Suhu Tanah Jawa dan Kyai Dusun Tiongkok (Oleh: Luhur Pambudi)

Bagikan
Apa yang membuat kita, akhirnya mendefinisikan sama pada beberapa hal yang secara kasat mata berbeda, adalah dari penampakan cara. Tradisi untuk menunduk, hormat, patuh, dan tawadu’, yang lazimya dilakukan masyarakat jawa saat bertemu dengan orang tua, guru, atau kyai. Sepertinya memiliki kesamaan corak dengan budaya atau cara yang digunakan oleh masyarakat Tiongkok, yang dulu kita sebut China, dalam menempatkan guru atau suhu pada tempat yang tak kalah mulia, sama halnya seperti para ulama atau kyai di Jawa.
Film Rush Hour 3 mengajak kita bergumam. Kita yang dimaksud sebagai subjek disini adalah orang jawa, untuk melihat kembali siapa saja sosok yang paling pantas untuk digugu karena ketawadu’annya. Selain kyai yang biasa kita ketahui.
Menyelami alur film tersebut, paska duta besar China tertembak saat konferensi pers tentang upaya pembumihangusan kelompok mafia TRIAD secara sistemik karena dianggap berbahaya secara moral dan konstitusi. Karena mereka tau, kejahatan berkelompok di milenium ketiga kini, bukan lagi kejahatan yang sama bernasabkan adu kekuatan otot dan pedang yang kerap diasah, tapi kini merupakan milenium dimana semua halnya berbasis politis birokratis yang sistemik menjelma pada konstitusi yang diedarkan diranah publik. Bahkan kejahatan tak kalah sistemiknya seperti politik, mungkin menginfeksi, akan lebih berbahaya daripada sekedar komplotan begal bersenjatakan parang.
Tepat di hulu dada ia ditembak, namun tak lantas meninggal, hingga So Youn, putri duta besar memaksa Jacky Chan yang memerankan tokoh interpol China yang ditempat tugaskan di Kedutaan Besar China di Amerika bernama Li dengan gaya silat serantanan yang khas dan melegenda untuk berjanji menemukan siapa pelaku penembakan, yang So Youn yakin tak akan pernah berhenti hingga duta besar dipastikan tewas. Berupaya mengumpulkan bukti bersama Carter, seorang Polisi lalu lintas (Polantas) berkulit hitam berupaya mencari bukti jejak untuk mengejar si penembak, yang belakangan adalah ulah dari Kenji, seorang anggota TRIAD, belakangan adalah kakak dari Li. So Youn ingat ada sebuah berkas yang mungkin dapat membantu, walaupun tak banyak, di loker penyimpanan barang di tempat yang biasa kita sebut sanggar seni bela diri Kung Fu di daerah Pecinan China Town. Dan ia harap Li dan Carter untuk bisa memanfaatkan petunjuk buram itu. Tak disangka sebuah pertunjuk yang mereka kira mudah saja untuk mengambilnya, ternyata membuat Li dan Carter harus bersusah payah karena petunjuk itu tak murah harganya. Li dan Carter tak lagi punya pilihan lain untuk membayarnya, namun bukan dengan uang, perhiasan, emas, perak atau alat tukar lainnya petunjuk itu bisa terbeli, melainkan dengan harga diri yang harus dipertukarkan dengan cara beradu Kung Fu melawan seorang anggota sanggar yang mengidap kelainan Tiroid yang memiliki postur tubuh raksasa, dua kali lipat postur tubuh manusia normal. Dan mereka berdua harus melawannya yang seorang diri.
Baku hantam terjadi, baku hantam dengan gaya silat khas Tiongkok, si raksasa tersebut melumat habis, menghentak, bahkan membanting Li dan Carter secara bergantian kesana kemari, bahkan dengan seringai yang nyi-nyir dari raut wajahnya menandakan si raksasa itu menikmati aksinya. Keriuhan belum selesai dan semakin kalut ketika Li dan Carter tanpa daya terpental ke sudut ruangan dengan sorak sorai dari belasan pasang mata anggota sanggar kung fu lainnya yang kebetulan, mungkin sengaja menonton sekaligus menertawai gaya gulat menggelikan dua orang asing yang tiba-tiba memasuki sanggar silat mereka.
