TERIMA KASIH MIMPI INDAH KU
“Terima kasih… kau pernah hadir di hidupku. Berhati-hatilah dijalan sayang. Aku mencintaimu” desah batinku sambil mengusap air mata yang perlahan-lahan mengalir dari sudut mataku saat aku tiba di pemakaman Yuzarsif. Lelaki kedua yang sangat aku cintai. Sungguh. Itu semua terasa membingungkan. Saat aku harus membagi hidup, nafas dan cintaku dengan Azmi tapi hati dan pikiran ini masih tertaut padanya, walau di seberang sana hanya jenazahnya saja yang terbujur kaku dan dikerumuni banyak orang. Kecewa rasanya, akupun tak dapat menemani bahkan saat hembusan nafas terakhirnya membawa semua kenangan kami yang telah berlalu. Iya. Aku sadari semua jalan yang aku tempuh adalah kesalahan.
Ketika cincin telah tersemat dijari manisku dan Azmi mengucap ijab qabul yang didengar oleh keluarga dan kerabatku. Seharusnya aku bisa melepas semuanya tentang masa laluku. Menyerahkan seluruh hidup, ibadah dan taat ku hanya untuk suamiku, Azmi. Melupakan segala cinta dan harapan semu yang sudah jelas tidak bisa aku miliki, termasuk Yuzarsif. Tapi tidak semudah itu. Ada perasaan terbelenggu di dalam sini. Iya. Disini.
Saat udara yang kuhirup menjadi sesak ketika aku mendekat ke peristirahatan terakhir Yuzarsif, ada sesosok perempuan paruh baya yang memandangku sadis justru melayangkan telapak tangannya ke wajahku hingga ujung bibirku terluka. Ku pegangi pipi kiriku sambil ku tahan setiap rasa sakit yang perlahan munculkan bekas kemerahan di sebagian wajahku, sambil memaki “kamu sudah membuat anakku meninggal! Sekarang masih berani kamu munculkan batang hidungmu di depan mayat anakku?! Pergi kamu!”. Apa? Aku? Tidak. Bukan aku. Mana mungkin aku mencelakai laki-laki yang aku cintai. Tak lama kemudian seorang gadis melerai keributan kami berdua. “udah ma, cukup, kak Yuzarsif nggak akan tenang melihat mama kayak gini”. Gadis itu menggandeng tangan ku dan mengajakku menjauh dari sana.
Dibawanya aku ke suatu taman yang cukup jauh dari pemakaman. Sebuah taman yang luas dengan hamparan rumput hijau dan bunga-bunga yang cantik bermekaran. Kami duduk di kursi taman berwarna putih dengan motif dedaunan yang menyulur indah. Dia memberiku sepucuk surat dilapisi amplop merah muda bertuliskan “untukmu, cahayaku”. Kubuka amplop itu dan kubaca perlahan.
Untukmu, cahayaku… terima kasih telah menghadirkan cinta dihidupku. Cinta yang begitu indah, cinta yang sangat tulus, cinta yang suci, sesuci dan sebening embun pagi. Aku tahu, selama ini Kau memendam rasa padaku, dari setiap gerakan tubuhmu, bisa ku tebak itu adalah cinta. Tapi Kau sungguh luar biasa. Belum pernah ku temukan perempuan yang menjaga hatinya dengan baik sepertimu. Sebuah perasaan yang belum terjamah oleh lelaki manapun, bahkan untuk membalas perasaan dari orang yang Kau cintai saja Kau tak mau.
Maafkan aku cahayaku… mungkin saat kau baca surat ini aku sudah tidak bersamamu lagi, pemandangan itu terlalu sakit. Saat aku menyaksikan sahabatku sendiri menyematkan cincin pernikahan di jari manismu dan berucap ijab qabul di depan mataku. Seketika semuanya berhenti. Maaf, aku memilih untuk pergi.
Apa?! Jadi selama ini kami sama-sama memendam perasaan tapi… ya Allah, sakit rasanya. Aku benar-benar shock. Serasa waktu dan bumi berhenti berputar, sungguh aku tidak habis pikir. Ketahuilah Yuzarsif aku dan Azmi menikah bukan atas dasar cinta, kami dijodohkan. “kak Sakinah yang sabar ya” katanya sambil mengelus pundakku. “kak Yuzarsif mengalami kecelakaan setelah menulis surat ini, dia kehabisan banyak darah dan kami… nyawanya… tidak tertolong” lanjut gadis itu lalu pergi meninggalkan aku berdua dengan sepucuk surat dari Yuzarsif.
Ku peluk erat surat dari Yuzarsif sambil melangkahkan kaki ku perlahan untuk pulang, ku lewati hamparan rumput hijau dan bunga-bunga itu dengan linangan air mata yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Sampailah aku dipinggir jalan raya dan tanpa aku sadari kaki ku terus melangkah seakan tak peduli kendaraan yang lewat. Perlahan aku berucap “Yuzarsif, aku mencintaimu… Yuzarsif, aku mencintaimu” tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil yang cukup melaju kencang hingga aku tidak sempat menghindar dari hantaman mobil itu.
Kemudian semuanya terasa gelap. Aku masih merasakan surat Yuzarsif ada di genggamanku, tanpa aku sadari bibirku masih berucap “Yuzarsif aku mencintaimu”. Lalu aku merasakan seseorang menggenggam lembut tangan kananku sambil berkata “iya sayang aku juga mencintaimu”. Aku berusaha membuka mataku. Perlahan-lahan aku mulai sadar dan melihat Yuzarsif dihadapanku. Apa?! Dia masih hidup?. Aku melihat sekelilingku, banyak peralatan rumah sakit dan selang infus mengikat tanganku. “dimana aku?” tanyaku lirih. “Kamu dirumah sakit sayang, tadi dikantor kamu sempat pingsan, kata dokter kamu kecapean” jawab Yuzarsif dengan lembut sambil menggenggam tanganku. “kok kamu ada disini?” ucapku penasaran. Yuzarsif tersenyum dan membelai rambutku “kamu lupa ya kita sudah menikah, mana mungkin aku membiarkan istriku sendirian disini” jelasnya. “apa?, mana Azmi? Dia…”. Yuzarsf meletakkan jari telunjuknya dibibirku sambil berucap “ssttt sudahlah sayang, kamu harus banyak istirahat. Azmi baik-baik saja, dia yang membawamu kemari” lanjut Yuzarsif. Jadi aku hanya mimpi?.
Alhamdulillah ya Allah semuanya hanya mimpi. Perlahan-lahan aku mulai mengingatnya. Ternyata benar kami baru saja menikah dan aku belum terbiasa dengan semua ini. Jujur saja aku sangat takut kehilangan dia. Mimpi itu benar-benar seperti nyata, syukurlah itu hanya bunga tidur saja.
(Ratna Deviana)