Ku Lepas Kau dengan Bismillah
Oleh: Ratna Deviana*
“Mencintaimu… sebagai bagian terindah di hidupku, tak ku biarkan kau tak bahagia” salah satu bait lagu yang biasa aku dengarkan di ponselku, lagu favorit yang hampir seluruhnya mencerminkan isi hatiku. Kata orang mencintai dalam diam itu menyiksa, harus menahan sekuat tenaga agar dia tidak menjauh.
Benar memang saat aku mengenal Ridwan semuanya terasa indah. Aku selalu menikmati tiap kebersamaan kita. Sungguh dia salah satu anugerah terindah dari Tuhan. Mungkin perasaan ini tumbuh karena kita sering bersama.
Ridwan, lelaki berkacamata yang mampu meluluhkan hatiku. Cuek tapi dia sangat menawan. Ketaatannya pada agama yang membuat hatiku tersangkut padanya, bahkan ketika dia jauh dari pandanganku, jiwaku menggeliat liar merindukan dirinya.
Maaf Ridwan, tak bisa ku tunjukkan perasaanku padamu, bukan karena ku tak cinta, justru aku sangat menyayangimu, aku tak mau menodai dirimu dengan dosa, aku pun tak mau menyaksikan engkau mempertanggungjawabkan semua dihadapan Ilahi segala kesalahanmu apalagi itu karena diriku.
Sore harinya persis saat selesai rapat tema aku menahan dirinya untuk merevisi liputan kami. Terasa hangat sekali saat udara dingin menusuk kulitku dan percikan air hujan membahasi jilbab ku. Dia duduk disampingku karena kami satu tim. Semakin sore semakin deras hujan yang mengguyur kampusku, semakin dalam pembicaraan kami berdua.
Dalam lembaga jurnalis, Ridwan adalah wartawan baru, aku yang mengajaknya bergabung karena saat itu dia tak mengikuti kegiatan apapun. Aku mengajaknya karena jurnalistik butuh pemikiran seperti Ridwan, dia cerdas, kritis dan kemampuannya tak perlu diragukan lagi.
Ketahuilah Ridwan, mencintaimu dalam diam bukan perkara yang mudah, harus kutahan sekuat tenaga setiap rasa yang menggeliat di dadaku. Aku pun tak ingin kita berdua terjerumus dalam jurang dosa hanya karena menuruti nafsu belaka.
“gimana Ridwan, revisinya ada yang sulit?” tanyaku penuh harap. “oh enggak kok, ini udah hampir selesai” jawabnya dengan ramah. Jujur saja, ada genderang perang di dalam jantungku saat dia ada di sisi ku.
Tiba-tiba dia tersenyum padaku. “kamu kenapa senyum-senyum?” tanyaku sambil memandangi wajahnya. “hari ini aku lagi bahagiaaaa banget” jawabnya dengan senyum yang berseri-seri. Hanya rasa syukur yang bisa menggambarkan perasaan ku saat itu, ku katakan dalam hati “Alhamdulillah, akupun ikut bahagia kalo kamu bahagia, sayang”. “emang ada apa kok kamu bahagia banget?” tanyaku. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“ini… dateng ya” dia mengulurkan undangan pernikahan yang begitu indah. Berbalut pita emas dan tertulis namanya dengan gadis lain. Seketika semuanya berhenti, aku hampir tak sanggup lagi menahan tubuh ku yang lemas. Mati-matian ku tahan senyum getir, detak jantungku serasa berhenti dan air mata ku sudah tak kuat ku tahan di bendungan kelopak mata.
Ya Allah, sakit rasanya. Tidakkah dia tau ada hati yang menyimpan cinta begitu besar untuknya. Aku hanya menghela nafas panjang dan berusaha menenangkan diriku. “dia, gadis yang selama ini aku cintai, Alhamdulillah Allah menyatukan kami” sambungnya sambil tersenyum bahagia. Aku sudah tidak tahan berada disampingnya, ku ambil handphone ku dan berpura-pura mengangkat telepon dari ayahku.”halo assalamualaikum yah… oh okee aku pulang sekarang”. “Ridwan, sorry aku harus pulang, baru di telpon ayahku” kataku sambil membereskan berkas redaksi. “lohh… kenapa… ada apa… jelasin dulu”, tanyanya sambil menahan barang-barangku. “sorry nggak bisa aku jelasin” aku langsung menyeret tas ransel ku dan segera pergi ke kelas Vanessa, sahabat yang sudah ku anggap seperti saudara.