Dan kita tiba pada inti dari yang hendak kita perbincangkan disini. Yang lantas membuat tak ada yang berbeda saya pikir, antara para kyai di jawa dan seorang suhu di Tiongkok untuk bertempat di posisi paling dihormati. Pada adegan setelahnya, tak lama seorang tua berjenggot lebat uban muncul dari belakang ruangan, seisi ruangan yang semula riuh dan bersorak cekakaan mendadak diam, hening. Para anggota sanggar kung fu mendadak tak lagi meneruskan cekakan tawanya dan si raksasa juga demikian menghentikan serangannya terhadap Li dan Carter. Mereka bersiap, berbanjar lurus, rapi kemudian membungkukan badan, bermaksud memberikan pernghormatan selayaknya atas kehadiran seorang yang bagi kita orang jawa menyebutnya kyai yaitu suhu Yu.
Kita tau, kyai dengan santrinya dalam struktur masyarakat desa menjadi tulang punggung peradaban bangsa. Tradisi untuk menghormati orang yang lebih tua, menggugu dan meniru perilakunya dengan alasan ketinggian ilmu, kezuhudan hidup, tak lebih dari sebuah stereotype kekuatan struktur sosial yang dimiliki masyarakat Jawa. Kyai merupakan orang yang kita anggap sebagai yang lebih tau dibandingkan kebanyakan dari kita. Lebih tau tentang segala hal yang mungkin penting atau bahkan tidak penting bagi kita. Bukan tentang agama semata. Jangan salah sangka, jika istilah kyai kerap kali merujuk pada suatu pengertian seorang pakar dalam hal agama terutama Islam. Maka, hal yang berbeda mengatakan bahwa kyai yang dimaksud disini tidak hanya seorang yang pandai tentang Islam.
Bagi kita yang secara akademis terbilang mumpuni untuk berteori, menguji praduga tentang hal-hal yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Terkadang dengan naifnya mendefinisikan secara operasional tentang makna kyai secara terminologi atau etiologi sebagai seorang yang ahli atau vak di bidang agama. Seorang yang kita anggap memiliki kecakapan dalam hal ilmu fiqih, tassawuf, al-Quran, sunnah, tafsir, atau hadist. Itu tak salah, bahkan membantu kita, tapi tak banyak. Karena belakangan kyai mengalami reduksi makna yang tak disadari oleh kita selaku outsider dari struktur masyarakat yang menggunakan idiom ini dalam kehidupan bersosialnya. Bahwa kyai lebih dari sekedar ahli agama.
Tapi yakinlah kultur masyarakat jawa sepertinya bermaksud menegasi anggapan sempit itu dengan menunjukkan, bahwa kyai bisa menjadi lebih dari sekedar pakar analisis pertanian yang bertanggungjawab atas penentuan kapan waktunya menanam, sekaligus memanen ladang pertanian atau perkebunan masyarakat desa, yang kita tau ini adalah aktivitas fundamental para sarjana pertanian. Bahkan kyai bisa menjadi lebih paham tentang seluk beluk penyakit yang menjangkit salah seorang santri yang datang ke rumahnya untuk meminta kesembuhan, yang seharusnya ia datang ke puskesmas atau klinik biar ditangani oleh dokter lulusan universitas bergengsi di tanah air. Juga menjadi analis pasar modal dalam bursa saham seseorang yang ingin menanamkan modalnya untuk berdagang nasi pecel, yang sepertinya ini mirip aktivitas seorang pakar ekonomi mikro.
Secara kognisi derajat keilmuan seorang kyai tidak dapat kita uji, apakah memang sesuai kriteria atau tidak. Namun betapapun itu, jika hendak diperbandingkan dengan pakar pertanian, pakar ilmu kedokteran atau pakar ekonomi, maka kita hendaknya mempertebal kalimat tanya berikut. Yaitu apa yang membuat masyarakat di jawa menjadi sangat dan (masih) percaya kepada kyai yang secara ijasah keilmuan bahkan nihil adanya, tapi terbukti mampu berbicara, memberi terobosan dan solusi tentang hampir segala hal aspek kehidupan. Dari sini, ada sebuah rasa kepercayaan yang tinggi kepada seorang kyai lantas membuat kita akhirnya secara sadar untuk menghormati. Kyai memang tidak memiliki apa yang harus dimiliki sebagaimana seorang pakar ekonomi, kedokteran atau pertanian. Tapi kyai mampu memberikan sekaligus memastikan apa yang tidak dapat dipenuhi secara langsung oleh para pakar-pakar itu, yakni kepastian langsung tentang jawaban atas kapan hari yang pas untuk bercocok tanam dan memanen, obat yang mujarab untuk menyembuhkan penyakit, dan siasat apa ketika hendak memulai usaha berdagang. Itulah jawaban yang pasti, langsung ada, dan nyata yang masyarakat kita butuhkan. Entah apa yang sedang terjadi disini. Sepertinya Tuhan tengah meracau logika berfikir kita yang sarat akan tendensi verifikasi inderawi. Melalui kyai, Tuhan memperhadapkan kepada kita bahwa persoalan dan seluk beluk hidup, yang bagi kita sebut sebagai kesengsaraan takdir, menjadi sebuah keniscayaan kosong tanpa aroma apa-apa, dan akan menjadi sangat sial jika kita hidup hanya untuk menyesalinya.
