Krisis Iklim: Urgensi Adaptasi Kebijakan Lingkungan di Negara Berkembang

Sumber: pinterest
Dalam era modern, manusia dihadapkan pada berbagai tantangan global yang memberikan dampak signifikan terhadap tatanan kehidupan sosial, dengan perubahan iklim sebagai salah satu tantangan utama. Fenomena ini merujuk pada pergeseran pola iklim yang diakibatkan secara langsung maupun tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga berpengaruh pada perubahan komposisi atmosfer secara global serta variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Berbagai aktivitas yang dilakukan manusia (antropogenik), khususnya yang memanfaatkan bahan bakar fosil dan alih fungsi lahan/hutan adalah faktor utama penyebab perubahan iklim. Jika berlangsung dalam jangka panjang, perubahan iklim berpotensi mencapai titik kritis yang dapat mempercepat terjadinya krisis iklim dengan dampak yang semakin kompleks dan luas.
Fenomena ini tentu memicu timbulnya berbagai pengaruh negatif serta dapat menjadi ancaman global yang berdampak luas pada lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial di berbagai belahan dunia. Peningkatan suhu rata-rata global, pencairan lapisan es di kutub, kenaikan permukaan air laut, serta intensifikasi kejadian cuaca ekstrem mengancam ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan stabilitas ekonomi global. Negara berkembang mengalami dampak perubahan iklim yang lebih substansial dibandingkan negara maju karena keterbatasan sumber daya, infrastruktur yang rentan, serta dependensi ekonomi pada sektor-sektor yang terpengaruh secara langsung oleh perubahan iklim. Oleh karena itu, urgensi adaptasi kebijakan lingkungan menjadi krusial sebagai respons terhadap krisis iklim. Negara berkembang harus mengadopsi strategi yang berorientasi pada ketahanan iklim agar dapat mengurangi kerentanan mereka terhadap dampak perubahan iklim, meningkatkan kapasitas mitigasi bencana, serta memastikan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Berdasarkan data laporan IPCC, dipaparkan bahwa terjadi peningkatan suhu bumi sekitar 1°C apabila dibandingkan dengan era pra-industri. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Royal Society juga mengemukakan bahwa terdapat peningkatan kandungan panas di lautan yang disebabkan adanya penyusutan drastis pada lapisan es laut Arktik. Sementara itu, hasil penelitian iklim yang dilakukan oleh Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA) pada tahun 2023 mengindikasikan bahwa suhu daratan dan lautan telah meningkat rata-rata 0,11° Fahrenheit (0,06° Celsius) per dekade sejak tahun 1850. Perubahan-perubahan iklim ini tentunya membawa dampak besar terkhususnya di negara-negara berkembang. Perubahan iklim ini membawa implikasi besar, khususnya bagi negara-negara berkembang yang rentan terhadap bencana alam sebagai konsekuensi dari perubahan iklim yang terjadi.
Berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan badai menjadi hal yang biasa dijumpai di negara berkembang. Di sisi lain, beberapa negara ini menghadapi kerentanan ekonomi dan sosial yang lebih besar akibat krisis iklim karena keterbatasan sumber daya, infrastruktur yang kurang memadai, dan ketergantungan tinggi pada sektor-sektor yang rentan terhadap perubahan iklim, seperti pertanian dan perikanan. Intensifikasi kejadian bencana alam, seperti banjir, kekeringan, dan badai, berpotensi merusak mata pencaharian masyarakat. Selain itu, sistem kesehatan dan layanan sosial di banyak negara berkembang seringkali tidak cukup kuat untuk menangani dampak kesehatan dari polusi udara, gelombang panas, dan penyebaran penyakit yang dipicu oleh perubahan iklim. Tanpa adanya adaptasi kebijakan lingkungan yang efektif, negara-negara ini akan semakin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan dan ketidakstabilan akibat perubahan iklim yang semakin ekstrem.
Perlu disadari bahwa proses penyusunan adaptasi kebijakan bukanlah langkah yang mudah bagi negara-negara berkembang dalam mengatasi krisis iklim. Berbagai tantangan dapat muncul dalam perumusan kebijakan untuk menanggulangi krisis iklim, seperti keterbatasan infrastruktur yang diperlukan untuk menghasilkan dan mendistribusikan inovasi, hambatan institusional, dan tata kelola yang lemah yang sering kali memperlambat pengambilan keputusan serta implementasi program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Selain itu, kesenjangan teknologi dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) juga menjadi kendala dalam mengadopsi solusi inovatif yang diperlukan untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan adaptasi yang lebih progresif, investasi dalam teknologi ramah lingkungan, serta penguatan tata kelola dan kapasitas SDM untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan dan tangguh terhadap perubahan iklim.
