TRADISI HARI RAYA KHAS KAMPUNG HALAMAN MAHASISWA FPK

Bagikan

1 Syawal 1445 tepat jatuh pada tanggal 10 April 2024 menurut pemerintah. Hari Raya Idul Fitri, merupakan sebuah moment yang tentunya ditunggu-tunggu bagi sebagian besar umat muslim untuk menutup bulan Ramadhan dan menyambut bulan Syawal. Hari Raya Idul Fitri selalu dimulai dengan pelaksanaan sholat ied dan dilanjut dengan acara silaturahmi dari rumah ke rumah. 

Tidak sedikit juga umat muslim yang menyambut Hari Raya Idul Fitri dengan caranya sendiri menyesuaikan tradisi khas yang dilakukan secara turun-temurun di daerah asalnya masing-masing. Hal ini juga menjadi euphoria tersendiri bagi mahasiswa FPK (Fakultas Psikologi dan Kesehatan) yang berstatus sebagai mahasiswa rantau yang kemudian kembali ke kampung halaman saat lebaran tiba. Adapun macam-macam tradisi yang sampai sekarang masih dilakukan di kampung halaman mereka. 

“Kalau di Aceh itu ada yang namanya tradisi “Hari Meugang” buat nyambut lebaran idul fitri, nah biasanya orang-orang itu masak-masak olahan daging sapi atau kambing. Bisa rendang, bisa kuah kaldu daging juga.” ujar Zahwa.

Sumber : Arsip Pribadi

Safira Hafiza Zahwa, mahasiswa rantau yang berasal dari provinsi Aceh tersebut berkata bahwa ia juga turut antusias dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarganya. Menurutnya, tradisi Hari Meugang merupakan salah satu alasan mengapa ia sangat antusias untuk kembali ke Aceh. Hari Meugang sendiri memiliki tujuan untuk mempererat tali silaturahmi antar keluarga melalui kegiatan memasak bersama. Zahwa juga mengatakan bahwa, “Poin pentingnya juga menurut aku, adanya bonding dan chemistry baru, apalagi pas masak dagingnya, bisa aja ada pengantin baru nih menantu sama mertua yang belum dekat, tapi bisa bangun chemistry yang bagus pas lagi momen masak-masak ini.”

Sumber Foto : Kompas Regional

Selain Hari Meugang, masyarakat Aceh juga memiliki tradisi yang dinamakan bakar Meriam Karbit yang dianggap sebagai bentuk rasa syukur dan bahagia warga Aceh dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. “Cuma tradisi ini setahuku awalnya itu hanya ada satu daerah Aceh kalau nggak salah daerah Pidie Jaya, tapi di daerahku, sempet juga bakar karbet ini, tapi kayanya 2 atau 3 tahun belakangan ini udah gak ada di daerahku.” ucapnya.

Sumber : Media Indonesia

Faktanya, tidak semua daerah di Aceh melakukan tradisi Meriam Karbit. Beberapa daerah dilarang untuk melakukan tradisi Meriam Karbit karena menghasilkan suara yang sangat keras sehingga dianggap memiliki dampak yang tidak begitu positif dan berpotensi mengganggu warga yang lain. Zahwa juga beranggapan, “Suaranya bener-bener kaya kita lagi perang terus lempar meriam. Aku pernah lihat langsung itu gede banget suaranya.” 

Sama halnya dengan Nada Nabila yang juga memiliki tradisi khas di kampung halamannya, Madura. Nada mengatakan, “Kalau tradisi di Madura itu sebenarnya banyak banget. Ini aku sebutin yang aku tau dan yang aku alamin yaa. Di Madura itu ada tradisi rebba (anter-anter makanan), telasen topak (Hari Raya Ketupat), ul-daul (Festival), takbiran aleng-leng (Takbir Keliling), toron (untuk yang berada diluar pulau dan kembali ke madura untuk merayakan Idul Fitri), nyabis (berkunjung ke rumah kyai), nyekar atau ziarah, dan Halal Bi Halal.” 

Kedelapan tradisi tersebut tentunya masih ada sampai sekarang. Namun, tetap ada beberapa tradisi yang mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman, seperti rebba dan ul-daul. “Rebba ini kalau dari pengalamanku pas kecil itu nasi, kue basah, dan lain-lain. Kalau akhir-akhir ini dari keluargaku itu ada tambahan biskuit-biskuit. Mungkin bedanya dari macam jenisnya yang makin beragam. Kalau ul-daul itu kan identik sama alat musik dan seni. Kalau dulu pakai peralatan seadanya, kalau sekarang alat musiknya makin beragam dan dekorasi nya juga modern.” begitu ujarnya.

Sumber : Antara News Jatim

Bukan hanya dari Aceh dan Madura saja, Riau juga memiliki tradisi yang tak kalah menarik. Riau memiliki dua tradisi khas pada saat Hari Raya Idul Fitri, yakni Munjung dan Festival Lampu Colok atau Lampu Hias. Munjung merupakan sebuah tradisi yang berasal dari kata berkunjung, yakni dengan berbagi makanan dengan menggunakan rantang yang berisi makanan pokok, seperti nasi, lauk pauk, dan sayuran. Tradisi ini dilakukan selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan. “Tradisi ini bagi siapa saja yang mampu dan ngga harus pakai rantang, kalau dulu iya pakai rantang, kalau sekarang banyak yang pakai baskom jadi ga usah dibalikin. Yang dikasi munjungnya itu biasanya tetangga terdekat dan kerabat.” ucap Bagus Muzaki selaku mahasiswa rantau dari Riau. 

Sumber : Tempo Witness

Selain Munjung, juga terdapat Festival Lampu Colok atau Lampu Hias. Bagus mengatakan, “Tradisi ini sebenarnya sudah lama ada sejak saya lahir, namun mulai di booming kan baru-baru ini karena dikompetisikan. Yang berpartisipasi itu boleh semua kalangan dan biasanya diikuti oleh pemuda desa dan remaja masjid. Juara 1 untuk tahun ini diraih oleh Desa Mantiasa.” Selain lampu colok dan lampu hias, peserta yang mengikuti perlombaan ini juga harus menyertakan denah, tema, dan konsep. Biasanya, penilaian dilakukan pada saat 10 terakhir bulan Ramadhan. Bagus juga menambahkan, “Puncaknya pada 27 Ramadhan ini paling seru, ada acaranya di kota kabupaten.” 

Berikut adalah beberapa tradisi dari berbagai daerah kampung halaman mahasiswa FPK yang ikut serta dalam Hari Raya Idul Fitri tahun ini. Ada banyak sekali kesan yang mereka dapatkan, sebagian besar tradisi ini dilakukan untuk menjaga tali silaturahmi antar keluarga dan kerabat, meningkatkan produktivitas, meningkatkan rasa syukur dan memperoleh kebahagiaan yang melimpah.

Penulis : Erfina Shakila

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.