Warung Kopi (Oleh: Luhur Pambudi)

Bagikan

Warung Kopi yang lazim disebut warkop, tak pernah terlihat begitu lenggang sama sekali hampir disetiap wilayah elemen kerakyatan tak pernah tak terselipkan sebuah atau sejumput kedai bernama warkop di dusun-dusun atau di pinggiran kota. Kursi yang memanjang, dengan formasi memutari si penjual, aneka jajanan juga minuman siap saji dedepan mata tinggal pesan tunggu sejenak, lalu siap dinikmati. Warkop lekat kaitannya dengan para manusia-mausia yang sekedar ingin bersantai, duduk atau sekedar menandaskan rasa dahaga dan lapar. Mungkin karena alasan itu mereka semua tampak sama, ketika duduk berjajar sembari bercengkrama, dengan rokok yang menyala, secangkir kopi hangat nan aroma menggoda.

Semua orang, atau manusia-manusia jelas terlihat sama, dengan atribut yang sama pula, rokok, koran, kopi. Semuanya tak menunjukan sekat. Kerap kali saya melintas dijalan gang pemukiman penduduk di belakang kampus, sebuah warkop kecil berdiri dipinggir jalan beraspal gang, adalah warkop favorit salah seorang senior saya di lembaga pers mahasiswa (LPM), mantan pimpinan redaksi (Pimred) lebih tepatnya. Setiap gelap kembali menyeruak, ba’da Isya biasanya, tak jarang saya selalu mendapati beliau sedang asik bertengger didipan warkop tersebut dengan gadget touchscreen digengamannya, secangkir kopi plus rokok menyala yang mengepulkan asap, seakan-akan saya kabur akan  nuansa identitas dari seorang senior yang saya kagumi pemikirannya. Sungguh berbanding terbalik, dengan apa yang selama ini saya lihat ketika berada dalam lingkungan LPM ketika kelas struktural organisasi kami tak lagi sama, antara senior dan junior (alias kader). Antara Pimred dan wartawan magang.

Berkali-kali saya dapati senior saya itu tak pernah absen sekedar nongkrong dan bercengkrama di warkop tersebut. Lantas tak hanya senior saya yang menjadi objek pengamatan saya, seketika itu semua elemen pendukung yang menjadikan warkop tersebut ada dan secara sah atau sepakat disebut warkop. Setelah melihat senior saya yang mantan pimred LPM itu duduk dan bercengkrama dengan santai tanpa busana formal bak orang kantoran, hanya bersual kemeja putih lengan pendek, dikombinasi dengan sarung putih motif garis-garis sleret merah, kesan mirip rakyat jelatah nampaknya pantas dialamatkan padanya. Begitu juga dengan orang-orang disampingnya, mereka yang memakai kemeja lengkap dengan dasinya, tampak begitu santai bercengkrama, tak sungkan bersebelahan, berbaur dengan mereka yang tanpa busana formal, yang sekilas mengenakan celana kolor atau kaos oblong. Begitu rupa gambaran yang sepintas terfikirkan setiap kali melintasi warkop. Saya pikir, warkop merupakan tempat dimana atribut sosial yang melegalisasi tidak berlaku lagi. Ketika seseorang memiliki jabatan penting sekalipun, memutuskan untuk duduk dan bercengkrama sembari menyeruput kopi dengan perpaduan pas rokok surya atau malboro, seketika itu mau tak mau jabatan atau status sosial dilucuti keberadaannya dari sang empunya.

Mungkin sebagaian besar mereka yang tak tau menau tentang siapa saja yang pernah nongkrong sekedar membeli minuman, terutama si penjaga kedai tau warkop. Barangkali tak menyangka kalau ada salah seorang pelanggannya yang sering nongkrong dan memesan minuman disitu adalah seorang mantan pimpinan redaksi salah satu lembaga pers mahasiswa, karena penampilanya. Mungkin sama kagetnya pula ketika si pejaga kedai juga tak tau menau kalau ada seorang direktur sebuah perusahaan persero yang sekedar memesan makanan dan minuman dengan penapilan bak orang kuli bangunan.

Nyatanya ini sebuah peraturan yang memang tidak dapat terelakan, entahlah dari mana orang itu dengan busana macam apa orang itu ketika memutuskan untuk duduk memesan dan bercengkrama. Maka konsekuensi disamaratakan adalah aturan mainnya. Dipaksa berbicara ala kadarnya tanpa muatan kepentingan atau legalitas pribadi atas kedudukan pribumi. (Luhur Pambudi)

Penulis adalah Demisioner Pimpinan Redaksi LPM Alam Tara periode 2016

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.