TikTok: Media Sosial Berpisau Racun di Tengah Popularitas Global

Tiktok, sebuah platform media sosial yang kian melambung tiap tahunnya di Indonesia maupun di ranah global. Hadir pertama kali pada tahun 2017 oleh perusahaan Tiongkok bernama ByteDance. Tiktok memberikan wadah bagi masyarakat global untuk berekspresi dan berkreasi melalui konten-konten video berdurasi 15 detik hingga 10 menit, dengan rata-rata konten video berdurasi 23-34 detik.
Tiktok mengusung konsep Content Moderation, yang dapat membuat siapapun menjadi “Influencer dadakan”, algoritma berjalan dengan memunculkan konten-konten yang teratas dan menarik, tanpa memerhatikan kualitas akun si pengunggah. Meskipun melewati uji Panduan Komunitas, masih banyak sekali konten-konten tidak berkualitas, terkesan membodohi, informasi yang tidak valid, dan dalam beberapa momen seperti sebuah wadah “propaganda”. Sedangkan, Popularitas Tiktok di Indonesia menurut data dari Statista pada tahun 2024 mencapai 157,6 juta pengguna, angka ini menunjukkan peringkat pertama mengalahkan Amerika Serikat. Indonesia juga masuk dalam durasi pengguna Tiktok terlama di lingkup global sebanyak 2.495 menit per bulan menurut data dari GoodStats. Inilah pisau beracun dari Tiktok, popularitasnya tidak lepas dari bayang-bayang yang gelap.
Algoritma Tiktok berjalan begitu cepat dan kuat dengan adanya konsep Content Moderation. Menurut laporan dari ABC Australia (2021), efek algoritma ini terutama dirasakan oleh remaja. Salah satunya yaitu mengenai konten viral yang muncul di TikTok tidak jarang membawa dampak negatif. Misalnya, beberapa tantangan melibatkan aktivitas berbahaya atau bahkan ilegal, yang ditiru tanpa mempertimbangkan konsekuensi. Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, seorang pengamat media sosial menjelaskan bahwa tren seperti ini sering kali dimulai tanpa niat buruk, tetapi dapat berubah menjadi fenomena destruktif karena kurangnya kontrol dan tanggung jawab pengguna. Dampak Algoritma ini menjadikan pengguna, terutama remaja, lebih rentan terhadap kecemasan, gangguan tidur, dan masalah citra tubuh akibat paparan konten yang idealistik atau tidak realistis. Studi dari GoodStats juga mendukung pandangan ini dengan menunjukkan hubungan antara durasi penggunaan TikTok dan peningkatan tekanan mental pada remaja. Dengan meningkatnya kebutuhan untuk terus eksis dan diterima di dunia maya, tekanan ini sering kali berdampak buruk pada kehidupan nyata.
Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa TikTok banyak digunakan sebagai sumber berita oleh generasi muda. Namun muncul tantangan utama pengguna dalam kemampuan untuk membedakan informasi benar dan palsu. Data dari GoodStats mencatat bahwa banyak pengguna TikTok kesulitan mengenali berita bohong di platform ini. Masalah ini diperburuk oleh pola konsumsi konten yang cepat dan kurang mendalam, serta dipenuhi oleh pengguna yang memiliki pendidikan yang rendah menurut data GoodStats, yang menjadikan TikTok lahan subur untuk penyebaran misinformasi.
Bayang-bayang gelap TikTok juga menjadi sorotan global terkait potensi ancaman keamanan data. Beberapa negara, termasuk Australia, Belgia, Kanada, Norwegia, Taiwan, Britania Raya, Amerika Serikat, Uni Eropa, India dan Pakistan, telah melarang platform ini karena kekhawatiran atas privasi dan pengumpulan data pengguna secara besar-besaran, seperti yang dilaporkan oleh Tempo. TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance berbasis di Tiongkok, dianggap memiliki koneksi yang dapat mengeksploitasi data pengguna untuk kepentingan tertentu.
TikTok adalah platform yang luar biasa dalam hal inovasi dan hiburan, tetapi popularitasnya harus dilihat dengan sudut pandang yang kritis. Algoritmanya yang adiktif, penyebaran informasi palsu, ancaman terhadap privasi, dan dampak sosialnya, terutama di Indonesia, menunjukkan bahwa sisi gelap TikTok tidak dapat diabaikan. Regulasi yang lebih ketat terhadap perlindungan data, edukasi literasi digital, dan kesadaran individu akan pentingnya penggunaan media sosial yang sehat sangat diperlukan untuk memitigasi risiko ini. Jika tidak diatasi, dampak negatif TikTok bisa menjadi lebih besar, baik secara individu maupun sosial. Maka dari itu, penting bagi masyarakat, khususnya di Indonesia, untuk lebih bijak dalam memanfaatkan platform ini.
Sumber:
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53661272
https://www.tempo.co/ekonomi/18-daftar-negara-yang-larang-tiktok-138003
https://www.abc.net.au/indonesian/2021-07-27/bahaya-algoritma-tiktok-terhadap-penggunanya/100323726
https://data.goodstats.id/statistic/pengaruh-tiktok-terhadap-kesehatan-mental-remaja-0RVC0
Penulis: Refa Nur Hidayah
