CERPEN: Makhluk Aneh yang Tak Pernah Bersyukur

Bagikan

Seperti apa rasanya hidup menjadi orang yang tak pernah cukup? Tanyakan padanya. Jika ia bisa berkata-kata, maka yakinlah dia akan melancarkan jawabannya. Avisa Azure Ezillia. Begitulah semesta memberinya nama. Nama yang indah. Ia seringkali mempertanyakan mengapa ia diberi nama Avisa. Katanya, Avisa berarti lautan. Dalam artian lain lautan merupakan warisan kekayaan alam yang memiliki peran penting dalam kehidupan. Bisa dibilang Avisa adalah sumber kehidupan. Avisa merupakan gadis yang tumbuh didalam keluarga yang berkecukupan. Namun, sialnya ia selalu membandingkan miliknya dengan orang lain. Mungkin karena itu ia selalu merasa kurang. Padahal hidup adalah perihal menikmati.

“Pagi, sayang” Sapa laki-laki paruh baya kepada gadisnya.

“Pagi, ayah” Jawabnya

“Oh, jadi Cuma ayah aja yang disapa?” Lanjut wanita paruh baya disampingnya.

“Pagi, bunda cantik”  kemudian sapanya.

Begitulah pemandangan pagi sebuah keluarga cemara. Terlihat begitu indah bukan? Tentunya. Setelah Avisa menyantap dua lapis roti dengan selai coklat, ia kemudian berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi sekolah. Avisa adalah gadis berusia 18  tahun yang masih duduk dibangku sekolah menengah atas kelas XII IPA 7. Ia memilih jurusan IPA karena ia sudah merencanakan sejak SMP untuk melanjutkan pendidikannya di bidang kedokteran. Avisa anak yang pintar. Ia mampu bersaing dengan puluhan bahkan ratusan anak di sekolahnya. Tak jarang ia menjadi juara kelas. Bahkan ia dijuluki sebagai primadona di sekolahnya. Selain memiliki otak yang mampu berwawasan luas, ia juga dikaruniai paras yang cantik, perfect. Seperti namanya, warisan kekayaan alam. Lantas apa yang membuatnya selalu merasa kurang?

“Pagi anak-anak. Sekarang kelas kita kedatangan siswi baru.” Ucap seorang guru dikelas Asiva.

“Silahkan masuk!” lanjutnya kemudian kepada siswi baru.

“Perkenalkan namaku Aurora bayuni. Everyone usually calls me by Ara. Terima Kasih.”

“Oke silahkan duduk Ara” 

Ara kemudian melangkahkan kakinya menuju bangku yang kosong. Hari demi hari Ara sudah bisa beradaptasi dengan teman-teman kelasnya. Ara menjadi dekat dengan Avisa. Menurutnya, Avisa mempunyai banyak kesamaan dengan Ara. Dari cara ia berpikir, hobi, bahkan mereka memiliki cita-cita yang sama. 

Awal dari semua perubahan ini adalah ketika Avisa dan Ara dipilih sebagai kandidat perwakilan kelas untuk mengikuti olimpiade. Avisa dipilih untuk mengikuti olimpiade biologi. Sedangkan Ara dipilih untuk mengikuti olimpiade Fisika. Dari kelas X Avisa memang sering dipilih untuk mengikuti olimpiade-olimpiade baik di dalam maupun diluar sekolah. Avisa selalu sendirian, tapi tidak kali karena ditemani oleh Ara. Walaupun mereka berada di bidang yang berbeda. Anehnya Avisa merasa tersaingi, padahal Ara dan dirinya mengikuti olimpiade yang berbeda. Seharusnya ia bangga dengan teman barunya ini. Tapi ia merasakan takut. Avisa takut posisinya yang selalu dibanggakan guru-guru di sekolahnya beralih pada Ara. Ternyata otak orang pintar begitu kompleks ya.

Sejak itu Avisa lebih sering diam ketika Ara mengajaknya berbicara. Perlahan ia mulai menjauhi Ara. Ara tipikal orang yang tidak terlalu peduli dengan orang yang menghiraukannya. Bisa dibilang ia adalah orang yang cuek. Jadi dia tidak terlalu memikirkan Avisa yang tiba-tiba menjauhinya. Ara mulai fokus belajar untuk olimpiade. Harusnya Avisa juga begitu. 

