Hari Apa Ini?
Aku teringat serangkaian pesan. “Ketika kamu memang ingin menangis dan marah, tuliskan dan sampaikan kepada selembar kertas putih. Jadikan kertas itu sebagai tempat ceritamu. Ia akan selalu menyimpan tulisanmu hanya untuknya. Kini, aku mempercayakan keluhku padanya”.
Entah apa yang sudah kulakukan hari ini. Saat pagi hari, aku masih tertawa mendengar cerita lucu keponakanku. Siang harinya, aku masih tertawa begitu keras karena tugas yang amburadul. Aku menerima saran sekaligus kritik sembari merutuki dan menertawakan diri.
Sore harinya, aku masih mendengarkan dengan baik presentasi kawanku. Aku masih bisa menerima penjelasan sembari tertawa akan berbagai hal lucu yang terjadi. Menjelang pulang, aku masih sempat-sempatnya bercanda. Apa mungkin aku terlalu menganggap hidup selucu itu? Apa aku terlalu berpikir hidup sebercanda itu? Entahlah aku tak tahu, tetapi hingga sampai di gerbang kampus, aku menerima sebuah pesan yang menyayat hati.
Tak lagi bisa kubersuara, rasanya begitu sakit menahan tangis di sepanjang jalan pulang ke tempat yang menjadi tempatku bernaung dari sang surya dan terpaan hujan. Begitu sakit rasanya. Baru pertama kali aku merasakannya.
Hal itu menyadarkanku bahwa apa yang menjadi skenario pemain dalam film, ternyata juga bisa menjadi atau berasal dari skenario Tuhan, ya?
Sering kuungkapkan, “Janganlah percaya film. Film hanyalah fiktif, tidak mungkin ada kejadian serupa di kehidupan ini”. Nyatanya, aku terlalu mengganggap itu sebagai hal remeh temeh. Nyatanya, hal itu benar adanya, semua itu realita, bukan hanya fiktif. Aku tidak lagi percaya kata “Semua hanyalah fiktif belaka” seperti tulisan yang selalu hadir di awal ataupun akhir film.
Kini, aku merasakannya. Sosok yang selalu kubanggakan dimanapun aku berada dan kuharapkan bisa memeluk dan menciumku setiap waktu kini telah pergi. Semua air mata yang kukeluarkan justru ulahnya. Hatiku ingin berteriak. Ingin kumenjerit, menangis, dan meraung-raung, tetapi aku tak bisa melakukannya. Entah akupun tak tahu. Aku hanya bisa terisak di dalam kamar mandi rumahku. Aku berusah tegar dan tersenyum, tetapi bahkan di setiap gerakan sholat, aku selalu menetaskan air mata.
Ya Allah apa yang terjadi? Skenario apa yang sedang kau berikan kepadaku? Bolehkah aku bertukar skenario yang penuh bahagia?
Akan kuceritakan apa yang sedang terjadi padaku kini, Ayah. Siapapun pasti punya ayah, meski ada yang sudah kehilangannya. Kini, aku mungkin sudah kehilangan sosok ayah itu. Aku bahkan berucap sarkas mengumpatinya. Dosakah aku Allah? Entah rasanya otakku sudah tidak lagi mau berpikir panjang sepertinya.
Bukan hanya aku yang terluka. Masih ada sesosok yang begitu terluka bahkan kini sudah pecah hatinya, runtuh semua pertahanannya, meluap sudah amarahnya, bahkan rasanya aku ingin menjauh agar tak menatap kesakitannya. Begitu sakit kumelihatnya. Bahkan belum, aku masih mendengarnya dari sebuah cerita melalui pesan.
Ia yang selalu berada di sisinya. Ketika sakit, Ia masih berusaha berdiri tegak mendampiginya. Di saat jantung tak lagi ingin berdetak, Ia berusaha merayu sang pencipta untuk memberikan detakan itu kembali hanya untuk keluarganya. Ia memberikan senyuman dan pelukan kepada sang suami dan anaknya.
Salah apa Ia Ya Allah? Salah apa ibuku? Adakah obat dari sakitnya yang bisa kutebus?