Dilihat melalui beberapa program yang telah dijalankan oleh sebagian negara berkembang, tentunya kita sudah cukup familiar dengan berbagai kebijakan seperti usaha peralihan energi terbarukan, pembangunan sistem peringatan untuk bencana alam, serta pemberlakuan adanya kebijakan pajak karbon. Selain itu, kita mengetahui bahwasanya beberapa negara berkembang juga telah melakukan sejumlah kolaborasi internasional yang bertujuan untuk menangani dampak perubahan iklim, dimana salah satunya adalah kesepakatan internasional seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris. Adanya kebijakan tersebut merupakan bentuk dari kesepakatan internasional dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan memerangi perubahan iklim yang mungkin melanda di setiap negara. Namun, apakah penerapan kebijakan tersebut telah efektif dalam upaya meminimalisir timbulnya dampak negatif akibat dari adanya krisis iklim yang melanda?
Implementasi kebijakan perubahan iklim di negara berkembang tentunya menunjukkan hasil yang beragam. Di India, program energi terbarukan berhasil meningkatkan kapasitas tenaga surya dari 2.6 GW pada 2014 menjadi 40 GW pada 2021, namun, negara ini sayangnya masih mengalami penghambatan dalam bidang infrastruktur dan pendanaan. sedangkan di Indonesia sendiri, meski telah berkomitmen mengurangi emisi 29% pada 2030, kendala masih saja terjadi dalam pengimplementasian pajak karbon yang baru mencapai $2.1 per ton CO2 jika dibandingkan rekomendasi Bank Dunia sebesar $40-80 per ton. Vietnam menunjukkan keberhasilan dengan pengurangan emisi 9% pada tahun 2020 melalui program energi terbarukan dan efisiensi energi, tetapi juga menghadapi kesulitan dalam mengurangi ketergantungan pada batubara. Studi dari Climate Action Tracker (2024) mengindikasikan bahwa mayoritas negara berkembang masih “belum cukup” dalam mencapai target Perjanjian Paris, dengan kendala utama berupa keterbatasan teknologi, sumber daya finansial, dan kapasitas institusional. Meski terdapat kemajuan dalam beberapa aspek, adanya kesenjangan signifikan dalam proses implementasi masih perlu diatasi melalui peningkatan dukungan internasional dan penguatan kebijakan domestik.
Dalam konteks ini, beberapa negara maju telah mengembangkan model adaptasi kebijakan iklim yang efektif, yang dapat menjadi referensi bagi negara berkembang dalam menghadapi krisis iklim. Belanda, misalnya, menerapkan pendekatan “Building with Nature” yang mengintegrasikan pengetahuan lokal dengan teknologi modern dalam manajemen pesisir, sehingga berhasil mengurangi risiko banjir hingga 60%. Di Jepang, program “Community-Based Disaster Risk Management” berhasil memitigasi dampak bencana alam melalui pemberdayaan komunitas lokal dan sistem peringatan dini berbasis kearifan tradisional. Sementara itu, Denmark mengembangkan model pembiayaan inovatif melalui “Green Bonds” yang telah mengumpulkan dana sebesar €5,6 miliar untuk proyek adaptasi iklim. Model-model tersebut mendemonstrasikan bahwa keberhasilan adaptasi kebijakan iklim memerlukan kombinasi antara pengetahuan lokal, inovasi teknologi, pembiayaan berkelanjutan, dan kerja sama internasional yang efektif.
Melalui adanya gambaran adaptasi kebijakan tersebut, sebuah negara berkembang perlu mengadopsi pendekatan kebijakan yang komprehensif dan terukur. Untuk jangka pendek, prioritas harus diberikan pada penguatan sistem peringatan dini dan kapasitas tanggap darurat, sementara strategi jangka panjang, diperlukannya fokus pada transformasi infrastruktur dan sistem energi berkelanjutan. Kerangka implementasi yang realistis dapat mengadopsi model bertahap seperti yang direkomendasikan World Bank, dimulai dari asesmen kerentanan, perencanaan adaptasi, hingga implementasi dan monitoring. Indikator keberhasilan dapat diukur melalui metrik kuantitatif seperti pengurangan emisi karbon dan peningkatan ketahanan infrastruktur, serta matriks kualitatif seperti tingkat kesadaran masyarakat dan efektivitas koordinasi antar pemangku kepentingan. Kolaborasi multi-pemangku kepentingan menjadi kunci, di mana pemerintah berperan sebagai regulator dan fasilitator, sektor swasta sebagai investor dan inovator teknologi, serta masyarakat sebagai pelaksana dan pengawas program di tingkat lokal. Pendekatan terpadu ini perlu didukung oleh mekanisme pemantauan dan evaluasi yang transparan untuk memastikan efektivitas implementasi kebijakan.