Suatu hari yang biasa. Semua orang melakukan aktivitasnya sebagaimana biasanya. Tapi tidak dengan Asiva. Yang awalnya ia menjauhi Ara, tiba-tiba ia menghampiri Ara yang sedang duduk ditaman sekolah dengan buku fisikanya. 

“Hai, serius amat belajarnya. Gimana? Udah siap besok?” kata Avisa membuka percakapan.

“Hai, siap dong, kamu gimana?”

“Aku gatau. Akhir-akhir ini aku banyak masalah dirumah, jadi aku kurang maksimal belajarnya.” Lanjut Avisa dengan wajah yang murung.

“Hey, kenapa ga cerita sama aku? Pantesan akhir-akhir ini kamu jauhin aku, jadi karena kamu lagi ada masalah?” tanya Ara khawatir.

“Iya maaf yaa. Harusnya kita bisa belajar bareng. Tapi ga apa-apa kok. Masalahnya sudah kelar. Oiya ini aku bawa makanan. Ini akum asak sendiri tau.”

“Aduh tapi aku udah makan. Aku bawa pulang aja ya.”

“ Oiya gapapa. Itu tahan dua hari kok, yaudah aku ke kelas dulu ya. Semangat buat besok.”pamit Avisa kemudian pergi.

“Iya Makasih, kamu juga” jawab Ara sedikit berteriak karena Asiva sudah mulai menghilangkan punggungnya. 

Hari pelaksanaan olimpiade telah tiba. Avisa sudah ditempat sejak tadi dengan guru yang mendampinginya. Tetapi tidak dengan Ara. Sedari tadi semuanya menunggu Ara. Namun tak kunjung datang. Sedangkan olimpiade akan segera dimulai dalam lima menit lagi. Guru pendamping Ara sudah menghubungi Ara, tetapi tidak berhasil. Tidak ada jawaban dari Ara. Semuanya panik. Khawatir ada hal yang tidak diinginkan terjadi pada Ara. Tapi tidak dengan Avisa. Tidak ada raut kekhawatiran sama sekali. Ia hanya tersenyum menunggu dirinya untuk segera dipanggil ke dalam ruangan. Lima menit pun berlalu. Akhirnya Avisa dipersilakan untuk masuk ke dalam ruangan. Lalu bagaimana dengan Ara? Ara juga tak kunjung datang. Akhirnya semuanya pasrah dan hanya menunggu Avisa untuk menyelesaikan olimpiadenya. 

Setelah lima jam, kemudian Avisa keluar dari ruangannya. Seperti biasa ia selalu membawa tropi dan medali di lehernya. Ya. Avisa berhasil menjadi juara. Ia membawakan tropi dan medali perak. Ia berhasil menjadi juara yang kedua dari ribuan peserta yang menginginkannya. Tapi saat ia keluar, ia kaget. Bagaimana bisa Ara ada disini, dan sudah lebih dulu membawakan tropi dan medali emas? Ia pikir Ara tak akan datang dalam olimpiade ini, karena kemarin ia sudah mencampurkan obat di dalam makanan yang ia berikan ke Ara supaya Ara sakit perut dan tidak bisa menghadiri olimpiade. Ara hanya tersenyum melihat kagetnya wajah Avisa. 

“Waahh selamat ya, Avisa! seperti biasa kamu selalu keluar membawa tropi dan medali.” Ujar guru pendamping Avisa memberikan selamat.

“Ara tadi datang terlambat, untungnya pengawasnya baik, jadi masih diperbolehkan masuk, meskipun minus waktu sepuluh menit. Tadi ibu pikir Ara tidak mungkin bisa mengerjakan semuanya, tapi ternyata dia bisa, dan bahkan dia menyelesaikannya duluan.” Lanjutnya menceritakan Ara yang datang terlambat.

“Keren sekali kamu Ara. Ibu bangga padamu.” Lanjutnya lagi sambil menepuk-nepuk pundak Ara dengan bangga.

Ara hanya bisa tersenyum. Sedangkan Avisa mulai resah. Ia memutar otaknya. Bagaimana bisa semuanya terjadi. Harusnya ia yang mendapat pujian itu, pikirannya. Avisa kemudian pamit pulang dengan amarah yang hampir meledak. Ia menolak ajakan gurunya untuk merayakan kemenangannya. Ia memilih untuk pulang duluan. Entah karena malu atau apalah itu. Sesampainya di rumah Avisa menangis. Lalu bundanya menghampirinya. Bunda avisa sudah tahu mengapa Avisa menangis. Akhir-akhir ini ia sudah memperhatikan gerak-gerik gadisnya yang tidak seperti biasanya. Avisa seperti ini tidak sekali dua kali. Bundanya mengerti, Avisa selalu ingin menjadi yang pertama. Bundanya sudah sering menghadapi Avisa yang seperti ini. Tidak hanya dalam perihal pendidikan, gaya hidup, kekeluargaan, bahkan keelokan tubuhnya. Sampai saat ini orang tua Avisa belum bisa memecahkan masalah yang ada pada gadis satu-satunya ini.

