Membatu (Oleh: Luhur Pambudi)
Dalam sebuah perdebatan sengit, lugas, bebas dan menyebalkan mengenai keislaman, hadist, Nabi dan Tuhan. Disebuah forum presentasi atau diskusi kelas. Seorang kawan atau sahabat yang duduk di pojok ruangan seluas 8 m x 4 m dengan kedua tangan saling melipat di dadanya nyeletuk ringan dengan raut wajah datar yang disusul seringai dibibirnya
“Kalau saya sendiri, lebih baik kita mendatangkan para ahli, ustads, dosen atau orang yang lebih paham soal ini. Karena kitapun tidak tahu apakah ada kebenaran dari apa yang kita pikirkan dan ucapkan.” Seisi ruangan yang dipenuhi para audiens mahasiswa-mahasiswa yang tak kurang dari 30 orang tanpa ekspresi dan tanpa interupsi setelah mendengar celetukan tersebut.
Moderator bergegas tanpa tedeng aling-aling menggerakkan bulpoin yang dipegangnya untuk mencatat setiap suara pendapat yang berseliweran dalam diskusi itu. seakan-akan tak mau kehilangan selarikpun ide yang termuntahkan dari mulut pada audiens peserta forum. Tak lama setelah mencatata, mendadak moderator berhenti melakukan aktivitasnya, entah itu pertanda apa; pertanda ia telah menyelesaikan catatannya atau ada larik yang hilang dari ingatannya. Lantas ia bergumam, bahwa ia benar-benar tidak mengerti apa maksud dari perkataan itu. Karena perkataan itu kerap kali muncul dan berseliweran di telinganya yang lazimnya ada dalam majelis-majelis atau forum-forum tanpa ruang dialog. Namun moderator itu hanya memilih untuk bergumam saja atas argumen aneh yang ia dengar. Lagipula bukan karena ia takut jika kebenaran masih diragukan atas forum itu. Namun ia terdiam hanya karena seakan-akan agak aneh saja perkatataan itu harus menyeruak mengobrak-abrik selubung kebebasan berfikir diskusi mahasiswa. Ya terlebih-lebih, karena forum itu mungkin bertepatan juga dengan seorang dosen yang notabene sebagai ustads di kampungnya, sekaligus dokter di rumah sakitnya mendadak tidak bisa mengajar siang itu. Mungkin itu yang membuat sahabat saya itu takut jika tidak ada yang mengawasi diskusi yang sedikit banyak menyinggung perihal aqidah, syariah atau preposisi-preposisi yang mustahil terbantahkan dari kitab suci Al-Quran.
Namun entah dengan mahasiswa lainnya. Apakah mereka sepakat dengan alasan si moderator. Moderator pikir tidak, beberapa menyebutkan justru sepakat dengan argumen mahasiswa yang nyeletuk pertama itu. “Ruang diskusi akan jauh lebih luas dan ngglambyar ke segala arah jika tanpa pembimbing.” Seorang sahabat lainnya dengan nada yang sama datarnya mencoba berpendapat, yang menandakan afirmasi pernyataan sepakat.
Para mahasiswa yang memandu diskusi telah rampung memaparkan idenya yang tertuang dalam makalah yang ditulisnya. Namun belum ada argumen yang menyinggung langsung pada substansi pokok tema yang didiskusikan. Beberapa ada yang sempat nyeletuk untuk berargumen namun bukannya menanggapi tesa yang telah disampaikan pemakalah, malah sibuk dengan status quo legalitas forum diskusi itu.
Diskusi semakin riuh bukan berarti membaik atau bakal ada mahasiswa yang mengkritisi substansi tema pembahasan, lebih parah dari yang diperkirakan. Kali ini ada yang mempersoalkan mana letak hati yang dinamai kalbu oleh para manusia lainnya. Moderator tanpa bersuara sedikitpun, dengan kalangkabutnya masih mencatat setiap kalimat yang muncul dari mahasiswa seisi forum, meskipun argumen itu terdengan bernada bromocorah. Sepertinya forum tidak lagi menggarisbawahi dialektika antar pendapat yang berakitan dengan tema, meskipun tampak riuh, semua bersuara dengan antusias, namun sama sekali tidak sejalur dengan pokok pembahasan.
