Kuasa (Oleh: Luhur Pambudi)
Mengakui atau tidak terkadang ketika kesulitan, kesusahan atau musibah itu datang, kemudian mendahului kehendak hati seseorang, atau contohnya saja kita sebagai manusia, kita selalu bergeming untuk mengakui bahwa ini bukan karena telah digariskan atau telah ditakdirkan oleh Tuhan. Lebih tepatnya ini ulah seseorang, bukan karena ulah kita. Seperti halnya pengalaman pahit seorang eksekutif muda yang harus gagal presentasi di depan bosnya, soal kenaikan saham yang dipegangnya, hanya karena mobilnya mogok di tengah jalan. Kita tak pernah menyadari ketika sebuah kesusahan dan musibah atau kecelakaan datang menghampiri kehidupan kita, atau misalnya datang di pagi hari kita, di hari senin, hari dimana tuntutan pekerjaan menagih kembali paska sejenak ditanggalkan untuk merenggangkan urat saraf di hari minggu, sekaligus hari dimana kita harus bergegas dengan cepat ke tempat kantor untuk melaporkan hasil penjualan, presentasi perolehan saham atau pembukuan keuangan dan semacamnya, yang telah dibukukan minggu lalu. Namun tak disangka-sangka kendaraan mobil sedan mewah kita terhambat lajunya, karena mesindi dalam kap mobil tiba-tiba meraum-raum tak lazim terdengarnya, tak lama kemudian deru mesin yang meraum-raum itupun mendadak mati, mengakibatkan laju mobil juga mendadak nyendatberhenti, dan tepat berada di tengah-tengah jalan raya. Betapa ruamnya pagi hari kita, seorang eksekutif muda. Dengan berpakaian style perlente khas seorang pekerja yang aktivitasnya di dalam ruangan, berkemeja halus dan bergaya rambut klemis eksentrik itupun sialnya harus mendorong mobil mogoknya sepanjang jalan raya. Bermandi keringat dan kegaduhan klakson kendaraan di belakangnya yang ikut tersendat lajunya, imbas dari mobil mogok sang perlente Si Eksekutif Muda.
Bisakah kita menjangkau paradigma penceritaan dari sekelumit kisah yang tak perlu ditanyakan lagi kebenaranya, bahwa itu sering terjadi di sekitar kita dan di tengah-tengah kehidupan kita. Bahwa saat musibah semacam itu datang menghampiri kita dan mengganggu keriuhan aktivitas keharian kita yang telah teragendakan. Terkadang kita pada saat yang sama selalu mencari objek atau benda lain untuk disalahkan, dengan maksud agar semua bentuk dalih atau alasan atas musibah mogok mobil yang dialaminya adalah bukan karena bersumber dari dirinya sendiri (pemilik mobil, Si Eksekutif Muda). Entahlah objek yang dijadikan pelampiasan amarahnya bisa saja seorang montir bengkel tempat mobil tersebut pernah di servis atau menyalahkan pembantu rumah tangga yang terlalu banyak menyiram air ke bagian mesin mobil saat di cuci.
Semua permasalahan dan kendala di pagi hari tadi seakan-akan bukan karena telah digariskan oleh Tuhan. Bagi diri Si Eksekutif Muda telah mendiskreditkan bahwa semuanya murni adalah kesalahan orang-orang disekitarnya yang secara tidak langsung atau langsung berkaitan dengan mogok mobil yang ia alami. Bukan kesalahan dari yang lainnya. Padahal jika memang benar Si Eksekutif Muda harus mencari seorang manusia lain untuk disalahkan atas hadirnya musibah yang ia alami, sesungguhnya ia sedang dalam keadaan yang kalut, lantas mengakibatkan kejernihan berfikirnya terganggu.
Padahal jika kita sadari ia telah menutup kemungkinan atas pencarian pangkal masalah yang baru saja ia alami tadi pagi. Dengan hanya menjatuhkan vonis pada jawaban manusia sebagai biang keladi mogoknya mobil ‘saya’. Tidakkah itu adalah jawaban dari buah pikir yang amat sempit sama sekali kemungkinannya. Tidakkah ia menyadari bahwa musibah atau masalah yang ia alami pagi tadi datangnya dari kekuasaan Tuhan, Allah SWT. Tidakkah ia menyadari bahwa sarapan nasi pecel yang ia lahap adalah keberadaannya dari kehendak Allah SWT, begitu juga bersumber dari benda-benda yang diciptakan oleh-Nya. Tidakkah ia menyadari akan hal itu.
