Tulisan Dari Pena Terakhir

Sumber:chatgpt.com
Di sebuah desa yang sebagian bangunannya telah hancur, jalan-jalannya porak poranda, hanya ada satu hal yang tak tergoyahkan yaitu harapan. Langit mendung menggantung, seolah turut berduka. Udara penuh debu, bau hangus dan luka menggumpal dalam napas yang tertahan. Desa itu, tempat yang dulu riuh dengan tawa anak-anak dan suara azan, kini sunyi, hanya menyisakan puing dan gema jeritan.
Hassan Al Jabbar, seorang reporter muda dengan mata lelah dan wajah penuh debu, berjalan menyusuri lorong sempit yang dindingnya nyaris roboh. Di sebelahnya, Salim Ahmed, juru kamera, terus merekam dengan tangan gemetar. Mereka mengikuti tim penyelamat yang mengangkat puing demi puing dengan harapan menemukan tanda-tanda kehidupan.
Sepatu bot Hassan menginjak pecahan kaca dan bata merah yang tak lagi membentuk rumah. Di tangannya, sebuah pena tua terus mencoret di atas kertas. Pena itu adalah peninggalan ayahnya, seorang guru yang tewas dalam serangan bertahun lalu. Pena itu kini menjadi senjatanya untuk melawan kebisuan dunia. Mulutnya lirih menyebut nama Tuhannya, dan sesekal ia menyeka tetesan air mata yang hampir jatuh membasahi kertas itu.
“Baiklah, Salim… Aku akan melaporkannya,” ucap Hassan lirih, suaranya tercekat.
Kamera mulai merekam.
“Assalamualaikum, saudaraku di seluruh dunia. Hari ini, 21 Mei 2021, serangan udara kembali menghantam Gaza. Kawasan padat penduduk hancur rata dengan tanah. Lebih dari 250 jiwa melayang, dan ribuan lainnya terluka,” ucap Hassan, menahan tangis.
Ia memandang reruntuhan di belakangnya. Pandangannya kabur oleh air mata.
“Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Mereka bukan pejuang, mereka bukan ancaman. Mereka hanya ingin hidup.” Suara hasan berat tetapi terus meneruskan kata-katanya.
“Dan kami tidak menyerah. Gaza tidak akan hilang. Kami berharap dunia tidak akan diam. Ini adalah Hassan, melaporkan langsung dari Gaza. Terima kasih dan wasalamualaikum,” ucapnya terakhir.
Kamera berhenti. Hassan terdiam sejenak, tubuhnya lunglai, napasnya berat. Ia tak kuasa menahan kakinya yang gemetar dan akhirnya memilih untuk menjatuhkan badannya di samping tembok yang setengah roboh itu. Dia bersandar dan bergeming. ”Hari ini sungguh menyedihkan. Aku melihat kembali dengan mata kepalaku sendiri, orang-orang itu terluka dan mati.”
Mengingatkan kembali pada luka kelam saat ia kehilangan ibu, ayah, dan adiknya. Menyisakan rasa bersalah dan kesal yang teramat dalam.
***
Saat itu, tanah ini bergetar dan suara bising dari rudal yang tak kunjung berhenti membuat hatiku ciut ketakutan. Pagi itu aku berada di dekapan ibuku yang berusaha menenangkanku meski matanya menyimpan ketakutan yang dalam. Beliau bilang, “Tetaplah disisiku nak, semua akan baik-baik saja.” Aku tidak menjawab, bola mataku tegang menatap ke arah pintu yang terbuka. Aku melihat ayahku berlari bersama rombongan menuju sebuah masjid di daerah kami, ingin menolong siapa pun yang tertinggal.
Hingga matahari terbenam, aku tak kunjung melihat ayahku kembali, sementara langit terlihat semburat kemerahan disertai kepulan awan dari rudal yang terus dihujamkan. Aku, ibuku, adikku, dan orang-orang yang masih selamat, berlari menuju pengungsian meninggalkan semuanya.