Yang satu benar memang sedang melontarkan pendapat meski sebenarnya ia takut merasa sesat karena yang dibahas adalah Islam dan ornamen-ornamennya. Yang satu bersuara entah karena benar-benar bingung atau sedang berlagak bingung. Dan beberapa lainnya ingin segara pulang, seakan-akan mereka tau tidak akan berbuah apa-apa diskusi tanpa adanya dosen. Dan yang satu lainnya benar-benar ingin pulang, bahkan ada yang telah pulang mendahului kehendaknya.
Sebuah ruang kelas yang berada di lantai paling atas gedung tiga tingkat menghadap ke arah senja yang menyapa langsung dengan cingkrang binarnya manusia-manusia di dalam ruangan, namun tak lama. Temaram menyelimuti kemudian ruang kelas yang semula berpendar terang karena terik siang, meredup mendadak seakan disergap malam. Waktu masih pukul satu siang, ternyata itu warna awan kumolonimus hitam yang melayang menutupi senja yang berkalang pendar cahaya, mendadak menjadikan mirip malam. Audiens forum makin riuh, karena mendung sudah dipastikan tak lama akan turun hujan. Semua mahasiswa berbicara dan lagi-lagi bukan karena substansi materi, moderator forum berkeringat hendak menginterupsi satu per satu argumen yang semakin menderu, bermaksud menjadi penengah agar diskusi siang itu minimal berbuah hasil bukannya rasa kesal yang membatu menjadi benci.
Keremangan makin menjadi. Sebuah tangan dari arah tak terduga datangnya tiba-tiba terangkat ke atas. Seorang mahasiswa atau peserta forum lainnya yang duduk di shaf paling belakang bernama Parjo hendak ikut-ikutan menginterupsi, moderator nampak ragu-ragu untuk mengizinkan idenya keluar dan harus ditangkap untuk kepentingan forum. Dengan rambut semi gondrong dan wajah separuh acak karena baru saja melunasi waktu tidurnya yang terpotong untuk menjaga warung nasi semalaman.
“Ya, yang ada di dada itu yang namanya kalbu,” seseorang lainya turut menginterupsi.
“Ah, kamu kira pertanyaanku ini hati yang ada di dada emangnya?” Sambar lagi si penanya sebelumnya yang merasa tak terima.
“Pertanyaan kamu itu yang mana memangnya? Kau minta penjelasan soal hati yang ada di dada secara medis atau hati yang di ide kita itu.” Susul penginterupsi baru dari audiens lainnya, merasa perdebatan yang berujung pertentangan semakin riuh.
Semakin bertambahnya para penginterupsi menandakan begitu pentinganya perdebatan ini. Membuat audiens lain yang tak diharapkan sebagai penejelas materi turut berkeingingan menjawab. ”Kalau kamu mau tau hati yang sifatnya medis, ya yang ada di dada? Kalau cuma itu pertanyaanmu ya gak usah tanya, bapak kos saya yang tuli itu juga bisa jawab.” Dengan diksi yang tak lagi disaring halus kasarnya, pernyataaan itu harus terlontar secara lantang yang akhirnya membuat berdecak dan disusul keributan kecil di sela-sela perdebatan.
“Kenapa sih kita perpanjang forum presentasi ini kan sudah jelas, gak jelasnya, wong gak ada dosennya.”
“Masalahnya ini diabsen tau!”
“Nah kan udah tau gak ada dosen kan, bukannya lebih enak justru tidak ada dosen tinggal diisi sendiri kan bisa?”
Keriuhan kembali tersusul, para audiens mulai menggeser pantatnya, dari tempat duduk semula, hanya untuk mengemasi perlengakapan menulis, seperti hendak segera memungkasi forum ini dan bergegas pulang.
