Seri Memahami Diri: Perempuan Rentan Depresi Sedangkan Laki-Laki Rentan Bunuh Diri
Oleh: Bintang Lestyasari
Akhir-akhir ini, ada istilah tentang “Wanita cenderung lebih banyak mengalami depresi, sedangkan pria cenderung lebih banyak mengalami bunuh diri”. Hal ini juga berkaitan dengan emosi. Baik laki-laki ataupun perempuan memiliki peluang yang sama besar terjadinya depresi dan keduanya sama-sama manusia sehingga wajar kalau memiliki emosi.
Namun, perempuan memang memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi daripada laki-laki. Data secara global, pada tahun 2010, menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami depresi berat daripada laki-laki. Prevalensinya adalah 5.5% dan 3.2% dimana 1.7 kali lipat kasus depresi dialami oleh perempuan [1]. Data dari Center For Disease Control and Prevention (CDC), terhadap kasus bunuh diri yang terjadi di Amerika Serikat dari tahun 1999-2018 mengungkapkan bahwa selama kurun waktu tersebut tingkat angka bunuh diri laki-laki mencapai 3,5 sampai 4,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan perempuan [2].
Sumber Gambar 1 : https://www.cdc.gov/nchs/products/databriefs/db362.htm
Apakah Emosi Itu?
Emosi adalah perasaan atau efek yang melibatkan pola kognitif, fisiologis, dan reaksi perilaku terhadap peristiwa. Terdapat 6 emosi dasar yang dimiliki manusia, yakni bahagia, sedih, jijik takut, terkejut, dan marah [3]. Emosi seperti malu, terharu, atau perasaan bersalah merupakan emosi sekunder atau adanya kemiripan dari beberapa emosi dasar. Misalnya, emosi malu memiliki kemiripan dengan emosi sedih karena menunduk.
Sederhananya, emosi itu seperti pola dimana adanya suatu situasi atau kondisi tertentu sehingga kita akan memunculkan emosi dalam bentuk ekspresi, perilaku, dan pikiran yang sama. Misalnya, adanya peristiwa berkabung kita akan merasakan emosi sedih dan hal tersebut akan terlihat dari ekspresi wajah kita yang sedang menangis dan kita merasa kehilangan orang yang dicintai. Badan kita menjadi lemas, tidak nafsu makan, atau tidak bersemangat. Berkaitan tentang proses munculnya emosi, terdapat beberapa teori yang membahas hal tersebut, seperti Lazarus Theory, Two Factor Theory of Emotion, James-Lange Theory, dan Cannon-Bard Theory.
Emosi ada yang bersifat positif dan negatif. Emosi positif adalah emosi memberikan perasaan positif dalam diri kita. Misalnya, rasa senang, bersyukur, cinta, harapan, kasih sayang, dll. Sebaliknya, emosi negatif adalah emosi yang memberikan perasaan negatif dalam diri kita. Misalnya rasa sedih, kecewa, bersalah, takut, dll. Diener mengemukakan bahwa emosi positif berdampak dalam menumbuhkan kepuasaan diri sedangkan emosi negatif dapat menimbulkan ketidakbahgiaan dalam diri [4].
Hubungan Laki-laki Dengan Emosi
Pada laki-laki, terdapat label yang melekat dari dirinya sebagai seorang yang kuat, tegas, dan berani. Bahkan, kita sering mendengar kata “Begitu saja pun, masa laki-laki menanggis?” atau “Anak laki-laki masa cenggeng.” Hal-hal seperti inilah yang membuat mereka saat dewasa kurang menyadari emosi mereka.
Toxic masculinity merupakan kondisi dimana laki-laki susah menerima kejadian yang bersifat emosional dalam diri mereka [5]. Emosi tertentu seperti kesedihan, ketakutan, atau rasa gelisah susah diungkapkan oleh laki-laki. Mereka lebih baik menyembunyikan atau menahan emosi tersebut karena alasan tidak ingin dianggap lemah yang nantinya akan mempengaruhi identitas mereka sebagai pria. Laki-laki juga berpikir bahwa mereka mampu mengatasi kondisi emosionalnya sendiri [6]. Laki-laki seringkali enggan untuk bercerita tentang kesulitan dialaminya atau meminta pertologan kepada temannya karena takut dianggap sebagai laki-laki yang lemah, penakut, atau lainnya.
Pembatasan emosi ini dapat memunculkan depresi maskulinitas (masculinity depression), dimana laki-laki akan merasa tertekan. Dampak dari depresi maskulinitas ini adalah penyimpangan dari gejala depresi. Jadi, yang baiknya diungkapkan melalui kesedihan atau menangis berubah menjadi diungkapkan secara eksternal (perilaku agresif, penggunaan zat, mengurung diri, menyakiti diri) atau secara internal (mati rasa, perasaan gagal, rasa bersalah, atau munculnya gejala somatik [7].
Hubungan Perempuan Dengan Emosi
Perempuan pada umumnya lebih sering mengalami perubahan emosi daripada laki-laki karena perempuan memiliki hormon yang sensitif berkaitan dengan suasana hati. Beberapa penelitian membuktikan bahwa hormon estrogen dan progesteron yang dimiliki oleh perempuan mempengaruhi daerah otak yang mengatur suasana hati dan perilaku. Produksi hormon tersebut biasanya mengalami ketidakstabilan yang disebabkan oleh siklus reproduksi seperti periode menstruasi, periode kehamilan, dan periode menopause. Hal inilah yang dapat meningkatkan munculnya gejala depresi [1].