Sebenarnya inilah yang kita maksudkan dari kecenderungan manusia yang hidup di sisa-sisa zaman memiliki karakteristik yang sangat riskan. Manusia semacam ini hanya meletakkan landasan berfikir secara rasio semata bahwa segala sesuatunya pasti bermuara dari yang ada. Lantas mendiskreditkan segala sesuatu yang tidak terjamah secara nyata sebagai sumber segala sesuatunya. Yaitu kuasa Illahi. Pada akhirnya kita mendefinisikan segala hal yang menyesakkan itu bukan dari adanya kuasa dan kehadiran Tuhan. Kita pikir, sifat manusia terkadang selalu bergeming seperti itu. Karakteristik berfikir untuk memaknai hidup semacam ini pernah terjadi saat munculnya dualisme ditubuh Islam saat itu rezim kekhalifaan Ali Ibn Abi Talib, paska keputusannya untuk menerima arbitrase dari Muawiyah, yang akhirnya puluhan peleton pasukan perangnya didepak oleh pasukan Ali saat berlangsungnya Siffin of War.
Meletakkan dasar pemikiran bahwa segala sesuatunya bukan dari Tuhan merupakan karateristik dari kelompok Qadariah. Yang menganggap manusia memiliki free will atau kehendak untuk menentukan segala sesuatunya bukan karena Tuhan semata. Namun bukan berarti kita akan menggolong-golongkan pada akhirnya. Lantas inipun tercermin dari diri Si Eksekutif Muda dalam kisah kita. Akhirnya akan berimplikasi, kepada perilaku menyalahkan manusianya yakni orang lain sebagai pangkal dari segala sesuatunya. Sadar atau tidak sebenarnya akan lebih arif dan bijaksana jika kita harusnya meletakkan segala sesuatunya tidak terlepas dari kuasa Allah SWT. Dengan maksud agar segala sesuatu ketimpangan yang terjadi dikehidupan ini yang kebetulan saja menimpa kita; kecelakaan, musibah, kesulitan, dan kekacauan, dapat diterjemahkan sebagai segala sesuatu hal tak lebih dari kuasa Allah SWT terhadap diri umat ciptaannya.
Namun betapapun itu manusia sangat rentan akan hal-hal semacam ini. Mendiskreditkan, menyalahkan, menghukum, menvonis, atau menjustifikasi, segala hal yang berkenaan dengan diri manusia secara langsung maupun tidak. Secara definitif jika kita tarik kembali pada status ontologi mengenai manusia dalam Al-Quran, merupakan akumulasi dari segala kesempurnaan dari aspek jasmani ataupun rohani. Meminjam konsepsi dari Hamdani Bakran mengenai hakikat dari manusia (Ins) sebagai insan atau makhluk yang memiliki dua potensi lahirah dan rohaniah telah dilegitimasi dalam QS Al-A’raaf, 7: 172 bahwa sifat dasar manusia yang terakumulasi dalam kata Ins dan Unas adalah fitri yang terpancar dari alam rohaniah, yaitu gemar bersahabat, ramah, lemah-lembut dan sopan santun serta taat kepada Allah ta’ala. Dalam pandangan lain yang menjelaskan mengenai hakikat dari manusia seperti yang telah terejawantah dalam QS Ali Imran, 3: 79 bahwa manusia adalah Basyar kata ini berasal dari makna kulit luar yang dapat dilihat dengan mata kasar, bersifat indah dan cantik, dapat menimbulkan rasa senang, bahagia dan gembira bagi siapa saja yang melihatnya.
Pengertian lain dari hakikat manusia ini jelas meletakkan pemahaman dalam aksiologi dari pengertian manusia, yaitu estetika. Bahwa manusia memiliki kemungkinan untuk bertindak baik bagi makhluk lain dan senantiasa untuk berguna bagi keberlangsungan makhluk-makhluk yang ada di semesta alam. Karena fitrah manusia yang terlampir dari alkitab, hikmah dan kenabian.
