Bebal (Oleh: Luhur Pambudi)
Tiba pada saatnya hidup akan kita definisikan secara subjektif sebagai rangkaian acara yang membingungkan, sesekali melegakan, dan terkadang begitu menyedihkan. Mengapa demikian, karena kita harus mendefinisikan kenyatan hidup dengan sesuatu hal yang benar-benar bukan yang kita harapkan. Secara subjektif pula ketika mulai memandang hidup sebagai kumpulan berbagai macam komponen yang aktif; dimana ada Tuhan sebagai penggeraknya, dan ada alam semesta sebagai medan yang dikendalikannya. Kedua komponen ini akhirnya saling mengisi dan berkerja sama dalam keseimbangan sebagai sesuatu yang mekanis. Akhirnya hidup begitu renyah, mengalir, bergulir. Ada Tuhan yang menggerakkan, mengaturnya sekaligus mengawasinya. Setiap gerak; peristiwa, kejadian dalam momentum telah diatur sedemikian rapihnya. Namun Tuhan tidak serta merta membiarkan alam semesta dan seisinya diam saja. Dalam penciptaanya Dia tak lupa membubuhi sebuah frase-frase indah dalam teks tertulis yang dimaksudkan agar manusia menggunakannya, untuk berdoa, bersyukur, dan memohon ampun jika diperlukan, tidak lebih dari itu.
Dalam kegamblangan yang obyektif, cara memandang yang super subyektif semacam ini akan terbantahkan. Jika saja Tuhan sebagai pelaku dan aktor utama atas terjadinya segala sesuatu disini. Tentang segala kerumitan, kesulitan, atau anugerah sekalipun. Maka Tuhan bisa dikatakan sebagai penyebab yang memulai atau mengakhiri dari segala sesuatu ini. Bagaimana bisa Dia disatu sisi pencipta, namun disisi yang lain sebagai perusak, dan pengganggu. Bagaimana bisa Dia dalam saat yang bersamaan menjadi kutup positif dan negatif, atau kutub netral sekalipun. Disini akhirnya kita meratapi sebuah entitas causa prima yang tidak mampu dimetafisikan, namun efek, dampak atau timbal balik bisa dirasakan nyata, dikercap atau digagahi setiap saat.
Jika saja kita berangkat dari apa yang didefinsikan oleh Budi F. Hardiman mengenai bagaimana proses depresi itu terjadi. Sebagai suatu gejala yang lumrahnya dialami oleh manusia, salah satu ciptaan Tuhan. Akhirnya kita akan tau bahwa kegagalan akan menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan konsep ideal yang kita harapkan, ditambah dengan tuntutan waktu yang begitu mencekik untuk sesegera mungkin dipenuhi adalah pemicunya. Ambiguitas status quo yang dilakukan Tuhan sebagaimana yang seksama kita definisikan dibeberapa kesempatan yang pas dalam kehidupan ini. Akhirnya memaksa kita untuk menjatuhkan vonis nilai; Tuhan telah berlaku tidak adil. Terkesan lancang memang, tapi bukan itu yang kita perhatikan.
Jika kita melihat status quo keberadaan Tuhan beserta konsepsi-konsepsinya sebagai hal yang terbatas dan hanya sebatas itu batasan pertanyaan yang kita maksudkan. Maka, hanya sebatas itu pula jawaban yang akan kita dapati. Kita ratapi sebuah ironi dari hasil kesalahan menempatkan sudut memandang dan kesalahan cara dalam memandang, yang pada akhirnya, bukan berarti kita tidak akan mendapat apa-apa dari hal itu, tetap, kita akan mendapati sesuatu hal sesuai dengan cara kerja instrumen pemaknaan yang telah kita lakukan tadi. Namun, pertanyaan selanjutnya yang akan muncul, apakah benar hasil pemaknaan yang kita dapati itu benar-benar hasil pemaknaan yang sesungguhnya, apakah benar hasil pemaknaan yang telah kita dapati sesuai dengan apa yang kita inginkan, dan apakah benar hasil pemaknaan yang telah kita dapati sesuai dengan yang benar-benar kita butuhkan. Mungkin terlalu jauh, atau jangan-jangan pertanyaan tadi memang tidak muncul sama sekali, tidak mau muncul, atau memang tidak berani dimunculkan.
Di tengah remang dekapan lilin malam itu, dipayungi rona kelabu bulan setengah lingkaran, dihimpit hawa dingin menghunus hingga menggigil. Seksama kita dapati bahwa kenyataan hidup yang semula kita pikir sebagai sesuatu yang paling nyinyir, seakan-akan takkan ada yang lebih parah dari ini, dari apa yang dialami. Ternyata tidak lebih dari sebuah kepasrahan total terhadap ketidakberdayaan untuk melihat segala hal dari berbagai sisi. Satu persatu akhirnya percaya, satu persatu akhirnya membuka, satu persatu akhirnya berusaha memulai dan mengakhiri cerita, satu persatu akhirnya menghakimi diri sendiri dengan tanda tanya, dan satu persatu akhirnya kita tau tentang sekelumit kenestapaan, sakit hati, kedongkolan, bromocorah dan isak tangis yang telah kita muntahkan beberapa saat yang lalu, sungguh tidak berarti apa-apa. Disaat yang bersamaan, perasaan terhenyak akan segera membanjiri diri, ternyata dia tidak lebih beruntung, ternyata dia tidak lebih bahagia, ternyata dia tidak lebih daripada saya, kita, anda atau mereka. Serangan rasa kantuk membabi buta dari segala ceruk kening bak kerutan ombak di pesisir. Dekapan kabut lembut menuruni lereng, mulai menyelimuti hingga dingin. Api lilin mulai terhuyung, seakan hendak merebahkan terang, dan menggantinya dengan kelam. Menghantarkan kita pada tempat pembaringan empuk nan nyaman. Dengan sebilah tanda tanya dan rona bebal masa depan. (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016