Periode menstruasi yang meningkatkan munculnya depresi adalah adanya PMS atau Pra-Menstruation Dysmorphic Disorder (PMDD). PMDD menyebabkan ketidakstabilan produksi hormon estrogen dan progesteron sehingga perempuan akan terganggu secara fisik (sakit pinggang, nyeri perut, pusing, dan lainnya) dan psikis (moody-an, mudah marah, mudah menanggis, dan sensitive [8]. Periode kehamilan yang menyebabkan peningkatan gejala depresi adalah depresi pascakehamilan atau post-partum depression. Studi meta analisis terhadap 59 penelitian menemukan bahwa sebanyak 13% wanita diseluruh dunia mengalami post-partum depression [5]. Periode menopause yang menimbulkan gejala seperti gangguan tidur, kadar hormon estrogen menurun, serta adanya kondisi lingkungan eksternal (meninggalnya pasangan, perceraian, anak-anak hidup mandiri) dapat meningkatkan resiko depresi [8].
Lalu, Mengapa Laki-laki Memilih Untuk Bunuh Diri?
Victor Jeleniewski Seidler (2007) dalam jurnalnya yang berjudul “Masculinities, Bodies, and Emotion Life” mengungkapkan bahwa remaja putra lebih mudah untuk mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya daripada meminta bantuan kepada orang-orang disekitar mereka. Hal ini karena mereka tidak tahu sumber depresi mereka dan tidak mau berbagi cerita tentang sesuatu yang menganggu mereka kepada orang lain. Mereka berpikir bahwa dengan menceritakan perasaan atau hal menganggu mereka tidak akan mendapat perhatian, simpati, atau empati dari orang lain karena mereka adalah laki-laki. Bunuh diri menjadi cara satu cara bagi mereka karena mereka sudah tidak mampu menahan perasaannya [6].
Regulasi Emosi Membantu Kita Dalam Mengatur Emosi
Regulasi emosi berperan bagi seseorang untuk menilai, mengatasi, mengelolah, dan mengungkapkan emosi yang tepat dengan tujuan untuk mencapai keseimbangan emosional [9].
Penting bagi kita untuk menyadari emosi dan perasaan kita saat ini. Seperti hasil diskusi kita sebelumnya via Instagram, bahwa perlunya kita meluapkan emosi kita saat ini, asalkan sesuai dengan batasnya. Kita boleh merasa sedih atau lelah. Jika menangis adalah cara membuat diri kita lega, maka menangislah. Namun, sedih yang berkepanjangan dapat mengarah pada depresi, hilang semangat, dan badan mudah lelah. Cemas dan takut dibutuhkan karena dengan ini kita menjadi waspada dan berhati-hati, tetapi cemas dan takut yang berkepanjanganan tidak ditangani segera maka akan jadi anxiety.
Mengekspresikan emosi dalam bentuk atau kegiatan juga bisa dilakukan. Sebaiknya dilampiaskan dalam kegiatan yang positif atau bermanfaat seperti melakukan hobi atau kegiatan yang disenangi (melukis, mendengarkan musik, olahraga, dsb).
Apabila kita sudah tidak dapat menangani kondisi emosi, maka segeralah minta bantuan. Carilah teman atau sahabat yang kalian percaya sebagai teman cerita karena tidak semua orang itu mau mendengarkan, kadang hanya penasaran. Namun, jika nasehat atau masukkan dari teman belum membuat diri menjadi lebih baik tidak ada salahnya datang ke psikolog atau psikiater sebagai tenaga professional untuk membantu diri kita. Bukankah ada istilah sedia payung sebelum hujan.
Referensi:
[1] P. R. Albert, “Why is depression more prevalent in women?,” J. Psychiatry Neurosci., vol. 40, no. 4, pp. 219–221, 2015, doi: 10.1503/jpn.150205.
[2] H. Hedegaard, S. C. Curtin, and M. Warner, “Increase in Suicide Mortality in the United States, 1999–2018,” CDC: National Center for Health Statistic, 2020. https://www.cdc.gov/nchs/products/databriefs/db362.htm (accessed Feb. 27, 2023).
[3] R. Gross, PSYCHOLOGY THE SCIENCE OF MIND AND BEHAVIORISME 7th ed. London: Hodder Education an Hachette UK Company, 2015.
[4] M. W. Passer and E. S. Ronald, Psychology The Science of Mind and Behavior 5th ed. New York, USA: The McGraw-Hill Companies, 2011.
[5] Regis Machdy, Loving the Wounded Soul (Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2020.
[6] V. J. Seidler, “Masculinities, bodies, and emotional life,” Men Masc., vol. 10, no. 1, pp. 9–21, 2007, doi: 10.1177/1097184X07299636.
[7] M. C. Parent, T. D. Gobble, and A. Rochlen, “Social media behavior, toxic masculinity, and depression,” Psychol. Men Masculinity, vol. 20, no. 3, pp. 277–287, 2019, doi: 10.1037/men0000156.
[8] C. N. Soares and B. Zitek, “Reproductive hormone sensitivity and risk for depression across the female life cycle: A continuum of vulnerability?,” J. Psychiatry Neurosci., vol. 33, no. 4, pp. 331–343, 2008.
[9] R. Gross, Psychology The Science Of Mind and Behavior 7th ed. London: Hodder Education and Hachette UK Company, 2019.