Kemudian adapula pengertian dan hakikat lain, manusia sebagai bani adamyaitu anak adam, dan dzurriyat adam. Tawaran definisi lain dari para ahli kerohanian Islam dan ahli Ilmu Tasawuf menjelaskan jika manusia bukan saja memiliki kelengkapan akal semata yang nantinya dapat difungsikan untuk mengukur dan memutuskan segala sesuatu dalam kehidupannya. Namun memiliki pula dimensi lahiriah dan rohaniah yang sebenarnya merepresentasikan diri sebagai makhluk yang taat dan patuh kepada Tuhannya, bercahaya, cantik, bersih dan wangi. Namun fitrah itu seiring peramalan masa depan, bertendensi menunjuk kearah yang tidak dikehendaki sebagimana yang dibahasakan oleh Hamdani Bakran, sebagai sesuatu yang memudar.
Representasi fitrah itu akhirnya perlahan-lahan memudar dan menghilang. Manusia begitu rentan dengan segala sesuatu yang tak mengenakkan pada akhir penghujungnya. Yang ini disebut sebagai akibat. Bisa saja manusia berkehendak semaunya, sesukanya, ataupun sepuasnya, namun hukum kausalitas harus senantiasa diingat dan sejengkalpun tak boleh diterlewatkan, bahwa akan ada akibat dari segala sesuatunya. Pada akhirnya kita melihat bahwa jika segala sesuatunya di dunia ini atau dikehidupan ini begitu rupa adanya. Bagaimana seharusnya manusia berada dan bertindak adalah pertanyaan yang selayaknya makhluk ciptaan-Nya ucapkan.
Anggapan lain yang mengatakan jika eksistensi manusia akan hilang karena terlalu dekat dan terlalu lama bersentuhan dengan hal ikhwal unsur-unsur materi keduniaan. Yang tak segan menyajikan kemolekkan bungkus tak terkecuali segala isinya. Membuat manusia akhirnya terlena, tergiur lalu lupa. Lupa mengenai segala potensi, fitrah dan hidayah sebagai makhluk yang insan. Lantas lupa akan kewajibannya sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas dirinya untuk beribadah pada Allah SWT, dan tak lupa akan tugasnya sebagai khalifah bagi lingkungan sosial, keluarga, sanak famili atau minimal dirinya sendiri. Manusia-manusia seperti ini akan merasakan gejolak yang luar biasa hebat atas keanehan yang terjadi dalam dirinya secara fisik ataupun psikis. Ia akan merasakan betapa jauhnya jarak yang terbentang antara Tuhan dan dirinya, yang teridentifikasi dari nihilnya barokah dari setiap rezeki yang diberikan cuma oleh Tuhan kepada mereka umat-Nya. Ia tidak akan merasakan nikmatnya makanan yang ia telan, sekalipun itu halal status bahan yang diolahnya. Ia tak akan merasakan segarnya air minum yang ditenggaknya, meskipun air itu berasal dari air pegunungan paling jernih sekalipun. Karena apa. Karena hatinya telah tertutup, akalnya telah rancu, sikapnya telah ambigu, dan perbuatannya telah keliru.
Mengapa ia memakan makanan yang halal, namun tidak akan merasa kenyang dan berenergi. Mungkin saja karena cara memperolah makanan itu dengan cara yang kufur, syirik dan ribah. Mengapa ia minum air yang bening, namun ia tak merasakan kesegaran dan kenikmatannya, mungkin karena ia telah melupakan siapa orang yang ada di sekitarnya, yang harus lebih dulu merasakan kesegaran air itu. Mungkin inilah yang dimaksud manusia yang menjelma dengan wajah yang menjadi buruk dan hitam berminyak, kulit menjadi kotor dan tidak wangi lagi, karena menyimpang dari idealitas keberagamaan sesuai dengan tuntutan dan bimgingan Rasul-Nya, Muhammad SAW.
Dalam telaah Paradigma Psikologi Eksistensialis yang menyandarkan segala sesuatunya yang berkenaan dengan perilaku manusia adalah bersandar dari entitas causa prima, seperti yang dikonsepsikan Aristoteles, yaitu disandarkan dari upaya manusia untuk mencapai kebermaknaan hidup. Sekup yang dijadikan medium definsi kebermaknaan hidup ini bukan tersekat pada unsur materiil keduniawian semata. Namun unsur metafisik juga yaitu akhirat. Maka Roll May dan Victor Frankl, tokoh-tokoh konseling yang telah merumuskan aspek-aspek yang mendasari dari Psikologi Eksistensialis beberapa diantaranya adalah kecemasan sebagai kondisi hidup dan kesadaran akan datangnya maut serta ketidakberadaan. Kecemasan yang dimaksud adalah implikasi dari kenyataan hidup yang real bahwa segala sesuatunya begitu riskan dan benar-benar nyata, dan bersinggungan dengan kita. Yang akhirnya membangun konstruk kesadaran baru akan status quo manusia bukanlah sebagai penentu, melainkan manusia akan sadar bukan sebagai apa-apa pada akhirnya. Yang ini mirip dengan kecenderungan berfikir golongan yang pernah ada ratusan abad yang lalu di jazirah arab sebagai Jabariah.