Hari berlalu begitu saja. Tetapi Avisa masih murung dan berdiam diri di kamarnya. Otaknya sudah menghantuinya dengan berbagai kalimat-kalimat negatif yang membuatnya enggan untuk keluar. Tiba-tiba saat ia sedang melamun, ada notifikasi dari hpnya yang menunjukkan sebuah pesan. Ia sama sekali tidak tertarik untuk membuka pesan itu. Tetapi akhirnya ia membukanya karena dering notifikasi yang tak kunjung berhenti. Ternyata pesan itu dikirim oleh Ara. Avisa membacanya, lalu kemudian ia menangis.

        ‘ Hai Avisa, apa kabar? Sudah lama aku tidak mendengar kabarmu. Apakah kamu tidak ingin masuk kelas kembali? Kita udah kelas XII loh, sebentar lagi kita akan ujian. Bagaimana jika kamu absen terus? Sayang banget loh. Padahal kamu pintar. Well. Sekarang duduk, dan tenangkan dirimu sebentar. Akan ku buat mengerti perihal menikmati. Apa Sih yang kurang dari kamu? Semua orang memujimu. Kamu pintar. Kamu cantik. Kamu juga dikelilingi oleh orang-orang yang sayang sama kamu. Lalu, hanya karena kamu mendengar pujian yang seharusnya dilontarkan ke kamu tetapi malah dilontarkan ke orang lain kamu malah mengurung diri seperti ini? Apa itu akan membuat orang memujimu kembali. Otakmu memang terlalu kompleks. Aku yang awalnya berpikir kita memiliki pola berpikir yang sama, ternyata tidak. Kamu terlalu memikirkan bagaimana agar kamu selalu menjadi langit. Bagaimana agar kamu menjadi yang paling tinggi. Seharusnya kamu bersyukur Avisa. Kamu tidak seperti aku. Aku harus bolak-balik pindah sekolah karena keegoisan orang tuaku. Bagaimana dengan kamu? Kamu memiliki orang tua yang sangat menyayangimu. Memfasilitasi semua kemauan kamu. Mendampingi kamu. Terkadang memang kita perlu mendengar cerita orang lain untuk bersyukur. Untuk menikmati hidup. Aku sangat amat menikmati hidupku yang sekarang, karena ga semua orang bisa menjadi seperti aku. Masih banyak diluaran sana yang ingin menjadi aku. Harusnya kamu juga berpikir seperti itu Avisa. Aku gak tau kamu bakal baca ini apa ngga, tapi aku harap kamu membacanya. Once more kemarin kamu tidak gagal. Semangat yaa. Terimakasih dan maaf dariku Avisa.’  – Aurora Bayuni

Sejak saat itu Avisa mulai berpikir bahwa apa yang diucapkan Ara itu benar. Dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali beraktivitas seperti biasanya. Ayah dan bundanya begitu heran, kenapa anak gadisnya ini tiba-tiba ceria kembali. Bahkan lebih ceria dari sebelumnya. 

Manusia diciptakan Tuhan dengan fasilitas yang berbeda. Sekalipun ia kembar. Hati yang berbeda. Kapasitas otak yang berbeda. Personalitas yang berbeda. Ya. Begitulah cara Tuhan mengadili makhluk-Nya. Tapi, Kalian tau apa hal yang paling menyebalkan dari manusia?. Tidak jarang sebagian besar manusia mengukur valuenya dengan sesama manusia. Manusia selalu melihat langit. Padahal ia tau diatas langit akan selalu ada langit. Ia selalu menyesuaikan dirinya dengan manusia lain. Memang tidak salah. Masalahnya ia selalu ingin menjadi langit sampai ia lupa bahwasannya ia harus bersyukur. Selalu merasa kurang. Mungkin ia lupa dibawah langit masih ada indahnya laut yang bisa dinikmati.

Oleh: Yuliana

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.