Untungnya dia sedang sendiri. Ku peluk dia erat-erat, ku tumpahkan seluruh air mataku di pundaknya, hingga dadaku terasa sesak, menahan setiap amarah dan cemburu yang melebur jadi satu. “hey… ada apa… kok kamu nangis…” tanyanya penuh kebingungan. Vanessa mengangkat tanganku yang membawa surat undangan dengan posisi terbuka. Vanessa pun ikut terkejut saat dia membaca nama Ridwan bersanding dengan wanita lain. Semakin tak dapat ku tahan air mata ku, semakin sesak rasanya dada ini.
Vanessa mencoba memelukku dan menahan tubuhku yang hampir jatuh. Ia menyuruhku duduk dan mengambilkan segelas air untukku. Vanessa menghela nafas panjang dan memeluk surat undangan itu, lalu dia mengusap pundakku dan mengatakan dengan lembut “Devi, aku tau persaanmu” katanya dengan tenang sambil mengusap air mataku. “ketahuilah sahabatku, terkadang kenyataan memang tak sesuai harapan. Saat sesuatu yang kita tunggu tak di takdirkan untuk datang jangan khawatir, Allah tak akan membiarkanmu bersedih” sambungnya. “ta..pii… sakit…. Van…” ucapku menahan sesak. “iyaa, aku ngerti.
Bukannya Allah tak menjawab doa kita, tapi terkadang Allah menjawab “tidak hambaku, aku punya sesuatu yang lebih indah untukmu”. Ketika kita memohon sesuatu pada-Nya, yang terjadi hanya ada dua kemungkinan. Permintaanmu terkabul atau hatimu akan diisi oleh keikhlasan melepasnya”. Sungguh ucapan Vanessa bagai embun yang sejuk. Benar-benar menenangkan gejolak cemburu yang membakar akal sehatku. Sekali lagi, dia memelukku sambil mengelus pundakku dengan lembut.
Jujur, sejenak aku merasakan lega ketika Vanessa memelukku, tapi setelah itu hatiku kembali terbakar saat aku mengecek ponselku dan ada panggilan masuk dari Ridwan. Dia sudah menghubungi 2 kali lalu kubuka kotak masuk ku, ada pesan masuk dari Ridwan “Dev, kamu udah pulang belum? Hari ini ternyata ada rapat lagi jam 3 sore”. Langsung ku hapus pesan itu dan kumasukkan ponselku ke dalam tas.
Waktu menunjukkan pukul 3 sore dan adzan berkumandang, Vanessa mengajakku sholat dan aku berbisik dalam lantunan doa ku yang hanya bisa kudengar sendiri “Ya Allah, aku bersedia melepas Ridwan tapi bagaimana jika ikhlas tak mampu menjadi perban di lukaku, Ya Allah, tolong hadirkan ikhlas di hati ini. Amin”
Mungkin untuk sementara waktu, aku ingin menutup hatiku dulu, akupun tak tau sampai kapan, mungkin untuk selamanya. Seandainya saja dia tau rasa cintaku tidak berkurang sedikitpun hingga saat ini, tapi ku rasa, semuanya telah sirna, aku berusaha mengusir bayang-bayang Ridwan dari benakku. Percayalah itu susah setengah mati, mungkin cinta ini sudah terlalu kuat menancap di lubuk hatiku dan jika aku memaksa mencabutnya, darahlah yang akan membasuh lukaku.
Ridwan, ku ucapkan terima kasih banyak untuk segala warna yang kau lukis di hidupku. Aku mencintaimu dengan bismillah, kini biarkan ku lepas dirimu dengan bismillah.
*) Penulis adalah Mahasiswa Psikologi
Fakultas Psikologi dan Kesehatan
UIN Sunan Ampel Surabaya