Maka fitrah yang telah memudar dalam diri manusia tidak lain harus kita re-built atau kita bangun kembali atau kita bersihkan kembali menjadi sebagaimana awalnya fitrah Islam itu ada dari dan dalam Manusia. Karena ajaran Islam datang kepermukaan bumi ini memiliki tujuan yang sangat prinsipil dan fundamental yaitu membimbing, mengarahkan, menganjurkan kepada manusia menuju kepada jalan yang benar yaitu jalan Allah SWT. Jika kita tarik kepada konsepsi Psikologi Eksistensialis keda tokoh tersebut, maka keputusan untuk mencari sandaran yang lebih kuasa atas segala sesuatu di kehidupan ini menjadi tujuan asasinya. Sandaran itu adalah agama. Karena kita tau agama merupakan perspektif kehidupan yang bebas nilai, karena sifatnya yang metafisis. Dan agama secara definitif merupakan ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dan Islam adalah nama dari agama yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia sebagai falsafah dan sandaran hidup. Maka Psikologi Eksistensialis ini menempatkan Islam sebagai agama yang dipilih dan dijadikan panutan, pagar atau sandaran dalam hidup. Maka konsekuensi untuk senantiasa mengamalkan, mengimani, meyakini ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari menjadi kerangka berfikir dan kerangka bertindak seorang muslim. Islam didalamnya mengandung ajaran yang membimbing dan menggiring akal fikiran, jiwa, qalbu, inderawi dan jasmani kepada kefitrahan yang selalu cenderung untuk berbuat ketaatan dan ketauhidan kepada Allah SWT; yaitu kecenderungan positif yang tidak pernah padam eksistensinya di dalam diri setiap manusia yang ada dipermukaan bumi ini.
Peran bimbingan konseling Islam dalam menganulir gejala memudarnya fitrah Islam pada diri manusia adalah terletak pada bagaimana kita menaruh perspektif intervensi konseling kita pada manusia atau konseli yang tengah kita hadapi. Dalam hal ini kita seyogyanya menaruh perpektif pada bagian fundamental dari diri seseroang yaitu keyakinan dan iman, karena telah kita sepakati diawal hal itulah yang menjadi kerangka berfikir dan bertindak seorang manusia selama hidupnya. Jika telah teridentifikasi apa penyebab gangguannya melalui prosedur assassemen yang terperinci dan ketat, maka kita akan mencoba berdialek untuk mengungkap latar belakang munculnya masalah atau gangguan itu. Dialektika merupakan salah satu cara assessemen yang lazimnya kita maknai dengan istilah wawancara atau tanya jawab. Proses dialektika ini merupakan cara untuk menggali apa yang sebenarnya ingin diketahui. Dialektika ini merupakan cara yang ditemukan oleh Sokrates seorang filsuf Yunani Kuno. Dalam buku Konseling dan Psikoterapi Cara Filsafat Karya Alex Howard sebagai satu tahapan dalam konseling untuk mengidentifikasi masalah. Dengan cara menanyakan langsung untuk meminta jawaban, setelah jawaban muncul, kemudian dari jawaban itu akan dipertanyakan kembali lagi, agar menemuan jawaban baru, begitu seterusnya. Hingga sampai pada kulit jawaban terakhir yang tidak lagi dapat dikuliti dengan keraguan dan tanda tanya, maka disitulah kebenaran terkait penyebab dan latar belakang adanya permasalahan akan diketahui. Kemudian setelah diketahui masalah dan problem yang dialami secara fundamental, penerapan metode konseling cara Islam bisa langsung diarahkan pada kesadaran nurani dengan membacakan ayat-ayat Allah, setelah itu melakukan proses terapi dengan membersihkan dan mensucikan sebab-sebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan, kemudian setelah nampak dalam cahaya kesucian dalam dada (qalb), akal fikiran dan kejiwaan baru proses pembimbingan dilakukan dengan mengajarkan pesan-pesan Al-Quran dalam menggantikan individu kepada perbaikan-perbaikan diri secara esensial dan diiringi dengan Al-Hikmah, yaitu rahasia-rahasia dibalik segala peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan.
