begitu berjasa bagi muridnya ternyata meninggal tanpa ketenaran apapun. Berita kematiannya bahkan tidak banyak didengar oleh murid-muridnya sendiri. Dan kabar duka itulah yang disampaikan Pepinot – salah satu sahabatnya di asrama, ia datang dengan membawa semua kenangan yang telah lama tak terngiang.
Opini
Film yang di adaptasi dari film tahun 1945 berjudul A Cage of Nightingales (La Cage aux Rossignols) ini mengajarkan bagaiamana pentingnya peran sekolah, pendidik dan keluarga dalam proses belajar seorang anak. Di dunia ini tidak akan pernah ada anak yang disebut sebagai anak ‘nakal’. Semua anak itu sama, yang mereka butuhkan adalah kasih sayang dan pengertian. Ketika kita dapat mengerti alasan dibalik perilakunya, maka sejujurnya tidak ada anak yang berniat ingin menyakiti atau melukai orang lain.
Film yang berhasil masuk Academy Awards ke-77 dan dinominasikan untuk Best Foreign Language Film dan Best Original Song ini juga mengajarkan bagaimana kenakalan tidak selamanya harus diberi hukuman fisik, bagaimana pengenalan potensi anak-anak didik sangat penting bagi setiap guru yang memang pantas disebut sebagai seorang guru.
Seperti halnya Mr. Mathieu yang tidak pernah bercita-cita sebagai seorang guru, namun sangat berdedikasi ketika menjadi seorang yang biasa kita sebut dengan Guru, yang tidak hanya mendidik tetapi juga memberikan pelajaran-pelajaran kehidupan sesungguhnya. Sesosok guru yang mendidik dengan kelembutan dan ketegasan dalam saat yang bersamaan.