Tidak dipungkiri pesimisme hidup belakangan kini menjadikan masyarakat semakin bergairah untuk hidup secara individualistik. Yang mengakibatkan kita menjadi mudah kalut hanya karena benturan-benturan kecil yang tak menggoncang apa-apa. Mereka menganggap jika hidup sudah semakin rumit tanpa berfikir tentang orang lain. Apalagi berfikir untuk orang lain, dipastikan hidup semakin pelik. Ini bukan tanpa sebab. Segala hal yang serba cepat didapat dan serba kilat dilihat, adalah penyebabnya. Kita akhirnya dijadikan menjadi manusia baru, sebaru teknologi, kebiasaan, tradisi dan fatwa-fatwa baru yang muncul dimulut zaman akhir-akhir ini. Padahal kita memiliki fitrah yang, entah apakah kita ini tau atau tidak tentang fitrah yang dimaksud. Barangkali mereka lupa tentang pelajaran-pelajaran tentang fitrah manusia di SD, SMP dan SMA yang dulu pernah mereka enyam dibangku sekolah dengan mengenakan pakaian berseragam, lupa karena mereka terlalu sibuk memikirkan, “dapat nilai berapa hasil ulangan kemarin?” Dan, “saya akan dapat ranking berapa ya di rapotan kelas nanti?” Atau jangan-jangan bukan mereka murid-muridnya yang lupa tentang fitrah sebagai manusia. Tapi guru-gurunya barangkali, yang lupa mengawali proses belajar mengajar disetiap harinya, dengan bacaan basmalah atau al-fatihah. Karena materi pembelajaran tentang fitrah manusia tidak ada sama sekali di buku-buku lembar kerja siswa (LKS) atau buku-buku paket siswa. Tapi itu diajarkan secara berkala, tak henti-henti, terus menerus, bahkan tanpa sadar dalam pola keseharian proses belajar mengajar di dalam kelas yang dipandu oleh bapak ibu gurunya. Bukannya malah disibukkan dengan sertifikasi pegawai negeri sipil (PNS) dan kecilnya pendapatan dan besarnya pengeluarkan jika hidup bergantung pada gaji honorer. Semua menjadi pelik pada akhirnya.
Tubuh privat kita seakan-akan terinfeksi dengan penyakit yang disebabkan oleh tubuh publik kita. Yang menjadikan kita terjerembab dan tak lagi mampu untuk berfikir secara jernih untuk apa hidup ini dan apa yang hendak kita perbuat nanti atau setelah ini. Padahal tubuh publik yang kita maksud tak lebih dari sebuah desain yang sengaja dibuat oleh oknum kepentingan tertentu dengan menciptakan grand narative tentang kelayakan hidup yang tercipta akibat pasar kepentingan yang menjelma menjadi industrialisasi, komoditas, jual-beli, kapitalis, liberalis, dan sekularisme, yang kesemuanya itu seperti tengah berhasil menaruh titik tekan pada cost and benefit dan menjadikannya acuan baku untuk menatap hidup dan menyongsong hari esok pagi.
Membuat kita, ketika hendak melakukan ini dan itu, lagi-lagi akan bertaruh dengan sebuah pertanyaan, “apakah yang saya dapatkan nanti setelah saya melakukan itu?” Dan inilah jadinya. Tubuh kita akhirnya hidup pada sebuah pasar yang sebenarnya kita sendiri tau tidak membutuhkan itu. Tapi mengapa kita akhirnya tak dapat menolak untuk terjun pada arus deras itu, adalah karena pesimisme kita tentang hidup seakan-akan tidak lagi ada jawaban yang dapat menyelamatkan, tidak ada lagi dermaga yang dapat kita jadikan sandaran, dan tidak ada lagi malam yang hening dimana kita bisa merapalkan harapan untuk tetap tenang.
