Mencari Harta Karun yang Ramah Kantong

Saat itu adalah pagi hari di sebuah hari libur, dan udara terasa sejuk, seolah mengundang untuk menjalani hari dengan semangat. Aku dan kawanku memutuskan untuk tidak membiarkan hari ini berlalu begitu saja tanpa agenda yang berarti. Setelah berdiskusi singkat, kami sepakat untuk mencoba sesuatu yang sedang tren di kalangan anak muda—thrifting. Kegiatan ini bukan hanya sekadar berbelanja barang bekas, melainkan sebuah petualangan yang menantang kesabaran, kreativitas, dan keberuntungan.
Perjalanan kami dimulai di sebuah pasar yang cukup ramai. Deretan kios dengan tumpukan barang bekas memenuhi pandangan kami. Saat melangkah lebih dalam, mataku tiba-tiba tertarik pada gundukan sepatu dan tas yang terlihat sederhana. Namun, saat aku memperhatikan lebih saksama, beberapa logo yang familiar mulai muncul dari antara tumpukan itu. Tas berlogo LV, sepatu bermerek Nike, dan barang-barang lain yang biasanya hanya bisa kulihat terpajang di etalase toko mewah. Anehnya, di sini mereka hanya dihargai setara dengan secangkir kopi hangat yang biasa dinikmati di pagi hari. Rasanya hampir mustahil, tetapi itulah pesona thrifting.
Kawanku, yang sudah lebih berpengalaman dalam thrifting, tampak sibuk memilah-milah barang dengan penuh antusias. “Kenapa kamu suka sekali melakukan ini?” tanyaku, penasaran dengan kesukaannya yang hampir obsesif terhadap aktivitas ini. Dia tersenyum sambil menjawab, “Setelah menemukan barang yang cukup bagus, aku akan membelinya dan menjualnya kembali.” Aku baru tahu bahwa selain mencari barang untuk dirinya sendiri, ia juga menjalankan bisnis preloved, di mana barang-barang thrift yang ia temukan dijual kembali. “Kebanyakan barang yang aku jual adalah pakaian, dan biasanya laku dengan cepat,” tambahnya sambil tersenyum bangga.
Obrolan kami terhenti sejenak ketika aku mulai mencoba mencari barang yang cocok untuk diriku sendiri. Dalam proses ini, aku menyadari bahwa thrifting bukan sekadar mencari barang bekas. Ada seni dan strategi di baliknya. Kawanku mulai membimbingku dengan beberapa tips yang berguna. “Pertama, pilih lokasi dengan bijak,” katanya. “Setiap tempat punya karakter barang yang berbeda. Ada pasar yang fokus pada pakaian vintage, ada yang terkenal dengan tas berkualitas, dan ada juga yang khusus menjual perabotan.”
Dia juga menekankan pentingnya timing. “Kalau ada bazar atau acara khusus, datanglah lebih awal. Pilihan terbaik biasanya ada di awal, sebelum barang-barang bagus habis diburu orang lain,” jelasnya. Aku mengangguk, merasa mendapat pelajaran baru. Satu hal lagi yang ia tekankan adalah membuat daftar belanja. “Di tempat seperti ini, semua barang terlihat menarik, dan harganya murah. Tanpa daftar, kamu bisa saja membeli barang yang tidak perlu dan malah menghabiskan uang,” tambahnya.
Dengan tips itu, aku mulai memperhatikan setiap tumpukan barang. Setelah beberapa saat, mataku tertuju pada sebuah cardigan bermerek Polo yang masih dalam kondisi sangat baik. Warnanya lembut, dengan bahan yang terasa nyaman di tangan. Aku tidak percaya cardigan ini hanya dihargai 70 ribu rupiah. Rasanya seperti menemukan harta karun di tengah lautan barang bekas.
Aku memutuskan untuk membelinya. Meski hanya satu barang yang kubeli, aku merasa puas. Aku datang bukan untuk belanja besar-besaran, melainkan untuk merasakan pengalaman thrifting itu sendiri. Perasaan puas ketika menemukan barang berkualitas dengan harga yang sangat murah benar-benar membuat hari ini terasa berbeda.
Tempat yang kami kunjungi cukup ramai. Aku dan kawanku menghabiskan waktu yang cukup lama di sana. Suasana pasar, dengan para penjual yang ramah dan pembeli yang antusias, memberikan pengalaman yang seru. Meski harus bersaing dengan banyak orang, aku merasa seperti seorang penjelajah yang mencari harta karun tersembunyi. Rasanya mendebarkan ketika aku menemukan barang yang sesuai keinginan, seperti menemukan sesuatu yang benar-benar berharga di balik tumpukan biasa.
Thrifting tidak hanya memberikan kepuasan mendapatkan barang bagus dengan harga murah, tetapi juga membuka pandanganku tentang cara baru untuk mengurangi limbah fashion. Selain itu, aku juga mulai memahami bahwa thrifting bisa menjadi peluang bisnis yang menjanjikan, seperti yang dilakukan kawanku. Aktivitas ini bukan sekadar tren, tetapi juga cara untuk mendukung keberlanjutan dan menciptakan gaya hidup yang lebih sadar.
Perjalanan hari ini mungkin sederhana, tetapi penuh makna. Aku mendapatkan pengalaman baru, belajar dari kawanku, dan menemukan bahwa thrifting adalah kegiatan yang lebih dari sekadar belanja. Ini adalah seni berburu, di mana setiap temuan memiliki cerita, dan setiap pembeli memiliki kesempatan untuk menambah bab baru dalam sejarah barang tersebut.
Penulis: Virina Dwi Sabilla
