TOLAK RUU TNI: Rela Mati Demi Rakyat atau Rakyat yang Dimatikan?

source: @andikabp__ on X

source: @andikabp__ on X

Bagikan
source: @andikabp__ on X

Beberapa hari terakhir, Indonesia dihebohkan dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dilakukan secara kilat dan memicu pertentangan oleh rakyat. Riuh suara rakyat menggema di mana-mana. Rakyat berbondong-bondong turun ke jalan, sementara para wakil rakyat justru bersembunyi, membungkam diri di ruang kedap suara, dan menutup telinga dari gemuruh aspirasi. 

Penolakan terhadap RUU TNI ini bukan tanpa alasan. Masyarakat sipil, akademisi, hingga aktivis HAM menilai ini sebagai kemunduran demokrasi yang berpotensi membawa Indonesia kembali ke era di mana militer berkuasa dalam ranah sipil. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah diperbolehkannya perwira aktif TNI menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun terlebih dahulu. Perubahan ini merupakan ancaman  serius bagi tatanan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998.

Dalam negara demokrasi, posisi TNI seharusnya tetap berada dalam fungsi pertahanan negara. Keberadaan militer dalam jabatan sipil bukan hanya menciptakan ketimpangan dalam birokrasi, tetapi juga melemahkan prinsip demokrasi yang mengedepankan supremasi sipil. RUU TNI membuka peluang bagi militer untuk kembali masuk ke ruang-ruang pemerintahan yang seharusnya diisi oleh kalangan sipil. Jika hal ini terjadi, akankah kebijakan publik tetap dibuat berdasar kepentingan rakyat? Atau justru akan menjadi instrumen kekuasaan yang tunduk pada komando militeristik?

Selain pasal yang dinilai bermasalah, RUU TNI juga menimbulkan kecurigaan masyarakat terkait prosesnya yang tertutup, tergesa-gesa, dan terkesan terlalu berpihak pada kepentingan golongan tertentu. Mengutip dari Dosen Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Benedictus Hestu Cipto Handoyo, pengesahan RUU TNI ini menjadi kemunduran demokrasi yang brutal. Bagaimana tidak? Undang-undang perampasan aset yang sebelumnya berhasil masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada tahun 2023 dan 2024 untuk dibahas di sidang paripurna DPR justru tak kunjung dibahas. Padahal kepentingan RUU tersebut seharusnya diprioritaskan dan telah disepakati masyarakat untuk menekan tingginya angka korupsi di Indonesia. Pemerintah justru bergegas meresmikan RUU TNI yang hanya menguntungkan golongan tertentu. Selain itu, RUU TNI yang disahkan juga memicu kembalinya peristiwa kelam yang pernah terjadi akibat pemangku jabatan yang tidak menjabat sesuai dengan proporsinya.

Sejarah panjang mengenai Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang merupakan sebuah konsep dan kebijakan politik yang menitik fungsikan ABRI ke dalam tatanan kehidupan negara sudah ada sejak zaman orde baru. Melalui kebijakan tersebut, ABRI berhasil melakukan dominasi di lembaga eksekutif dan legislatif. Gagasan AH Nasution ini tentunya berdampak pada kondisi sosial dan politik di Indonesia. 

Dwifungsi ABRI dapat dikatakan berbahaya karena kebijakan ini mendatangkan lebih banyak keuntungan terhadap militer alih-alih mengutamakan kepentingan rakyat. Perwira aktif yang berhasil menduduki kursi DPR, MPR, maupun jabatan lainnya tentunya berkontribusi besar dalam terhambatnya demokrasi yang seharusnya bisa berkembang. Risiko besar lainnya adalah ketika ABRI memiliki kewenangan senjata yang kemungkinan dijadikan upaya untuk membungkam suara warga sipil. 

Dwifungsi ABRI bukan hanya soal peran ganda, tetapi bagaimana oknum militer yang berpotensi menjadi alat kekuasaan yang berbahaya bagi suara dan demokrasi warga sipil. Lantas, dengan disahkannya RUU TNI yang dirasa bermasalah dan memicu gejolak di masyarakat, apakah dapat menggambarkan militer yang rela mati demi rakyat? Atau justru rakyat yang dimatikan? 

Militer seharusnya mengabdikan diri untuk rakyat dalam fungsi pertahanan negara, bukan masuk ke ranah sipil dan membungkam demokrasi. Jika benar rela mati demi rakyat, seharusnya mereka menjaga demokrasi, bukan justru merampasnya habis-habisan. Dengan ini, seruan #TolakRUUTNI dan tuntutan pengembalian tentara ke barak akan terus digemakan oleh rakyat hingga demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya, tanpa ada bayang-bayang seragam. 

Penulis: Januar Junior, Erfina Shakila, Zahra Rizq Verdylia

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.