Kita hampir hilang pegangan. Bahkan nyaris kehilangan pijakan. Kita tengah kehilangan tongkat yang menuntut kita dalam menyusuri reramban ilangan kehidupan ini, yang ujung runcing daunnya menjilati betis, tengkuk bahkan pipi wajah kita tanpa sadar. Tersadarpun kita akan dibuat tercengang dan meratapi bahwa jilatan tadi akhirnya meninggalkan luka gores yang membekas, meski berdarah, barang setitik tapi pedihnya terasa perih paska diobati.
Sebuah kebudayaan yang tumbuh ditengah masyarakat mega-metropolis Amerika yang sarat akan individuals-liberalis. Kebudayaan untuk tetap menjadi arif dan bijak dengan seni bela diri di sanggar tempat dimana Carter dan Li dikerjai oleh orang-orang seisi sanggar saat mencari jejak TRIAD, menjadi bukti bahwa kebutuhan humanities dari seorang manusia untuk mencapai apa itu yang disebut dengan eksistensialisme hanya bisa didapat dari bergantung pada orang yang kita anggap tau tentang apa yang kebanyakan dari kita tak mengetahui yaitu dari kearifan seorang suhu. Kung fu merupakan kepanjangan tangan dari cipta, rasa dan karsa manusia, untuk itu kenapa kung fu dan produk silat lainnya belakangan dimasukkan menjadi sebuah seni, yaitu seni membela diri. Dan keberadaan seorang suhu menjadi prototype bahwa kearifan itu ada dan hendak disampaikan.
Kemasan lain mengenai seni membela diri atau yang oleh orang Indonesia menyebutnya silat, menampakkan wajah lain, betapa silat, kung fu dan produk bela diri lainnya menjadi cara yang estetik untuk menyampaikan pesan tentang konflik, sakit hati, pertempuran, peperangan, pergulatan atau benturan, selain dengan senjata. Dengan seni mengolah gerakan dalam pertarungan, dari situlah konflik dan semacamnya bukan tak lagi menjadi barang yang jijik, mengenaskan, dan patut dihindari. Maksudnya, melalui itu, pesan tentang kebencian, pengorbanan, pertaruhan hidup, harga diri dan mati seakan indah untuk dipertontonkan dihadapan khalayak, karena kita tau ada maksud yang hendak disampaikan. Bela diri yang diajarkan oleh seorang suhu yang ditampilkan dalam Film Karate Kidsmisalnya, betapa sangat kontras terlihat antara pembelajaran bela diri perguruan silat dari sekelompok anak-anak yang membuli Dre Parker, seorang anak negro rantauan dari Amerika yang tinggal sementara di Tiongkok dengan ibunya. Dan cara mengajar bela diri dari Han, seorang tukang ledeng yang ternyata mahir kung fu. Sosok Han diperankan oleh Jacky Chan. Han mengajarkan sebuah cara bela diri yang tak sama dengan perguruan lain rivalnya di turnamen, setelah ia mengiyakan tawaran untuk mengikutinya, mau tak mau dengan melatih Dre. Melaui cara mengajar silat kepada Dre, Han menampilkan sisi lain bahwa bela diri merupakan penampakkan sisi lain dari hidup yang murni mengalir dan jernih. Dan bela diri merupkan tujuan yang asali dari hidup manusia yaitu keseimbangan. Dengan seni bela diri kita menjadi begitu adaptif dengan tata cara alam dalam berkehendak. Sebuah adegan yang mencengangkan mungkin. Ketika di sebuah kuil padepokan kung fu yang ada di dataran tinggi dimana Tembok Cina berdiri kokoh mengakar disana. Seorang pendekar kung fu sedang berlatih berhadap-hadapan langsung dengan seekor ular kobra. Pendekar itu seakan-akan mampu membaca dengan cermat arah gerakan halus ular tersebut bergerak. Kekanan kekiri. Mendongak merunduk. Tapi Han menyanggah gumaman dari Dre ketika itu bahwa, “bukan orangnya yang mengikuti ularnya. Tapi ularnya yang bergerak mengikuti gerakan orang itu.” Ketenangan dan menyatu dengan entitas di luar diri menjadi pertaruhan seorang mempelajari seni bela diri. Bukan etos kerja, emosi atau insting untuk menghabisi.
