Hujan di Toko Kelontong

Bagikan
Sumber: Pixabay oleh Ayasuki

Pada suatu malam yang gelap, hujan turun dengan derasnya, menutupi jalan-jalan kota yang sepi. Airy, yang baru saja kehilangan pekerjaan dan hubungan yang ia bangun selama bertahun-tahun, berjalan tanpa tujuan. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah membawa beban yang tak bisa dilepas. Ia merasa hidupnya hampa, penuh kebingungan, dan terlalu banyak pertanyaan tanpa jawaban. Hujan menjadi temannya malam itu, menyelimuti perasaan kesepiannya.

Saat ia berjalan di tengah hujan, ia melihat sebuah toko kelontong kecil yang sudah lama tutup, namun pintunya sedikit terbuka. Mungkin itu hanya perasaan Airy yang sedang butuh tempat berteduh, namun ia merasa ada sesuatu yang mengundangnya untuk masuk. Dengan langkah ragu, ia melangkah ke dalam toko yang tampak sepi, dengan langit-langit rendah dan bau kayu tua yang memenuhi udara. Suasana toko itu mengingatkannya pada masa kecilnya, saat ia bersama ibunya berbelanja di toko kelontong yang sama, sebelum hidup berubah menjadi lebih rumit.

Di balik meja kasir yang usang, ada sebuah surat yang tergeletak begitu saja. Surat itu tampak biasa, dengan tulisan tangan yang indah dan teratur, seolah-olah sudah ditulis dengan penuh perhatian. Airy, yang penasaran, mengambil surat itu dan membacanya dengan hati-hati.

“Terkadang, kita harus melewati hujan yang paling lebat untuk menyadari bahwa matahari akan muncul kembali. Jika kamu merasa tak punya tujuan, coba cari sesuatu yang hilang, sesuatu yang hanya bisa ditemukan ketika kamu berani berdiam di tengah hujan.”

Airy merasa terhenyak. Kata-kata itu begitu dalam, seolah-olah surat itu ditujukan langsung kepadanya. Ia duduk di kursi kayu yang ada di dekat meja, menatap hujan yang semakin deras di luar. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya, sebuah perasaan yang mulai mengangkat beban berat yang ia bawa. Tetapi ia tetap bingung, apa maksud surat ini?

Sambil merenung, suara langkah kaki terdengar pelan di belakangnya. Airy menoleh, dan di sana berdiri seorang pria tua, mengenakan jas hujan usang, dengan rambut putih yang tergerai sedikit berantakan. Matanya memancarkan ketenangan yang membuat Airy merasa aneh, seperti ada sesuatu yang misterius dalam diri pria ini.

“Apakah kamu mencari sesuatu?” tanya pria itu dengan suara lembut, namun tegas.

Airy mengangguk pelan. “Saya hanya berteduh, dan menemukan surat ini… saya tidak tahu kenapa, tapi kata-katanya terasa seperti… seperti ditujukan untuk saya.”

Pria itu tersenyum, senyuman yang penuh pemahaman. “Terkadang, hal-hal seperti ini terjadi. Hujan datang bukan hanya untuk membasahi, tapi juga untuk membersihkan, untuk memberikan kita kesempatan melihat apa yang tidak bisa kita lihat sebelumnya.”

Airy merasa ada sesuatu yang membangkitkan rasa penasaran yang lebih dalam. “Tapi, siapa yang menulis surat itu? Apa maksudnya?”

Pria itu duduk di kursi di sebelah Airy. “Itu bukan surat biasa,” jawabnya. “Ini adalah tempat bagi mereka yang merasa hilang, mereka yang mencari sesuatu dalam hidup mereka. Toko ini… telah ada sejak lama. Dan surat-surat itu, mereka datang dari orang-orang yang telah datang sebelumnya. Mereka yang merasa bingung, yang merasa tak ada harapan. Setiap orang yang datang ke sini membawa cerita mereka, dan kadang-kadang, cerita itu diteruskan lewat surat-surat ini.”

Airy menatap pria itu, bingung. “Tapi, ini toko sudah lama tutup. Tidak ada orang lain di sini selain saya.”

Pria itu mengangguk, “Benar, tetapi hujan membuat orang datang. Hujan mengundang mereka yang mencari jawaban dalam hati mereka, yang terjebak dalam perjalanan hidup mereka. Kamu, Airy, sedang berada di tempat yang tepat, meskipun kamu tidak menyadarinya.”

Airy merasa seperti ada sesuatu yang membuka matanya. “Tapi saya merasa… saya tak tahu lagi harus ke mana. Semua yang saya lakukan terasa sia-sia. Saya tidak tahu harus mencari apa lagi.”

Pria itu menatap Airy dengan penuh pengertian. “Kadang, kita harus melewati hujan yang lebat, baru kita bisa melihat sesuatu yang lebih jelas. Kadang kita harus berhenti mencari jawaban, dan justru menemukan jawabannya ketika kita berhenti mencari.”

Airy terdiam. Hujan di luar jendela semakin deras, namun ada perasaan damai yang mulai meresap di dalam dirinya. Dia menyadari sesuatu, mungkin selama ini dia terlalu keras pada dirinya sendiri, terlalu fokus pada pencapaian dan hasil. Mungkin, hanya mungkin, jawabannya tidak ada dalam pencarian yang terus menerus, tapi ada dalam menerima kenyataan dan berhenti untuk berlari.

“Saya ingin tahu lebih banyak,” kata Airy dengan suara pelan.

Pria itu tersenyum. “Mungkin jawabannya ada di surat-surat yang sudah ada. Coba baca surat berikutnya.”

Airy mengangguk dan membuka surat berikutnya, yang berisi pesan tentang kehilangan dan menemukan kembali, tentang bagaimana setiap orang yang datang ke toko ini mendapatkan pencerahan dalam bentuk yang berbeda. Setiap surat memiliki kisahnya sendiri, mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang hidup. Surat-surat itu bukan hanya petunjuk, tapi juga pelajaran yang datang dari orang-orang yang sudah terlebih dahulu menjalani jalan yang penuh kesulitan.

Seiring waktu, hujan mereda. Pria itu sudah menghilang, meninggalkan Airy sendirian di dalam toko, namun dengan perasaan yang jauh lebih tenang. Airy merasa seolah-olah ia baru saja menemukan sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ia tidak harus memiliki semua jawaban sekarang, tapi ia tahu satu hal, kadang, kita harus berhenti untuk mencari, dan memberi waktu bagi diri kita untuk menyembuhkan.

Dengan surat-surat itu di tangannya, Airy keluar dari toko kelontong tua, diiringi dengan hujan yang kini sudah mulai reda. Ia berjalan pulang, bukan dengan langkah berat, tetapi dengan harapan baru yang tumbuh dalam dirinya. Terkadang, jawaban terbaik datang bukan dalam pencarian yang terus-menerus, tetapi dalam kesediaan untuk berhenti sejenak dan mendengarkan apa yang hujan, dan hidup, ingin katakan.

Penulis: Basilia Adun Azaria

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.