Kembali lagi kepada kisah Si Eksekutif Muda sebelumnya mengapa ia bisa dikatakan sebagai seorang yang mengalami penyempitan makna dalam hidupnya akibat dari minimnya perspektif atas kemungkinan yang terjadi dari musibah yang dialami. Karena penyempitan makna itu, ia sama sekali tidak mampu menerima secara logis bahwa musibah yang menimpanya berasal dari kuasa Tuhan. Yang mungkin saja hendak menguji kesabaran dia, atau mungkin memberikan dia pelajaran atas perbuatannya dimasa lalu dengan memberi musibah itu. Hal itu teridentifikasi dari pilihan dia untuk menyalahkan orang lain yaitu montir bengkel dan pembantu rumahnya.
Padahal jika kita mau memetakan berbagai macam kemungkinan, Si Eksekutif Muda itu tak menyadari jika sebenarnya penyebab dari musibah mesin mobil yang mendadak ngadat dan mogok pagi itu merupakan akibat ulah dirinya sendiri. Pertama, coba kita berangkat dari asumsi awal Si Eksekutif Muda yang menganggap bahwa penyebabnya adalah montir bengkel tempat ia mereparasi mobil sebelumnya. Seksama kita saksikan bahwa Si Eksekutif Muda itu sebenarnya telah salah mengira penyebab mobilnya mogok adalah ulah montir bengkel, dengan asumsi kenapa masih saja mogok, jika sebelumnya sudah pernah dibawa ke bengkel. Padahal ia lupa jika terakhir kali mobilnya dibawa ke bengkel mobil adalah setahun yang lalu. Jelas hal itu tidak mungkin, jika memang benar masih ada kecacatan dalam proses pembenahan saat dibawa ke bengkel dulu, yang mengakibatkan mobilnya masih bermasalah, seharusnya rentang waktunya tidak selama itu. Kedua, jika si eksekutif muda itu harus pula menyalahkan pembantunya karena terlalu banyak menyiramkan air saat mencuci mobil, mengakibatkan salah satu komponen mesin mobil konsleting. Maka sebenarnya itu tidaklah kuat asumsinya dan sudah jelas tidak logis, karena bagaimanapun juga kap mobil yang tertutup tidak akan bisa kemasukkan air, karena sifatnya yang semi kedap udara, menutup kemungkinan air bisa masuk melalui celah-celah. Kita telah mencoba mengikuti alur berfikir Si Eksekutif Muda. Yang ternyata tidak ada kebenaran di dalamnya. Padahal usut punya usut hal ikhwal penyebab mobilnya mogok ternyata bukan karena siapa-siapa melainkan karena dirinya sendiri. Karena Ia tidak menyadari atau mungkin lupa jika mesinnya itu harus sering di kontrol air radiatornya secara berkala. Namun karena ia terlalu sibuk dengan rutinitas perkantorannya untuk sekedar membuka kap mesin mobil setiap hari ia tak sempat. Alhasil ia harus mengalami kejadian mengesalkan itu.
Sebenarnya kompleksitas hidup manusia begitu nyata. Betapapun kompleksitas hidup kita, ada entitas causa prima yang akan senantiasa menyaksikan dan mengawasi kita. Yaitu Allah SWT. Berkaca dari apa yang dialami oleh Si Eksekutif Muda mengenai apa yang telah dialaminya hari ini adalah kita harus memahami segala sesuatunya telah digariskan oleh-Nya, dan sebenarnya tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menjauhi ataupun menghalangi kehendaknya. Mungkin dengan qanaah, adalah satu-satunya cara manusia untuk memelas ridho-Nya, disamping dengan bermunajat di sela-sela waktu yang sengaja disisihkan dalam tiap harinya. Dengan maksud yang sederhana, dan tidak lebih dari, agar senantiasa dikuatkan dalam segala sesuatunya.