“Kita kan tau kalau hati ada di dada dan itu secara medis benar namun kalau hati yang dimaksud adalah ide atau kalbu atau roh sebagaimana pemberi warna, rasa dan aroma bagi jasati kita, dalam kapasitas apa forum kita ini untuk membahasnya, tidak ada kebenaran yang pasti akan kita dapat.”
Suara setengah serak dan raut yang tak meyakinkan untuk dipahami maksudnya. “Daripada benar-benar tidak mendapat apa-apa hari ini, hanya karena takut dosa. Bayangkan mas? Orang kayak saya ini harus dapat ilmu dan kebenaran darimana lagi. Pagi sampai siang ke kampus sore sampai malam jaga warung, untuk baca buku saja sebagai cara untuk menverifikasi benar atau salahnya ilmu pengetahuan, saya gak sempat, apakah sampeyan masih mau berfikir soal dosa?”
“Sekarang kalau memang kita sendiri berdebat kayak begini gak mari-mari, kebenaran dari ilmu yang mana, yang akan kita dapat? Kalau dosanya sih iya!” Sambarnya. “Wong sama-sama gak paham!”
“Ow, jadi sampeyan mau ngurusi soal dosa tidaknya, ya sampeyan urus sendiri saja, kalau memang merasa punya waktu panjang. Soal ada tidaknya dosen atau pembimbing kita hanya butuh siasat kok untuk mengatasi keterbatasan mengartikan simbol-simbol ini, temen-temen disini saya pikir banyak yang jebolanpondok pesantren, kan sudah tak diragukan lagi, sudah pasti tahulah istilah ini itu soal Agama Islam. Sebenarnya sampeyan takut kan? Karena gak bisa memaknai simbol, terus kalau misalnya simbolnya diartikan salah, takutnya malah dosa karena yang dilakukan maknanya sudah keliru. Benar kan? Sampeyan terlalu jauh rasa takutnya, mas? Jangan dikira saya gak takut dosa loh ya, saya ini juga manusia yang masih punya rasa takut. Emang Tuhan apakah akan begitu meledak-ledak rasa marahnya ketika simbol-simbol zatnya disalahartikan oleh cecunguk-cecunguksemacam kita ini. Lagipula saya gak mau bikin badan saya tambah capek lagi setelah jaga warung, harus jaga perasaan atau pikiran karena dosa yang masih gakjelas juntrungannya, biar cukup sisa-sisa tenaga berbalut lelah ini menuntun saya ke ruang kuliah mendengarkan sekelumit upaya penemuan kebenaran, meskipun saya beberapa saat harus merugi karena tiba-tiba tertidur di bangku kuliah saat ilmu pengetahuan dan kebenarannya berseliweran di kening saya, apakah Tuhan akan mempermasalahkan rasa ngantuk dan lelah yang dibuatnya untuk saya.” Jawabnya. “Ayo lekas jawab mas? Katanya sampeyan mau ngurusi perkara yangbeginian, mengurusi label-label dosa atau tidak berdosa. Ayo, mas? Bagaimana ini. Beri saya kejelasan bagaimana dengan yang saya rasakan ini, mas? Apakah Tuhan akan begitu tega dengan mahkluk super lemah seperti saya ini, saya ini super lemah, mas? Gak percaya ya sampeyan. Sampeyan bisa lihat gak badan saya yang lunglai begini bawaannya ngantuk melulu. Kalau toh memang Tuhan memang benci sama mahkluk seperti saya ini, pertanyaannya adalah kenapa Tuhan harus repot-repot buat manusia seperti saya ini, lebih baik bikin manusia seperti sampeyan aja, kan enak? Biar Islam menjadi lebih tertib dan teratur karena ada orang-orang ciptaanNya yang didesain bak seorang Polisi yang senantiasa mengatur, menganulir dan mengawasi setiap tindak-tanduk mahkluknya dengan cara-cara mirip penciptanya agar tidak menyimpang dari aturan-aturan yang dibuatNya.”
