Mati Rasa Para Pecinta
Langit yang dulu penuh seruan kini sunyi,
Jemu akan duka yang tak bertepi,
Kobaran api nyaris membeku,
Suara-suara perlahan lenyap,
tenggelam dalam kelu,
Hujan turun, tak kunjung reda,
Angin membawa kabar duka tak henti-hentinya,
Bumi basah diselimuti darah,
Para pecinta pernah berkobar dalam amarah
Tujuh Oktober, setahun berlalu,
Obor api menyala dalam kalbu,
Hari-hari jemari menyeru tak mengenal waktu,
Sejak hari itu,
Setiap mata menjadi satu
Kemarin,
Duka menggetarkan semangat juang
Kini,
Irama meredup,
duka menjadi beban,
Jenuh dan muak
lebih memilih tertawa sebagai pelarian.
Buku suci teronggok, tertutup debu
Kajian ditinggalkan, gairah memudar
Kabar negeri suci dulu menginspirasi
Kini,
Kabar tak lagi menarik hati
Dulu,
Jemari menari demi kebenaran,
Kini,
Mulai melamban, kehilangan arah
Hati semakin sesak,
Debu tebal kian menutup jiwa,
Tak lagi menanya kabar, tak lagi peduli,
apatisnya para Pecinta di tepi kelumpuhan rasa.
Tapi jangan pernah lupa, wahai para pencinta
Jari-jemari ini masih kuat menari,
Surga yang kita rindukan,
adalah surga yang mereka perjuangkan,
Api itu belum padam,
barangkali ia hanya tertiup angin,
Tetaplah mencinta dengan segenap rasa,
Meski lelah,
semoga menjadi lillah,
Sang pencinta sejati tak henti berjuang,
menggapai cinta Rabb-Nya,
Menggenggam erat cinta saudara seakidah
Penulis: Siska Dwi Kartika