Tak pelak, kita harus belajar pula dari apa yang dialami Si Eksekutif Muda. Sepertinya kita harus berani melakukan refleksi dengan begitu keras, berani dan begitu dini pada diri kita sendiri ketika musibah, bencana, kecelakaan, atau masalah menghampiri diri kita. Kita harus berani membuka selebar-lebarnya keluasan berpikir, kemungkinan-kemungkinan yang akan atau tidak terjadi sekalipun untuk menjadi bahan pertimbangan. Berangkat dari apa yang dileluconkan oleh (Alm) Abdurahman Wahid yang biasa disapa akrab Gus Dur dalam buku kumpulan esainya; Tuhan Tidak Perlu Dibela. Sebenarnya Allah SWT tidak akan mempermasalahan apakah kita akan meniadakan-Nya atau tidak. Karena ada dan tidaknya, sama-sama tidak dapat dibuktikan secara nyata wujudnya. Secara dimensi teologi, sebenarnya tidak akan jadi masalah jika Si Eksekutfi Muda itu harus menyalahkan Tuhan atau tidak mengakui keberadaan Tuhan dalam campur tangannya atas musibah yang dialami. Namun secara dimensi sosiologis Si Eksekutif Muda pada posisi manpun ia sebenarnya tidak patut menuduh montir bengkel dan pembantunya sebagai biang keladi penyebab mobilnya mogok. Toh pada akhirnya penyebab dari hari sialnya itu adalah dirinya sendiri, namun ia tak menyadari. Dari situlah lantas kita sebenarnya tidak ada kuasa dalam hal apapun. Termasuk menuduh, mengklaim atau menvonis seseorang.
Kita pikir diri kita mungkin terlalu angkuh, dan terlalu sayang pula. Karena begitu sayangnya akan diri kita sendiri, seakan akan kita tak pernah rela jika sesuatu yang buruk harus mendera diri kita, lantas berimplikasi pada ketidakberanian untuk mengintrospeksi diri sendiri, jika terjadi clash dalam sanubari hati kita, menyadari atau tidak, sebenarnya di dalam hati paling murni diri kita telah terjadi pergulatan nurani untuk merefleksikan pesan-pesan bahwa manusia adalah awal dan sumber dari segala sesuatunya, termasuk juga malapetaka dan kebodohan yang dilakukannya. Namun lagi-lagi, ada saja rengekan-rengekan kecil yang menggerumuti hati untuk tidak mau menerima pesan-pesan kecil itu, adalah nafsu. Yang akhirnya membuat kita menjadi manusia yang sombong, dengan terang-terangan menilai presentasi seseorang di depan kelas sebagai suatu presentasi yang tidak menarik karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sulit dimengerti. Lantas kemudian mengumpat kepada pembicara presentasi di depan kelas itu sebagai seseorang yang tak mampu mengajak para pendengar atau audiens menyelami informasi yang disampaikan. Ya seperti itulah akhirnya, sosok manusia yang telah digerumuti kesombongan. Kenapa bisa demikian karena refleksi yang dilakukan atas permasalahan bahasa yang sulit dicernanya, hanya sebatas direfleksikan kepada orang lain, yang akhirnya membuat ia menyalahkan orang yang enjadi pembicara presentasi tersebut. inilah yang kita sebut sebagai penyempitan makna, mengakibatkan minimnya kemungkinan atas masalah yang dihadapi.
Pernahkah ia merefleksikan itu kepada dirinya sendiri. Silahkan temukan jawabannya sendiri. Atau mungkin pertanyaannya yang mungkin kita akan ubah, berani atau tidak merefleksikan itu kepada diri sendiri. Menyadari atau tidak, ketika kita kesulitan untuk memahami maksud dari perkataan orang lain yang sedang presentasi, jikalau sebenarnya bukan karena bahasa yang digunakan oleh pembicara yang sedang presentasi itu sulit dicerna. Namun pernahkah kita berfkir kalau otak kita saja yang tidak bisa mencernanya, terlalu dangkal untuk mengerti, lantas kebingungan untuk memahami. Dari sekelumit prototipe cerita itu, kitapun akhirnya memahami bahwa manusia sebenarnya tidak berani menghardik kebodohan diri sendiri meskipun sanubari paling kasat mata dalam dirinya telah berkata demikian.
Karena itulah seksama kita sepakati bahwa akhirnya kita tau kebenaran akan tidak adanya celah-celah kecil yang tersisa dalam benak hati kita untuk membiarkan udara-udara kesombongan menerobos masuk, lantas menginfeksi cara melihat, memaknai dan mensikapi diri kita. Karenanya, jangan-jangan kebenaran yang kita definisikan belum tentu benar. Dan jangan-jangan ketidakbenaran diri kita merupakan sesuatu hal yang mutlak benar adanya. (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016