Dengan nada yang agak meninggi, Parjo melanjutkan meskipun ditengah keriuhan audiens yang tak semuanya mendengarkan. “Kalau memang yang saya lakukan penuh sekali dengan rasa bersalah dan sangat berdosa sama sekali terhadap Tuhan, saya sendiri siap dihukum, mas? Jangankan nanti di akhirat, sekarang saja jika produk laknat memang sudah tersedia untuk mahkluk seperti saya ini ya monggo jatuhkan saja sekarang ini, detik ini kalau perlu. Saya sudah siap, mas? Jangan salah dikira saya takut kena laknat, saya tidak takut sama sekali kalau memang saya benar-benar salah ayo monggo. Bukan karena saya sedang menantang, mas? Aduh apa lagi itu? Karena saya tau kalau memang kenyataannya demikian, apa boleh buat, mas? Saya ini super lemah dan saya ini memang di lain sisi benar-benar tak berani membantah apa kata pencipta saya, wong saya ini ibadah saja kesulitan untuk tepat waktu memenuhinya, ya ketika saya disidang kayak begini ini, apa boleh buat saya patuh aja. Bagaimana, mas? Bagaimana dengan kondisi saya seperti ini apakah masih bisa ditolong, sampeyan mbok ya kasih tanggapan gitu, apakah saya ini masih bisa di tolong tidak ayo jawab? Katanya sampeyan mau ngurusi yang beginian ayo ngomong, mas? Saya bingung ini!”
Tak lagi peduli apakah argumennya ini sedang didegnar atau tidak Parjo tetap stabil dengan nada riuh rendah mencecar temannya yang bertanya di awal sesi. “Kalau mau menyalahkan aktivitas saya yang begitu berat dan penat monggosampeyan hujat saja, mas? Barangkali ini yang menjadikan saya tidak taat beribadah dan sering kali nyeleweng dari perintahNya. Kalau saya sendiri, sebenarnya tidak berani berkata apa-apa, mas? Jujur. Karena yang buat jadi begini rumit keadaannya kan juga Tuhan. Mau bagaimana lagi saya harus menghujat atau mengeluh. Saya pikir Tuhan tidak menyuruh saya menghujat keadaan atau menyerapah kenyataan, meskipun saya sebenarnya sangat mungkin untuk melakukannya. Tapi kenapa saya cuma memilih diam saja. Karena saya yakin Tuhan punya jaring laba-laba takdir yang begitu rumit menyelubungi hidup kita ini ini, mas? Sungguh. Itupun kalau sampeyan percaya silahkan kalau gak percaya atau memperparah kadar dosa saya ya mohon maaf. Dari situlah saya semakin yakin Tuhan tidak sedang menyuruh saya meratapi sulitnya mengais kebenaran hidup. Tapi bagaimana mengahadapi sulitnya mengais-ais kebanaran hidup yang kerap kali kabur karena terhalang tembok tinggi yang transparan tak terlihat bernama fatwa dan doktrin.” Tandas Parjo meski harus terpotong begitu saja karena mendadak seisi ruangan berdiri dan bergegas untuk pulang tanpa harus mengakhir forum dengan ramah tamah penutup doa atau semacamnya.
Menyeruak dengan resonansi menjalar melengking di tengah gemuruh geluduk di luar kelas, Adzan Ashar berkumandang menandakan forum terlampau lewat dari batasan jam yang ditentukan. Interupsi Parjo hanya didengar 2 buah pasang telinga saja, yaitu sepasang telinga moderator forum siang itu. Mahasiswa yang lain sibuk mengumpat dan mengeluh soal hujan yang turun, dan telah berhasil menggagalkan niat pulang kuliah yang lebih cepat hari itu. Mereka tak menyadari ada seorang manusia yang berkelindan lelah dan hasrat memburu kebenaran ilmu pengetahuan sedang bersuara di belakang punggung mereka. Tak ada yang menggubris, mungkin cuma si moderator, namun sepertinya tangan si moderator tak bergerak sama sekali untuk mencatat argumen Parjo. Sepertinya moderator tak sempat menulis, mungkin karena tak terlalu mengerti atau memang bising sekali. (Luhur Pambudi)
Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016