Penulis:Yulia Rahmawati
Daftar pustaka
Ainurrohmah, S., & Sudarti, S. (2022). Analisis Perubahan Iklim dan Global Warming yang Terjadi sebagai Fase Kritis. Jurnal Phi Jurnal Pendidikan Fisika Dan Fisika Terapan, 3(3), 1. https://doi.org/10.22373/p-jpft.v3i3.13359
Annual Surface Temperature Change. (2021). Climatedata.Imf.Org. https://climatedata.imf.org/datasets/4063314923d74187be9596f10d034914/explore
Building with Nature. (2021). Www.Dutchwatersector.Com. https://www.dutchwatersector.com/news/building-with-nature
Climate Action Tracker (CAT). (2025). Climateactiontracker.Org. https://climateactiontracker.org/
Climate Change and the Developing World: A Disproportionate Impact. (2021). Www.Usglc.Org. https://www.usglc.org/blog/climate-change-and-the-developing-world-a-disproportionate-impact/
Climate Change Data. (2022). Climatedata.Imf.Org. https://climatedata.imf.org/pages/climatechange-data
Herianto, R., Nulhaqim, S. A., & Rachim, H. A. (2015). Community Based Disaster Management. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(3), 326–330. https://doi.org/10.24198/jppm.v2i3.13579
India Energy Outlook 2021. (2021). Www.Iea.Org. https://www.iea.org/reports/india-energy-outlook-2021
Indraswari, D. L. (2021). Langkah Dunia Atasi Dampak Perubahan Iklim di 2022. Www.Kompas.Id. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/12/31/langkah-dunia-atasi-dampak-perubahan-iklim-di-2022
International Climate Initiative (IKI). (n.d.). Ndcpartnership-Org. https://ndcpartnership-org.translate.goog/knowledge-portal/climate-funds-explorer/international-climate-initiative-iki?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sge#:~:text=The IKI is a key,the protection of biological diversity.
Khalisa, S. N. (2023). Energi Terbarukan di Negara Berkembang: Mengatasi Tantangan untuk Pembangunan Berkelanjutan. Impactlabs.Id. https://impactlabs.id/2023/09/12/energi-terbarukan-di-negara-berkembang-mengatasi-tantangan-untuk-pembangunan-berkelanjutan/#:~:text=Keterbatasan Infrastruktur: Salah satu tantangan,energi terbarukan dengan strategi adaptasi.
Krisis Iklim: Tanggung Jawab Bersama untuk Masa Depan yang Berkelanjutan. (2024). Ppim.Uinjkt.Ac.Id. https://ppim.uinjkt.ac.id/2024/11/29/krisis-iklim-tanggung-jawab-bersama/#:~:text=Ini termasuk kebiasaan sehari-hari,Juga: Krisis Iklim Salah Siapa?&text=Di sisi lain%2C pemerintah juga,lingkungan masih menjadi masalah besar.&text=Di tingkat internasional%2C kolaborasi global,di bawah 2°C.&text=Namun%2C tanpa langkah nyata di,masa depan yang lebih berkelanjutan.
Lee, S., Paavola, J., & Dessai, S. (2022). Towards a deeper understanding of barriers to national climate change adaptation policy: A systematic review. Climate Risk Management, 35, 100414. https://doi.org/10.1016/j.crm.2022.100414
Lindsay Maizland and Clara Fong. (2025). Global Climate Agreements: Successes and Failures. Www.Cfr.Org. https://www.cfr.org/backgrounder/paris-global-climate-change-agreements
Olahkarsa. (2022). Peran Pemerintah dalam Menanggulangi Perubahan Iklim: Langkah Strategis untuk Masa Depan Berkelanjutan. Blog.Olahkarsa.Com. https://blog.olahkarsa.com/peran-penting-pemerintah-dalam-menanggulangi-perubahan-iklim/#:~:text=Membuat Kebijakan dan Regulasi yang,yang beralih ke energi terbarukan.
Rebecca Lindsey AND LuAnn Dahlman. (2024). Climate Change: Global Temperature. Www-Climate.Com. https://www-climate-gov.translate.goog/news-features/understanding-climate/climate-change-global-temperature?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sge#:~:text=According to NOAA’s 2023 Annual,0.20° C) per decade.
Susilowati, I., Ahmad, S. T. M., & Faturrahman, T. (2022). Efektivitas Protokol Kyoto Dalam Mereduksi Emisi. Legal Research, 4(5), 1255–1274.
The Basics of Climate Change. (2025). Royalsociety. https://royalsociety-org.translate.goog/news-resources/projects/climate-change-evidence-causes/basics-of-climate-change/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sge#:~:text=Arctic summer sea ice cover,and ice sheets on land.
UNEP. (2023a). Adaptation Gap Report 2023. Www.Unep.Org. https://www.unep.org/resources/adaptation-gap-report-2023
UNEP. (2023b). Emissions Gap Report 2023. Www.Unep.Org. https://www.unep.org/resources/emissions-gap-report-2023
3 Negara dengan Kebijakan Iklim Paling Maju. (2024). Blog.Satuplatform.Com. https://blog.satuplatform.com/3-negara-dengan-kebijakan-iklim-paling-maju/