Diamieni pula oleh seorang pimpinan ranting di salah satu perguruan silat di Banyuwangi yang sempat mengisahkan petuah dari guru besar silat di perguruannya yang dengan lugas mengutarakan jika silat, bela diri atau semacamnya tak lebih dari aktivitas kosong yang munafik, dan akhirnya hanya terlihat menjadi penting karena kebetulan itu melembaga sistemik dan terstruktur dalam payung organisasi. Jika tidak demikian, katanya silat adalah ilmu seni yang paling membuat rugi bagi orang yang mempelajarinya. Untuk apa mempelajari silat disaat stabilitas negara tidak akan memungkinkan pecahnya perang-perang fisik. Untuk apa bersusah payah menghafal 1001 teknik-teknik mematikan gerak lawan saat berhadapan dengan kekuatan fisik yang tak lagi dilirik menjadi solusi menengahi masalah. Dan untuk apa masih bersusah payah berlatih secara fisik agar kebal dan tahan bacok, disaat pisau atau benda tajam lainnya tak lagi diproduksi masal oleh pabrik, karena pertengkaran kini bukan lagi diwakilkan oleh tajamnya belati.
Ini sebuah landasan filosofis dari seorang sesepuh atau orang yang dituakan di perguruan silat tersebut. Yang oleh karenanya kita tahu bahwa silat kita yakini bukan berarti memukul untuk menang, menendang untuk menyatakan kekuasaan atau menghabisi untuk menandaskan kebenaran. Tapi kebalikan dari kesemuanya itu. Silat membantu kita untuk tetap sadar bahwa kebenaran ada pada kebenaran itu sendiri. Maka biarkan kebenaran menunjukkan wajahnya sendiri. Dan kebenaran, barangkali melalui silat hendak dikatakan secara jujur, bukan diwakilkan oleh segala hal yang menjadi dalih untuk menghalalkan baku hantam. Melalui sosok seorang suhu kita dapat menemui inti kearifan yang lagi-lagi dengan kata itu kita sebut. Pantas saja, mungkin, sosok seorang guru Ip yang mereka sebut dalam Film IP Man untuk tetap menaruh pertarungan head to head dengan kelompok perguruan lain yang menantangnya, sebagai pilihan paling akhir dari runtutan solusi yang kesekian untuk menganulir konflik, yang pada akhirnya head to head pecah dan mau tak mau Guru Ip harus turun tangan demi kehormatan perguruan silatnya, keluarga, dan bangsanya.
Seorang suhu di Tiongkok yang mengajarkan silat, darinyalah ketenangan dan kebijaksanaan hidup menjadi inti dasar semua makhluk untuk hidup selaras. Selaras dengan apa? Selaras dengan apa yang dikehendaki oleh alam yang serba tenteram, sistematis, dan seimbang. Dan seorang suhu menyediakan dirinya sebagai simbol untuk itu. Dan seorang kyai di sebuah desa kecil di tanah Jawa adalah jelmaan bahwa kebijaksanaan itu bukan dongeng yang mendesir ditengah sendu padang pasir dan hanya akan tampak nyata setelah kita mendengar cerita pendek itu lantas tertidur dan di dalam mimpi kita baru mendapatinya. Namun sebetulnya melalui mereka kearifan dan kebijaksanaan itu nyata adanya. Mereka adalah simbol dimana kekuatan non-sistem atau yang oleh Cak Nun sebut dalam penuturan satire yang ia personifikasi dalam sosok wong mbambung bernama Markesot sebagai personal karismatik, yang mana kyai menjadi simbol hidup yang patut dicontoh dan ditiru bahkan wajib diembung tangannya bolak-balik karena, kyai merupakan manifestasi nyata sebuah keluasan ilmu dan karomah yang dari Tuhan ia dikehendaki untuk menyembuhkan orang sakit, menentukan tanggal panen dan tanam, atau konsultan keuangan biar tepat sasaran, yang semata-mata itu semua merupakan implementasi nyata dari rahman rahim Tuhan pencipta semesta alam kepada makhluk-makhlukNya.
Mungkin itu alasan mengapa kita oleh Tuhan tidak boleh, dilarang, tidak terampuni, haram, kafir, berdosa bahkan bid’ah untuk bersikap pesimistis. Karena alasan untuk pesimis diawal, telah digagalkan dengan konsep optimisme dari keberadaan suhu di Tiongkok atau kyai di tanah jawa. (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.