Lapar dan dahaga tidak kurasakan lagi. Jiwaku kosong hanya rasa takut yang terus memenuhi diriku. Takut akan kehilangan orang-orang yang kusayangi. Hari-hari berikutnya kulalui dengan tangisan, dan ternyata kehilangan itu benar adanya. Mereka sungguh kejam, mereka tidak membiarkan kami hidup, mereka membuat kami sengsara.
***
Hassan pun bangkit dan melanjutkan langkahnya bersama Salim.
Hassan dan Salim menuju posko penampungan yang berada di dekat sebuah rumah sakit. Mereka berjalan dengan lesu. Sesampainya di tempat itu, Hassan duduk dan membuka buku catatan kecil tempat dia menuliskan segala keluh dan kesal, termasuk peristiwa kelam penyerangan musuh terhadap Gaza yang banyak merengut nyawa kerabat tersayangnya
Di kertas itu tertuliskan,
“06 Mei 2014,
Aku berada di dekapan ibuku, dan kulihat ayahku melangkah keluar pintu. Hingga kini aku tidak pernah menjumpainya kembali.”
“20 Desember 2020,
Ibuku dan adikku ditemukan di bawah runtuhan bangunan dengan bersimbah darah. Aku menyesal, mengapa aku harus pergi mencari air meninggalkan ibu dan adikku. Mereka kini meninggalkanku untuk selamanya. Mengapa aku tidak ikut mati saja?.”
Di dalam kertas itu, masih banyak tertulis tanggal-tanggal dengan peristiwa yang kelam. Seorang anak yang menangisi jasad ayahnya. Seorang ibu yang kehilangan anak yang baru saja ia lahirkan. Perjuangan ayah untuk selalu melindungi keluarganya yang ternyata berakhir dengan mereka semua terbunuh. Dan masih banyak kisah kelam lainnya. Tangisnya tak henti hingga ia menutup catatan kelam itu.
Rasa lelah Hassan mengalahkan kesedihannya, dengan mata yang sembab ia tertidur. Hassan tertidur di dekat posko pengungsian yang dibangun di sekitar reruntuhan rumah sakit.
Tiba-tiba, Dentuman keras membangunkannya.
Hassan bangkit dan terkejut melihat langit memerah, tampaknya para musuh memang tidak memiliki hati bersih. Rumah sakit yang tak jauh dari tenda mereka kini berubah menjadi lautan api. Puing-puing beterbangan, tenda-tenda terbakar. Asap menyelimuti semuanya.
Salim berteriak, “Hassan! Kita harus pergi!”
Tapi Hassan tetap diam. Ia mengambil pena tua itu, dan kertas yang semalam masih ia tulisi. Dengan tangan gemetar, ia mencatat lagi: waktu ledakan, lokasi, dan jumlah korban sementara.
Lalu ia menyetel kameranya. Duduk di belakang sebuah dinding separuh runtuh, Hassan mulai merekam.
“Assalamualaikum… Hari ini, rumah sakit satu-satunya di wilayah ini dibom. Ratusan korban luka yang belum sempat dirawat kini telah tiada. Mereka tahu di sini ada orang-orang tak bersenjata. Mereka tahu, tapi tetap menyerang. Dunia harus tahu. Aku akan terus melaporkan meski ini mungkin laporan terakhirku.”
Tak lama setelah rekaman itu selesai, bangunan yang menaunginya runtuh total. Api menjilat ke segala arah.
Beberapa hari kemudian, tim penyelamat menemukan jasad Hassan. Tubuhnya hangus, namun tangan kanannya masih menggenggam pena. Salim, yang selamat dari ledakan, menemukan rekaman terakhir Hassan. Dengan hati yang hancur, ia menyebarkan rekaman itu ke seluruh dunia.
Ketika rekaman terakhir itu diputar… dunia hening.
Hassan, dalam luka dan api, tetap menyampaikan suara Gaza. Ia pergi, namun kata-katanya tinggal. Ia mati, namun kebenarannya tak padam.
Tidak hanya Hassan dengan harapannya, anak-anak di jalur Gaza juga memiliki harapan yang besar. Harapan untuk diselamatkan, harapan untuk disayangi, dan harapan untuk bisa hidup dengan damai bersama orang-orang yang mereka sayang.
#freePalestine
Penulis: Virina Dwi Sabilla
